Konten Media Partner

Cerita Pria Tua di Sikka yang Belasan Tahun Menekuni Usaha Arang Tempurung

7 April 2022 18:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tempurung yang siap di bakar lalu dijadikan arang kemudian di jual. Foto : Athy Meaq
zoom-in-whitePerbesar
Tempurung yang siap di bakar lalu dijadikan arang kemudian di jual. Foto : Athy Meaq
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
MAUMERE – Sudah belasan tahun, seorang pria paruh baya, Gervasius Gani (53) menekuni usaha arang tempurung kelapa untuk mempertahankan ekonomi keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kamis (7/4) siang, florespedia menyambangi kediaman Gervasius Gani (53) bersama istri dan anak-anaknya, di RT 16/RW 17, Dusun Doreng, Desa Nenbura, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, NTT,
Pria paruh baya yang ditemani istrinya, Johana Muku (50) yang sedang mengemas arang tempurung yang sudah dibakar ke dalam karung untuk dijual di Kota Maumere.
Bermandi keringat di siang bolong, Gervasius bersama istrinya dengan ramah menerima kadatangan kami, sambil mempersilahkan duduk di sebuah bangku panjang yang ada di samping rumahnya.
Setelah, menyampaikan tujuan kedatangan kami, sambil mengusap keringat Gervasius Nadi menuturkan kisah dan awal mula memulai usahanya membakar arang tempurung.
Gervasius Gani (53) mengumpulkan bahan baku tempurung yang siap dibakar, Kamis, (7/4). Foto : Athy Meaq
"Awalnya saya kerja bakar arang tempurung di orang cina di Kota Maumere. Setelah itu saya kerja bersama orang Jawa dan terakhir saya usaha sendiri," kata Gani.
ADVERTISEMENT
Gani memulai usahanya di tahun 2006 silam dengan membakar tempurung di rumahnya dalam skala kecil lalu arangnya di jual di salah satu pengusaha di Kota Maumere.
"Saya melihat peluang bahwa selama ini tempurung kelapa hanya untuk masak saja. Bahkan ada yang dibuang-buang saja, kalau musim panen kelapa," kisahnya.
Bermodalkan uang pas-pasan di tahun 2007, dia mulai membeli tempurung kelapa milik warga dengan harga Rp 25 ribu per kilogram. Lalu dibakar dan arangnya dijual di Kota Maumere.
"Awalnya saya sendiri kerja, selama beberapa tahun, karena kekurangan modal untuk menyewa tenaga kerja yang untuk bantu bakar tempurung," ujarnya.
Seiring dengan tingginya permintaan arang tempurung dari langganannya, Gani mulai mengumpulkan anak -anak muda di lingkungannya untuk membantunya dengan upah Rp 20.000 ribu per hari.
ADVERTISEMENT
Gani mengakui saat ini membeli tempurung dari warga seharga Rp 1.500 per kilogram untuk kemudian dibakar menjadi tempurung yang siap dijual.
Dari hasil kerjanya itu, Gani saat ini berhasil menjual arang tempurung sekitar satu sampai dua ton dalam satu bulan. Gani menjual arang tempurung seharga Rp 4.000 per kilogram ke salah satu pengusaha di Kota Maumere.
"Saya bisa dapat uang jutaan rupiah setiap bulan. Uang itu yang saya pakai bangun rumah, sekolah anak dan biaya makan minum," kata Gani.
Kendati demikian Gani mengakui karena keterbatasan modal maka setiap kali menjual arang di Kota Maumere harus menyewa mobil, orang lain seharga Rp 1 juta rupiah per reit.
"Kalau satu ton, bayar Rp 250.000 ongkos mobilnya. Kalau saya bawa 4 ton, maka saya harus bayar Rp 1 juta," katanya.
ADVERTISEMENT
Gani bersama istrinya Johana Muku selama kurang lebih 15 tahun usaha bakar arang tempurung, belum pernah ada bantuan dari pihak manapun termasuk dari pemerintah.
"Modal saya usaha sendiri. Dari pemerintah kami belum pernah dapatkan bantuan modal usaha," kata Johana Muku.
Gani berharap, pemerintah bisa memperhatikan dan membantu modal usahanya. Mengingat saat ini, usahanya masih dijalani secara manual dan tradisional.
Kontributor : Athy Meaq