Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten Media Partner
Logu Senhor, Tradisi Peninggalan Portugis di Kampung Sikka - Flores
20 April 2019 11:32 WIB
![Salib Senhor yang diusung para pengusung dalam prosesi Logu Senhor di Gereja Santo Ignatius Loyola, Sikka.Foto oleh : Mario WP Sina, florespedia/kumparan.con](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1555733708/zvxczjjwlmlymlynfxsa.jpg)
ADVERTISEMENT
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WITA, saya bersama 3 rekan Jurnalis di Kota Maumere menuju Kampung Sikka, Desa Sikka, Kecamatan Lela. Sore itu, kami berkumpul bersama ribuan umat Katholik dari berbagai paroki di wilayah Keuskupan Maumere menghadiri pelaksanaan prosesi Jumat Agung menyambut perayaan Paskah atau yang dikenal dengan Logu Senhor.
ADVERTISEMENT
Setibanya kami di Gereja Santo Ignatius Loyola Sikka, sudah dilaksanakan ibadat yang dipimpin oleh Uskup Maumere, Mgr.Ewaldus Martinus Sedu, Pr. Kami pun membaur bersama umat untuk mengikuti ibadat sebelum dilaksanakan prosesi Logu Senhor.
Tampak semua umat yang hadir mengenakan baju berwarna hitam sebagai tanda perkabungan. Setiap umat nampak memegang sebatang lilin yang akan dinyalakan nanti ketika hendak melakukan Logu Senhor.
Prosesi Logu Senhor merupakan tradisi religi yang telah berjalan sejak abad 16 di Gereja Santo Ignatius Loyola, Kampung Sikka, Desa Sikka.
Menurut penuturan Budayawan Kampung Sikka, Orestis Parera dan sesuai buku panduan Doa dan Lagu Logu Senhor 2019, dikisahkan bahwa pada akhir abad ke XV sampai awal abad ke XVI di wilayah Sikka ini dipimpin seorang tokoh yang bernama Moang Baga Ngang. Beliau mempunyai tiga orang putra yaitu Moang Lesu, Moang Korung dan Moang Keu.
ADVERTISEMENT
Dari ketiga orang putra tersebut Moang Lesu lebih menonjol dalam hal wawasan dan lebih memahami kehidupan masyarakat di wilayah Sikka mulai Bari kelahiran, Kehidupan, penderitaan sakit dan penyakit sampai dengan kematian, seperti yang diungkapkan dalam syair bahasa Sikka.
"Niang ei Beta Mate Tanah ei Herong Potat Mate Due Rate Rua Potat Due Leda Telu"
"Blutuk Niu Nurak di mate Blupur Odo Korak di potat Teri di mate era di potat"
Oleh karena itu, beliau memikirkan dan mencari kemungkinan di dunia ini ada tempat, kampung dan pulau yang tidak ada penderitaan dan kematian. Maka Moang Lesu lalu mengembara mencari tanah tersebut yang dalam bahasa Sikka berarti "Tanah Moret".
Beliau mengembara keluar dari kampung Sikka menuju wilayah utara dan tiba di wilayah Maumere tepatnya di pelabuhan Waidoko yang pada saat itu merupakan tempat persinggahan atau berlabuhan kapal- kapal dagang dari Bugis, Buton, Makasar, Bonerate dan juga kapal dagang Portugis dari tanah Malaka.
ADVERTISEMENT
Di sana beliau bertemu dengan salah seorang anak buah kapal dagang Portugis yang bernama Dzogo Worilla. Moang Lesu lalu bertanya apakah di tanah mereka tidak ada kematian, namun jawaban dari Dzogo Worilla bahwa di dunia ini manusia yang lahir, hidup dan akan berakhir dengan kematian.
Tetapi untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti akan "Tanah Moret" tersebut, beliau diajak untuk bersama-sama berlayar menuju ke tanah Malaka karena di sana akan memperoleh penjelasan yang lebih pasti.
Oleh karena keinginan yang kuat untuk mencari "Tanah Moret", Moang Lesu pun akhirnya berlayar bersama-sama menuju tanah Malaka.
Setibanya di sana Moang Lesu dipertemukan dengan Gubernur Tanah Malaka dan beliau menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya yaitu mencari "Tanah Moret".
Jawaban yang diperoleh ialah bahwa hanya ada kehidupan yang bahagia dan kekal setelah kematian di dunia ini, maka Moang Lesu harus mengikuti persyaratan-persyaratan yakni membangun gereja dan mengikuti semua ajaran-ajaran Gereja dan membangun Irimida ( stasiun perarakan).
ADVERTISEMENT
Moang Lesu menyetujui persyaratan-persyaratan yang disampaikan dan siap untuk melaksanakannya. Selanjutnya beliau pun mengikuti pelajaran agama katolik, pelajaran ilmu politik dan pemerintahan selama kurang lebih 3 tahun.
Setelah itu beliau dibaptis dengan nama Don Alexius Ximenes da Silva dan dilantik menjadi raja Sikka oleh Gubernur Tana Malaka.
Ketika akan kembali ke Sikka, Moang Lesu menghadiahkan kepada Gubernur Malaka sejumlah emas dan harum-haruman yang dalam Bahasa Sikka disebut "Ambar Menik" (Muntahan ikan paus).
Sebaliknya Gubernur Malaka memberikan hadiah kepada Moang Lesu berupa Salib Senhor, Patung Meninung (Patung Kanak - kanak Yesus sebagai Raja), Tugur Griang (panji yang bergambar orang kudus ujung bawanya terbelah dua), Regalia kerajaan dan sejumlah besar batang gading berukuran besar dan sedang.
ADVERTISEMENT
Diperkirakan pada tahun 1608 Moang Lesu kembali dari tanah Malaka didampingi seorang Guru Agama yang berkebangsaan Portugis bernama Agustinho Rossario Da Gama yang bergelar Moang Morenho. Setibanya di kampung Sikka, Moang Agustin Rosario Da Gama menyelenggarakan upacara pengukuhan kembali Moang Lesu Menjadi Raja Sikka.
Selain itu juga, beliau mulai mengajar iman katolik kepada keluarga raja serta semua warga masyarakat Sikka, sekaligus memimpin upacara upacara Liturgi Gereja termaksud upacara Liturgi Prosesi Logu Senhor pada hari raya Jumat Agung yang dalam bahasa Sikka disebut "Sexta Fera".
Logu Senhor berarti berjalan di bawah usungan Salib Senhor sambil membawa lilin yang bernyala di tangan seraya berdoa dalam hati semoga intensi atau permohonanan mereka dikabulkan oleh Tuhan Yesus yang menderita dan Wafat pada hari itu.
ADVERTISEMENT
Salib Senhor merupakan suatu Rahmat dan kekuatan dari Allah yang dapat menyembuhkan orang dari segala jenis penyakit yang sulit disembuhkan secara meths, yang belum dikarunia keturunan bahkan juga membebaskan orang dari penderitaan apapun.
Para peserta Prosesi Logu Senhor memberikan kesaksian iman bahwa dengan mengikuti upacara ini, Tuhan mengabulkan doa dan permohonan mereka.
Logu Senhor ini mengungkapkan pentingnya nilai Religius dalam kehidupan orang Sikka dan sekaligus menyadarkan orang akan kerapuhan hidup, yang hanya mendapatkan kekuatanya dalam kehidupan Agama. Devosi ini juga berguna dalam melestarikan nilai-nilai agama yang katolik.
Selanjutnya sejak saat itu upacara Logu Senhor tetap dilaksanakan pada setiap Hari Raya Jumad Agung dibawah Pimpinan Moang Agusthinho Rosario Da Gama.
ADVERTISEMENT
Setelah kematian Beliau, maka upacara ini dipimpin oleh putranya yang benama Thomas Didimus Da Gama. Namun setelah beberapa tahun kemudian beliau pindah Bari kampung Sikka dan berdiam di Maumere tepatnya di Waidoko.
Meski demikian upacara Logu Senhor tetap diselenggarakan setiap tahun. Kemudian pada pertengahan tahun 1800 datanglah Moang Nyong Bari Ende (Kampung Numba) yang beriman Katolik pemimpin suku Darabogar dan tinggal di Wisung Darapung.
Ia dipercayakan oleh Raja untuk memimpin acara Jumad Agung dan Logu Senhor dengan Gelar Moang Mestry (Liturgi).
Prosesi Logu Senhor ini sempat ditiadakan oleh para Imam Jesuit yang menjadi Pastor di Paroki Sikka, tetapi selanjutnya dengan adanya kesepakatan dari umat dan disetujui oleh Pastor Paroki maka Devosi Logu Senhor ini kembali dilaksanakan seperti biasa dan seterusnya akan tetap dilaksanakan pada setiap Hari Raya Jumad Agung (Sexta Fera).(FP-01).
ADVERTISEMENT