Konten Media Partner

Menilik Kehidupan Perempuan Suku Lio Mego

7 Desember 2021 9:28 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menilik Kehidupan Perempuan Suku Lio Mego
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Mikaela, begitulah ia sering disapa. Ia adalah perempuan suku Lio yang hidup dengan larangan adat atau pire.
ADVERTISEMENT
Menikahi Benediktus sejak dua puluh tahun silam membuatnya harus menjalani beberapa macam pire.
Mikaela Gabriella adalah seorang perempuan dari suku Lio Lekeba’i termasuk salah satu dari sekian banyak perempuan Lio yang menikah dengan lelaki dari suku Lio Mego.
Suku Lio Mego adalah salah satu suku yang berada di Kabupaten Sikka. Suku ini banyak dijumpai di kecamatan Magepanda, 15 km dari pusat kota Maumere. Mereka dikenal dengan suku yang menjalankan dan terikat erat dengan adat hingga kini, seperti pire (bahasa Lio: pamali, larangan, pantangan).
Bentuk pire ini bisa bermacam-macam, seperti tidak mengkonsumsi bahan makanan tertentu, tidak boleh menyebut nama mertua, tidak boleh menyebut kata-kata tertentu, dan lain-lain. Namun, yang menjalankan pire ini bukan semua masyarakat. Pire ini hanya dijalankan oleh perempuan keturunan suku Lio Mego dan perempuan yang menikahi lelaki suku Lio Mego.
Mikaela Gabriella.
“Setelah perkawinan adat dilakukan, daftar pire bertambah. Pire suku Lio Mego mengharuskan saya untuk tidak mengkonsumsi semua jenis telur, seperti telur ayam, telur bebek, telur burung puyuh, terong, kacang panjang, daging biawak, dan daging rusa dan lain-lain. Apalagi ketika anak pertama saya lahir,” ungkap Mikaela sembari berusaha menyalakan bara api di tungku dapurnya.
ADVERTISEMENT
“Bekas wajan yang dipakai untuk dadar telur juga tidak boleh dipakai lagi untuk memasak makanan yang akan saya makan,” tambahnya.
“Tidak hanya itu saja, makanan berbahan dasar telur seperti kue, puding yang memakai telur, atau martabak juga tidak boleh saya makan. Tapi untuk makanan berbahan dasar telur ini ada pengecualian, saya tidak boleh makan jika proses masaknya ini dilakukan di dapur keluarga mereka atau disaksikan langsung oleh saya,” lanjut Mikaela.
Setiap perempuan yang masuk ke dalam suku Lio diwajibkan untuk mematuhi pire makanan tanpa terkecuali. Disampaikan oleh Petrus Woda, Kepala Ulayat Adat Tanah Siu dan Tanah Roja, tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana larangan untuk mengkonsumsi makanan tersebut muncul.
ADVERTISEMENT
“Pire makanan dari tanaman dan hewan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana munculnya. Kepatuhan suku Lio terhadap adat itu sangat tinggi, dan semua mengikuti, tanpa terkecuali.”
Meskipun daftar pire yang harus dipatuhi oleh Mikhaela dan juga perempuan Lio lainnya bertambah panjang, namun tidak membuat perempuan 43 tahun ini merasa kesal ataupun dikekang.
Ia tetap menjalankan kesehariannya sebagai istri dan ibu dari keempat anaknya seperti ibu-ibu pada umumnya. Setiap hari ia ke ladang, membantu suaminya untuk menanam sayur.
Ia sempat berhenti untuk melanjutkan ceritanya sejenak saat anak perempuan kecil berbaju kuning datang menghampiri dan memeluknya. Mikaela tersenyum dan membiarkan perempuan kecil itu duduk di pangkuannya dengan tenang.
Vonny, perempuan Suku Lio (salah satu narasumber).
Lanjut Mikaela, ada beberapa pire yang lain yang harus ia taati. Selain pire makanan, Mikaela dan bapak mertuanya tidak boleh berada di bawah atap rumah yang sama. Sebagai menantu perempuan, Mikaela biasanya harus keluar dari rumah untuk sementara waktu apabila bapak mertuanya datang berkunjung. Ia biasa berada di sekitar halaman rumahnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ia juga tidak boleh berboncengan dengan bapak mertua, tidak boleh masuk kamar mertua, tidak boleh menyentuh, bahkan saat hujan sekalipun.
“Kalau saat dijemur dan hujan, biasanya orang pakai kayu untuk mengangkat jemuran,” cerita Mikaela sambil mengenang bapak mertuanya yang sudah berpulang beberapa tahun silam.
Beberapa bentuk pire ini juga berlaku bagi anak perempuan keturunan suku Lio Mego, seperti pantangan menyebut nama kerabat tertentu dari pihak bapak. Ia juga tidak boleh menyebut nama mertua, nama para ipar, dan semua nama-nama keluarga dari pihak suami.
Pire penyebutan ini tak jarang memunculkan masalah. Pasalnya, nama adalah sebuah penanda pribadi yang bisa sangat beragam. Tak jarang penanda itu baik tulisan maupun pengucapannya sama atau hampir sama dengan penanda angka, organ tubuh, nama tempat dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Jika nama iparnya adalah ‘Bunga’, maka ia tidak boleh menyebut kata ‘Bunga’, dalam semua konteks. Atau nama ‘Aty’ yang mirip pengucapannya dengan ‘hati’. Mikaela sendiri tidak boleh menyebut kata Maumere, karena seorang iparnya bernama Mere.
“Sebut nama itu haram sekali. Kalau saya mau pergi ke kota (Maumere), saya bilang gele longgo,” Gele longgo artinya ke belakang,” ujar Mikaela dengan garis bibir yang sedikit melengkung.
Pire penyebutan ini baru diperbolehkan untuk dilanggar bagi anak-anak perempuan yang sedang berada di lingkungan sekolah ataupun dalam konteks pendidikan dan jika dalam keadaan mendesak, seperti akses fasilitas kesehatan masyarakat. Namun di luar kepentingan pendidikan dan kesehatan, pire penyebutan ini harus tetap dipatuhi oleh masyarakat suku Lio.
ADVERTISEMENT
Selain Mikaela, ada Vonny, perempuan suku Lio Mego lainnya. Ia yang kini berusia 22 tahun ini tidak dapat menyebut angka ‘lima’ karena nenek dari ayahnya bernama Lima. Kebiasaan ini diturunkan oleh kedua orang tuanya.
Di masa mendatang, apabila Vonny memutuskan menikahi lelaki dari suku Lio Mego, ia juga akan menjalankan beberapa pire seperti yang dilakukan Mikaela. Kewajiban ini tidak ada apabila ia menikahi lelaki di luar suku Lio Mego yang diartikan dengan lelaki tersebut harus membeli adat.
“Beli adat sama dengan bayar belis (mas kawin). Untuk beli adat itu biasanya dengan uang atau kuda atau babi, tergantung kesepakatan keluarga,” kata Vonny.
Baik Mikaela dan Vonny menyadari pahwa pire terhadap jenis makanan tertentu juga akan berakibat pada terpenuhinya nutrisi tubuh dan kesehatan. Seperti tidak diperbolehkannya mengkonsumsi telur. Tapi bagi Vonny, ia seperti tidak memiliki pilihan lain.
ADVERTISEMENT
Vonny juga bercerita bahwa ada akibat yang harus mereka tanggung apabila melanggar larangan-larangan itu. Mereka bisa merasakan sakit. Bisa terkena gora (sejenis panu), gatal-gatal hingga luka di bagian tubuh tertentu. Seperti yang dialami oleh seorang tetangganya.
Sambil mengingat kejadian yang sudah lampau, Vonny bercerita bahwa tetangganya sakit parah hingga tidak bisa bangun dari tempat tidur. Meski rumah sakit mengatakan tidak ada penyakit, pihak keluarga mengetahui bahwa sakitnya berasal karena ia melanggar pantangan.
“Keluarganya pun melakukan adat ritual rasi a’i (cuci kaki), saat itu sih memang langsung sembuh,” tambahnya.
Rasi ra’i adalah ritual adat yang harus dilakukan tiap perempuan yang menikahi lelaku suku Lio Mego melanggar pire. Saat tidak sengaja menyebut nama mertua atau melewati mertua tanpa menunduk, ia harus membasuh kaki mertua. Begitu juga saat secara tidak sengaja menyebut nama iparnya.
ADVERTISEMENT
Air basuhan kaki ini kemudian diminum. Tidak hanya itu ritual adat lainnya, air liur mertua ataupun ipar-ipar ditampung dalam gelas kosong lalu diminum. Biasanya setelah melewati ritual ini, orang yang sakit akan sembuh kembali.
Karena alasan inilah, kemungkinan untuk melanggar atau mengabaikan pire menjadi kecil dan adat ini tetap dipertahankan hingga kini.
“Sebenarnya kami agak tidak setuju (dengan ritual rasi a’I –red), tapi itu bentuk sanksi adat, jadi mau tidak mau (harus tetap melakukan –red). Sanksi adat seperti rasi a’i bukanlah sanksi yang ringan, mungkin karena hal itulah suku Lio begitu patuh dan adat istiadat mereka tetap berjalan hingga sekarang,” tutur Vonny.
Petrus Woda, salah satu tetua adat suku Lio yang sekaligus wakil rakyat Kabupaten Sikka.
Petrus Woda, salah satu tetua adat suku Lio yang sekaligus wakil rakyat Kabupaten Sikka menjelaskan bahwa pire tidak seperti pantangan biasa karena kalau pantangan yang biasa itu ada jeda dan batas waktunya, namun pire berlaku selamanya.
ADVERTISEMENT
Dalam adat Lio terutama untuk kaum perempuan yang masuk dalam kelompok keluarga laki-laki yang dikenal dengan klam atau kelompok keluarga kecil memang didalamnya ada seperti pire telo atau telur, terong, daging rusa, daging babi dan lain-lain.
Tapi tidak semua kelompok yang makan dibilang klam (kelompok keluarga yang kecil). Namun jika ada yang melanggar maka akan terjadi gora, seperti terkena penyakit kulit dan tidak akan bisa disembuhkan kecuali meminta maaf dan mengakui kesalahan. Penyembuhannya melalui tetua adat dan akan dilakukan ritual adat.
“Larangan ini hanya berlaku untuk perempuan karena perempuan sudah masuk ke dalam keluarga dan sudah diberikan mas kawin atau belis. Jadi tidak berlaku untuk lelaki suku Lio Mego,” tambah lelaki kelahiran Moke Tema Magepanda 25 Mei 1959 silam ini.
ADVERTISEMENT
”Ya . . ., memang terkesan berat bagi perempuan, namun adat ini tetap harus dilaksanakan dan perempuan ini tidak sendirian, ada keluarga, jadi tidak kaku. Pire ini bisa dialihkan. Misalnya, jika perempuan sedang hamil maka ia membutuhkan asupan gizi. Asupan gizi yang paling sederhana ialah telur, tapi telur sudah dilarang untuk dikomsumsi. Maka solusinya adalah pantangan tersebut dialihkan ke mama mertua atau Ibu dari suaminya. Jadi pihak laki-laki harus turut menjaga menantu mereka.”
“Jika seorang menantu di rumah dengan mertua lelaki, maka yang harus di luar itu bapak mertuanya. Kan kasihan jika perempuan harus di luar. Kenapa hal ini dilakukan? Hal ini semata-mata untuk menghindari fitnah dan menjaga perempuan,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Banyaknya pire yang dimiliki perempuan Lio, tanpa menelaah lebih jauh nilai-nilai yang dihidupi dalam pelaksanaan adat ini tak jarang membuat masyarakat di luar suku ini menilai bahwa pire ini adalah sebuah adat yang aneh dan memberatkan perempuan.
Profesor Aron Mbete, seorang guru besar yang fokus pada kajian-kajian budaya di Universitas Udayana.
Melihat kondisi ini, Profesor Aron Mbete, seorang guru besar yang fokus pada kajian-kajian budaya di Universitas Udayana, Bali, memberikan pemahaman agar orang-orang tidak salah persepsi mengenai adat dan kebiasaan dari suku Lio mego.
Masyarakat harus lebih bijak melihat adat kebiasaan yang dirawat dan dihidupi suku apapun itu, termasuk suku Lio dalam perspektif yang lebih baik karena secara antropologi itu ada etik dan emik yang harus diperhatikan.
“Etik itu kita tidak boleh melihat permukaannya saja, tapi kita harus mencari emiknya atau sisi dalamnya sesuai dengan kacamata mereka dengan konsep ilmu yang universal. Pembentukan budaya itu juga sebenarnya untuk kebaikan dari kelompok dimana budaya itu dihidupi dengan mempertimbangkan keadaan dari kelompok itu sendiri.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, saran saya kita buka secara deskriptif dulu dan kita gambarkan apa yang ada. Setelah itu harus ada penjelasan dari mereka suku Lio. Sehingga kita tidak menilai dari kacamata kita sendiri. Maknanya dan nilai yang berarti bahwa makna-makna itu kaya melalui cerita verbal ataupun non verbal itu menjadi penting untuk dilihat”, tutur Aron Mbete.
Perempuan Suku Lio, Magepanda.
Bagi Vonny dan Mikaela sendiri, menjadi perempuan Lio memang tidak mudah dengan ragam aturan. Apalagi kerap kali mereka mendapatkan candaan dari masyarakat tentang cara mereka menjalani adat.
“Tetapi kami tetap menjalani dengan senang hati dan juga ini sebuah kebanggaan untuk kami karena masih mampu mempertahankan budaya dan adat istiadat kami di zaman yang sudah modren ini,” ucap Vonny yang turut diamini Mikaela.
ADVERTISEMENT
Meskipun hal ini bukan hal yang mudah bagi perempuan yang menikah dengan suku Lio Mego, namun upaya suku Lio dalam menjaga adat budaya patut diapresiasi.
Nilai-nilai penghargaan dan penghormatan kepada orang tua, keluarga, alam dan leluhur yang sangat kental dilaksanakan dalam adat suku Lio melalui pire ini selayaknya membuat kita kembali merenungkan untuk menjaga adat budaya kita.
Tak ada yang salah dengan mematuhi adat dan budaya sebagai upaya menjaga identitas sebuah entitas budaya tanpa mengurangi nilai-nilai kebebasan dan mengurangi akses-akses individu di dalamnya.
***
Liputan/produksi ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Informasi penulis:
Maria Dewinta Bara
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nusanipa Maumere.