Konten Media Partner

KBT Tumbuhkan Ekonomi Kreatif Desa Melalui Kerajinan Anyaman Bambu

15 Agustus 2019 22:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Produk kerajinan tangan anyaman kaum perempuan dan ibu rumah tangga binaan Komunitas Budaya Tanawolo. Foto oleh: Arkadius Togo,florespedia/kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Produk kerajinan tangan anyaman kaum perempuan dan ibu rumah tangga binaan Komunitas Budaya Tanawolo. Foto oleh: Arkadius Togo,florespedia/kumparan.com
ADVERTISEMENT
BAJAWA - Guna menumbuhkan ekonomi kreatif berbasis desa, Komunitas Budaya Tanawolo (KBT) mengikuti pameran berskala lokal dalm rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke 74. Sejak dibuka kegiatan menyambut HUT kemerdekaan RI tingkat Kecamatan Wolomeze, Kabupaten Ngada, Jumat (09/08) lalu oleh Camat Wolomeze, Kasmin Belo yang dipusatkan di Kurubhoko, KBT ikut menggelar pameran produk lokal desa.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan momen itu, masing-masing desa membuka stan pameran, sekaligus lomba kuliner bertema ‘Stop Stunting.’ Yang dipamerkan, di antaranya  berbagai produk kerajinan tangan anyaman berbahan bambu.
Selain menjual produk anyaman yang sudah jadi, juga dilakukan kegiatan demo menganyam yang dilakukan di stand pameran KBT. Kegiatan ini menjadi wahana edukasi bagi masyarakat sekaligus melihat kegiatan anyaman berbasis bambu bukan sebatas kegiatan budaya semata, tetapi kini juga menjadi kegiatan ekonomi bagi masyarakat.
Berbagai produk anyaman hasil kreasi kaum perempuan dan ibu binaan Komunitas Budaya Tanawolo. Foto oleh: Arkadius Togo,florespedia/kumparan.com
Produk berbasis desa yang ikut dipamerkan, adalah madu hutan asli Tanawolo-Wolomeze, yang kini mulai dikemas sebagai produk yang bernilai tambah bagi kelompok pencari madu hutan, maupun bagi masyarakat di Desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze. Menciptakan produk lokal melalui jaringan pemberdayaan ekonomi lokal desa.
ADVERTISEMENT
Selain itu, juga dipamerkan produk kosmetik lokal KEKAYA yang diproduksi di bawah naungan Yayasan Puge Figo, seperti sabun mandi, minyak gosok, minyak gosok kayuputih, minyak rambut.
Kosmetik KEKAYA diramu dari bahan tumbuh-tumbuhan lokal yang sejak dulu digunakan sebagai warisan leluhur. Yayasan ini menaruh perhatian dalam melestarikan lingkungan, program rebosisai, dan pemberdayaan ekonomi berbasis lokal.
Di sela-sela pameran, Koordinator Komunitas Bambu Manubhara yang juga pemilik art shop Tanipa di Bajawa, Markus Lina berkesempatan mengunjungi stan pameran ekonomi kreatif Komunitas Budaya Tanawolo.
Markus sejak tahun 2014 sudah bergelut dengan industri kerajinan bambu yang kini giat pameran di berbagai kota. Dia juga pegiat bambu yang mulai mengekspor kerajinan berbahan bambu setidaknya ke tujuh negara. Semuanya karena Markus melihat potensi bambu Ngada yang menjanjikan.
ADVERTISEMENT
Peluang yang sama juga dibidik Komunitas Budaya Tanawolo. Komunitas di bawah koordinasi Emanuel Djomba, kini menjalin kerja sama secara sinergis dalam pembinaan kelompok pengrajin bambu dengan pihak Tanipa milik Markus Lina. Diharapkan kerja sama ini dapat menumbuhkan kelompok pengrajin bambu di desa, karena bambu kini sudah menjadi produk yang dibidik oleh dunia di tengah jenuhnya penggunaan produk plastik yang dinilai merusak lingkungan.
Menurut Emanuel Djomba, ada tiga isu dalam pembinaan kelompok pengrajin bambu yang didampinginya itu, antara lain menumbuhkan kembali produk lokal warisan leluhur dan bernilai sebagai upaya pelestarian budaya setempat yang akrab dengan bambu;  isu gender dimana para  pengrajin rata-rata ibu rumah tangga dan remaja putri di kampung; dan isu pemberdayaan ekonomi lokal, karena ke depan produk berbahan ramah lingkungan seperti bambulah yang dilirik. Harapnnya membuat ekonomi desa menggeliat.
ADVERTISEMENT
Pada kunjungannya ke arena pameran ini, Markus Lina kepada kelompok ibu-ibu rumah tangga mengingatkan bahwa bambu bukan hanya produk budaya bernilai yang diwariskan oleh leluhur sebagai asesoris ritual, tetapi juga mempunya nilai ekonomis.
“Saat ini penggunaan plastik mulai dikurangi, karena dampaknya yang merusak lingkungan secara global. Karena itu pilihan kembali ke alam akan menguntungkan kita di desa yang memproduksi barang-barang yang ramah lingkungan.
Markus juga mensheringkan kepada ibu-ibu pengrajin bahwa dirinya sudah menggumuli kerajinan bambu dalam berbagai produk rumah tangga sejak tahun 2014 lampau.
“Waktu itu saya sering ditertawain karena dinilai urus dengan bahan yang di kampung hanya digunakan untuk pagar, kandang hewan. Kalaupun jadi bahan rumah sering diidentikan dengan kelompok miskin. Namun beberapa tahun belakangan bambu justru menjadi produk yang menggiurkan,” papar Markus.
ADVERTISEMENT
Kata Markus, saat ini permintaan terus meningkat, seiring kebijakan untuk mengurangi produk plastik yang dinilai merusak lingkungan.
“Bagi kita yang dari dulu terbiasa menganyam karena tuntutan budaya tidak perlu lagi latihan. Karena sudah dilakukan turun temurun dan setiap generasi diwarisi kebiasaan ini.  Hanya tinggal berproduksi, dan kami siapkan salurkan kepada buyer,” kata Markus.
Markus di bagian lain mengatakan siap melakukan kerja sama dengan Komunitas Budaya Tanawolo dalam penyediaan bahan anyaman yang bisa mendukung untuk pembuatan produk seperti tempat tisu, jam dinding dan produk lainnya.
Kerja sama, janji Markus kepada Emanuel Djomba dan kelompoknya akan diperkuat dengan perjanjian kerja sama, sebagai penyedia dan penerima bahan kerajinan dari para pengrajin.
ADVERTISEMENT
Beberapa ibu dalam komunitas ini, Ibu Lony dan Ibu Lina mengaku senang bisa didampingi kegiatan menganyam yang selama ini sebatas untuk asesoris budaya. “Ternyata, bambu juga bisa menghasilkan uang yang membantu ekonomi,” kata ibu Lina.
Ibu lina mengatakan selama ini dirinya sudah terbiasa menganyam. Meski belum dijual ke luar, tetapi banyak orang di desa dan orang luar yang datang ke desa itu sering membeli produk anyamannya. Hasil jualannya bisa membantu membayar uang sekolah anak.
Tentang Komunitas Budaya Tanawolo
Kaum perempuan dan ibu rumah tangga yang tergabung dalam kelompok pengrajin anyaman binaan Komunitas Budaya Tanawolo. Foto oleh: Arkadius Togo,florespedia/kumparan.com
Mengedepankan tagline: ‘Merajut yang tertinggal’ - Komunitas Budaya Tanawolo (KBT) adalah wadah pemajuan kebudayaan masyarakat, yang terus berupaya mendampingi kelompok pengrajin anyaman sebagai produk budaya.
Kelompok pengrajin anyaman ini sebagian besar adalah kaum perempuan atau para ibu rumah tangga. Mereka tersebar di tiga desa, yakni Desa Nginamanu, Desa Nginamanu Selatan dan Desa Nginamanu Barat, Kecamatan Wolomeze, Kabupaten Ngada.
ADVERTISEMENT
Komunitas ini didirikan oleh Emanuel Djomba dan Fransiskus Meno pada bulan Juli 2019. Emanuel Djomba adalah seorang jurnalis dan pegiat literasi.
Dalam rangka pemajuan kebudayaan, komunitas ini giat mendampingi masyarakat dalam melestarikan produk budaya bernilai yang diwariskan turun temurun. 
Produk budaya itu, seperti: berbagai wadah anyaman dari bahan bambu, anyaman pandan, tenun serta kegiatan seni musik dan tari tradisional yang mulai ditinggalkan masyarakat karena merambahnya produk plastik dan teknologi lainnya hingga ke desa.
Guna menumbuhkan kembali hasil, cipta, rasa, dan karsa (kebudayaan) yang ada dalam masyarakat, maka komunitas ini mengorganisirnya dalam tiga sanggar, yakni sanggar anyaman tradisional, sangar tenun, serta sanggar seni musik dan tari tradisional.
ADVERTISEMENT
Kecuali sanggar tenun dan sanggar seni - sanggar anyaman yang dilakoni para ibu rumah tangga sudah mulai diproduksi dan mulai memperkenalkan kepada khalayak melalui ajang pameran dan penjualan berskala lokal.
Produk anyaman itu seperti  mbae oka (wadah sirih pinang untuk para ibu, mbere (wadah sirih pinang untuk laki-laki), mbae lebih besar dari mbae oka, kone (tempat untuk hantaran biasanya ada tutupan), mbeka (tempat penyimpan barang semacam tas tangan) dan kepe wadah semacam dompet penyimpan pernik-pernik).
Masih banyak lagi anyaman yang berfungsi secara budaya dan di era modern ini dapat disesuikan dengan permintaan pembeli. Ada juga anyaman tikar dari bahan pandan, dan kerajinan tenun yang sejak dulu digunakan sebagai alat menenun kain adat.
Produk komestik lokal, Kekaya yang diproduksi dibawah naungan Yayasan Puge Figo. Foto oleh: Arkadius Togo,florespedia/kumparan.com
Sanggar anyaman yang bernaung dalam Komunitas Budaya Tanawolo ini beranggotakan 10 orang ibu rumah tangga. Kegiatan anyaman dilakukan di waktu senjang atau di sela-sela rutinitas para ibu di desa. Mereka menganyamnya di rumah masing-masing, bahkan sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Zaman dulu, kegiatan menganyam tak ada waktu khusus, tetapi mengisi waktu luang di tengah kesibukan. Melalui sanggar di Komunitas Budaya ini, kegiatan anyaman selain dilakukan di rumah, juga dilakukan secara berkelompok secara berkala.
Bahan anyaman sebagian besar dari bambu aur yang tumbuh liar di hutan. Pengambilan  bahan baku biasanya dilakukan sekitar bulan Mei, Juni, Juli. Ketika itu bambu aur sedang tumbuh. Bambu yang masih muda namun belum mengeluarkan ranting itu menjadi bahan yang baik untuk anyaman. Biasanya pengambilan bahan dari hutan dilakukan oleh orang laki-laki.
Bahan yang sudah diambil itu kemudian dipotong beruas, melepaskan kulitnya dan mengambil bagian dalam sebagai bahan anyaman dengan ukuran tertentu sesuai keinginan. Bambu diirat kemudian dijadikan bahan anyaman dalam bahasa lokal setempat disebut woli.
ADVERTISEMENT
Komunitas ini tidak menganyam  dari bagian kulit secara langsung. Baru setelah selesai proses menganyam dilanjutkan dengan menyulam anyaman dasar dengan bahan (woli) yang diambil dari bagian kulit bambu. Setelah disulam maka anyaman terlihat lebih kokoh dan indah.
Dari sisi isu ekologi, kegiatan anyaman yang bernilai budaya dan ekonomis ini dapat mendorong masyarakat daerah ini sampai pada kesadaran bahwa Allah sudah menyediakan bagi kita kemakmuran melalui ciptaan alam yang kaya. Tugas kita, kata Emanuel, adalah menjaga lingkungan dari kerusakan, terutama dari ancaman kebakaran yang menjadi bencana rutin setiap tahun.
Emanuel mengajak semua pihak agar sama-sama menjaga alam. “Kita tidak pernah menanam dan membuatnya tumbuh, tetapi kita mengambilnya dari alam dengan cuma-cuma untuk kebutuhan hidup. Contohnya, bahan anyaman yang terbuat dari bambu aur yang tumbuh liar di alam. Bambu aur tidak pernah dibudidaya. Tanaman ini tumbuh secara liar di hutan,” jelas Emanuel.(FP-03).
ADVERTISEMENT