Konten Media Partner

Derita Anak-Anak Besipae, NTT, Rumah Digusur Hingga Diusir dari Sekolah

27 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Denny Sae, siswa SMA yang dikeluarkan dari sekolah. Foto: Ola Keda.
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Denny Sae, siswa SMA yang dikeluarkan dari sekolah. Foto: Ola Keda.
ADVERTISEMENT
KUPANG- Air mata remaja itu menetes deras saat menceritakan nasibnya kepada beberapa wartawan yang mewawancarainya, Kamis (20/8/2020).
ADVERTISEMENT
Tangisan, Denny Sae siswa klas 2 SMKN 1 Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT itu membuat beberapa ibu-ibu yang duduk di bawah tenda ikut menangis. Suasana hening seketika. Sesekali ia mengangkat ujung baju kumalnya menyeka air matanya.
Wawancara pun sempat terhenti. Kami membiarkan Denny menangis, meluapkan kesedihannya. Ia tertunduk lama. Sesaat kemudian, remaja lugu itu mengangkat wajah menantang kamera wartawan yang sedari tadi menunggunya.
"Ini tanah leluhur kami. Kenapa kami diusir," tetas Denny dengan nada meninggi.
Denny menceritakan, setelah rumah orangtuanya digusur, ia bersama orangtuanya dan puluhan warga yang juga korban penggusuran memilih hidup di bawah tenda darurat, beralaskan tanah.
Meski demikan, ia masih bermimpi untuk terus sekolah. Namun, mimpinya itu sirna, setelah ia mendapat kabar buruk dari teman kelasnya. Ia diskorsing dari sekolah, karena dinilai melawan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Denny merupakan satu dari puluhan anak-anak sekolah bersama orangtua mereka melakukan protes terhadap aksi penggusuran rumah warga oleh Pemprov NTT.
"Saya dianggap melawan kebijakan pemerintah. Saya dihukum skorsing tidak boleh sekolah lagi,” ungkapnya.
Niatnya ingin melanjutkan studi agar bisa meraih masa depan, kini ia pendam. Sekolah, yang menjadi satu-satunya harapannya, telah memberi skorsing.
“Saya bingung harus sekoah kemana agar bisa menyelesaikan studi,” ucapnya.
Matheda Esterina Selan, warga Besipae mengatakan anak-anak di Besipae saat ini masih mengalami trauma mendalam akibat bunyi tembakan aparat keamanan pada Selasa 18 Agustus 2020 lalu.
"Anak-anak masih trauma," katanya.
Di antara warga korban penggusuran, terdapat juga bayi yang berusia dua bulan, tiga bulan, dan tujuh bulan serta anak-anak usia PAUD dan SD.
ADVERTISEMENT
Tenda darurat menjadi rumah mereka. Warga terpaksa membangun beberapa gubuk seadanya dari daun lontar. Gubuk itu dibuat khusus untuk anak-anak balita agar tak terkena angin malam. Sementara orang dewasa, hanya bisa tidur di bawah tenda beratap langit.
Shock Therapy
Sebelumnya, Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT, Zeth Sony Libing membantah adanya tindakan represif aparat terhadap warga Pubabu Besipae.
"Tidak ada anarkis. Tidak ada tindakan represif dan intimidasi serta penelantaran terhadap masyarakat di Pubabu. Apa yang dilakukan aparat keamanan hanya 'shock therapy' untuk membangunkan masyarakat agar bersedia menempati rumah yang sudah dibangun pemerintah," katanya.
Menurut dia, pemerintah sudah selesai membangun rumah untuk menggantikan rumah warga yang telah digusur.
Namun, karena warga bersikeras sehingga aparat sengaja menembak gas air mata ke tanah dengan tujuan agar warga bisa masuk ke rumah yang disediakan tersebut.
ADVERTISEMENT