Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten Media Partner
'Etu', Ritual Adu Tinju ala Suku Nataia di Nagekeo, NTT
12 Juli 2019 21:18 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
MBAY - Tabuhan gong gendang terdengar kian jelas saat kami memasuki Kampung Boanio, Desa Olaia, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (12/7). Tinju adat atau yang disebut Etu oleh Suku Nataia sedang berlangsung saat itu.
ADVERTISEMENT
Masyarakat memenuhi arena kampung atau alun-alun persegi panjang dengan peo di tengahnya. Tampak dua kubu berhadap-hadapan di dalam lapangan tersebut. Sementara tetua adat dan ibu-ibu bernyanyi dan menari yang oleh mereka disebut Nataia Teke.
Lalu kedua kubu berbalas pantun dengan sedikit mengejek sambil menari hingga hampir ke tengah arena laga. Masing-masing kubu menyiapkan jagonya untuk bertarung. Nyanyian dan pantun terus bergema. Suasana terasa semarak dan menegangkan. Masing-masing petarung pun masuk ke tengah arena.
Kegiatan perpaduan ritual adat dan hiburan ini menjadi tontonan yang mengasyikkan, baik bagi warga kampung itu maupun mereka yang datang dari luar kampung.
Para petarung saling 'jual-beli' pukulan. Mereka tidak menggunakan sarung tangan tinju sebagaimana lazimnya karena pertarungan ini memang bukan olahraga tinju modern, melainkan ritual adat yang menggunakan alat tradisional terbuat dari ijuk enau yang dipintal dan dibuat berbentuk elips sebesar genggaman tangan orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Petarung dari kedua kubu masing-masing dibantu dengan seorang yang disebut sike. Mereka maju berhadap-hadapan di tengah arena diiringi tabuhan gong gendang. Suasana itu seolah mendorong para petarung untuk segera saling tinju.
Etu memang ritual adat yang mengandung adu ketangkasan. Dia yang cekatan dan piawai bertarung tentu menjadi pemenangnya. Jadi orang bertubuh kekar sekalipun tidak menjadi jaminan akan bisa memenangkan pertarungan ini.
Pertarungan bisa berlangsung selama tiga ronde atau lebih, tergantung kesepakatan masing-masing petarung. Secara teknis tidak ada aturan pasti jumlah ronde, pertandingan dapat dihentikan kapan saja jika salah satu petarung berdarah atau menyerah.
Tak jarang banyak petarung yang berdarah dan mengalami luka serius di wajahnya akibat bertanding. Namun, luka tersebut diyakini akan segera sembuh setelah diusap sekali oleh kepala adat.
ADVERTISEMENT
Meski berusaha saling menyakiti, namun kedua petarung akan berangkulan sesudah melakoni pertarungan. Mereka dilarang saling dendam yang bisa berujung pada perkelahian di luar arena. Jika hal itu terjadi, diyakini mereka akan mendapat musibah.
Fungsionaris Adat Suku Nataia, Hironimus Dheru, mengatakan tinju adat atau Etu ini sudah diwariskan dari nenek moyang mereka sejak dulu kala. Etu, kata dia, bagian integral dari rangkaian adat selama menanam hingga memanen. Etu dan ritual adat lainnya harus dilaksanakan di kisa nata atau alun-alun dan sa'o waja atau rumah adat.
Kedua tempat tersebut merupakan pusat aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Di tengah kisa nata terdapat tugu kayu bercabang dua yang dipancang di atas peo atau batu bersusun yang melambangkan persatuan dan persekutuan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Malam hari sebelum Etu digelar, masyarakat memadati kisa nata untuk melakukan pertunjukkan seni musik dan tari yang biasa disebut teke. Ritual adat ini menjadi sarana masyarakat merayakan kehidupan dan sebagai alat pemersatu.
Etu dipimpin oleh wasit atau seka. Selain itu, ada petugas yang mengendalikan petarung agar tak brutal saat bertanding, yang dalam bahasa setempat disebut sike.
Ketika salah satu petarung melakukan tindakan yang melampaui kewajaran, maka sike akan menarik ujung kain petarung itu hingga mundur. Lalu ada pai etu yang bertugas mencari petarung yang siap bertanding selanjutnya. Kemudian, ada mandor adat yang bertugas mengawasi penonton agar tidak masuk ke arena pertandingan. (FP-03).