Konten Media Partner

Masyarakat Adat di Sikka, NTT Gelar Ritual Adat Minta Hujan

10 Februari 2020 18:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tanaman jagung para petani di Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka yang terancam kering karena ketiadaan hujan. Warga pun menggelar ritual adat meminta hujan. Foto: Akun FB TheJanto Blw.
zoom-in-whitePerbesar
Tanaman jagung para petani di Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka yang terancam kering karena ketiadaan hujan. Warga pun menggelar ritual adat meminta hujan. Foto: Akun FB TheJanto Blw.
ADVERTISEMENT
MAUMERE – Panas berkepanjangan hingga mengakibatkan ratusan hektar lahan jagung di Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Propinsi NTT mengalami kerusakan akibat diserang hama ulat grayak yang berpotensi terjadinya gagal panen.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut membuat masyarakat adat Desa Watuliwung, menggelar ritual adat meminta hujan kepada para leluhur mereka pada Senin (10/2/2020) setelah lima tahun silam, ritual adat yang sama pernah digelar.
Ritual adat tersebut dimulai dari lokasi upacara Watu Mahe di kampung Hubin Arat, Desa Teka Iku, Kecamatan Kangae.
Di Watu Mahe, para tetua adat yang dipimpin oleh salah seorang dari suku atau Lepo Tana Puan, memberi makan kepada para leluhur. Selain Lepo Tana Puan, enam lepo lainnya yang mendiami wilayah adat Watuliwung pun turut serta menyaksikan ritual adat tersebut.
Watu Mahe merupakan simbol tujuh lepo yang ada di wilayah adat Desa Watuliwung terdiri dari tujuh buah batu ceper berukuran sedang yang dijadikan sebagai tempat penghormatan kepada para leluhur.
ADVERTISEMENT
Tujuh lepo tersebut terdiri dari Lepo Tana Puan, Lepo Kale Wair, Lepo Kokokek, Lepo ’Wara Wolon, Lepo Para, Lepo Keder dan Lepo Pau.
Tujuh Watu Mahe tersebut oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai symbol dari masing-masing lepo (rumah) yang ada di wilayah adat Desa Watuliwung
Setelah memberi sesajian kepada para leluhur, rombongan masyarakat adat yang dipimpin oleh salah satu keturunan lepo tana puan, bersama-sama keturunan dari enam lepo lainnya berjalan menyusuri jalan sepanjang kampung menuju pantai yang disebut Nuba Nanga.
Nuba Nanga masyarakat adat Desa Watuliwung sering dikenal dengan sebutan Nubaarat.
Sepanjang perjalanan, para tetua adat akan memberi sesajian di tujuh watu mahe lainnya di sepanjang bukit yang mereka lewati dan memecahkan buah kelapa muda disetiap watu mahe yang disinggahi.
ADVERTISEMENT
Selain memberi sesajian, salah satu keturunan Lepo Kale Wair yang memikul bambu panjang berisi air akan menumpah air sedikit demi sedikit dari dalam bambu tersebut sepanjang jalan yang mereka lewati dengan melantunkan bahasa-bahasa adat setempat.
Nenek Maria Limek, salah satu warga Kampung Hubin Arat, Desa Teka Iku, keturunan Lepo Pau yang ditemui media ini menceritakan, selain memberi sesajian dan menumpahkan air di sepanjang jalan menuju pantai Nubaarat, dua orang dari keturunan lepo wara wolon memikul seekor babi yang belum dikebiri atau dalam bahasa setempat disebut wawi kamuk yang akan dipersembahkan kepada para leluhur.
“Acara adat ini dibuat sejak jaman dulu. Kalau panen gagal, atau tanaman diserang hama, para tua adat akan buat upacara adat ini. Upacara adat ini pernah dibuat lima tahun lalu karena waktu itu juga kondisinya seperti sekarang ini, tanaman jagung terancam gagal panen karena tidak turun hujan,” ujar Nenek Limek.
ADVERTISEMENT
Setibanya di Nubaarat, para tetua adat memberikan sesajian dengan ritual adat setempat dan salah seorang tua adat mencelupkan sebuah periuk tanah di laut sambil mengucapkan sumpah serapah yang akan dibalas sumpah serapah juga oleh masyarakat adat yang mengikuti ritual tersebut.
“Sumpah serapah itu hanya saat ritual itu berjalan, setelah itu tidak ada lagi dendam diantara mereka karena itu merupakan salah satu ritual yang harus dijalani juga,” tutur Nenek Limek.
Nenek Maria Limek mengisahkan, selama ritual tersebut digelar, masyarakat adat di Desa Watuliwung dilarang melakukan aktifitas di lahan - lahan mereka hingga 4 hari kedepan dan biasanya, setelah melakukan ritual, hujan akan mulai turun.
Nenek Maria Limek berharap, setelah adanya ritual adat meminta hujan kepada para leluhur, tanaman jagung yang saat ini dalam keadaan rusak akibat terserang hama ulat grayak mulai perlahan hilang sehingga tidak terjadi gagal panen.
ADVERTISEMENT
Selama ritual adat berlangsung, masyarakat adat dan pengunjung dilarang mengambil gambar atau mengabadikan momen ritual adat minta hujan tersebut.
Kontributor : Albert Aquinaldo