Konten Media Partner

Meniti Kisah Penerimaan Keragaman Gender Dari Timur

14 Januari 2022 14:25 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
SMA Negeri 1 Maumere.
zoom-in-whitePerbesar
SMA Negeri 1 Maumere.
ADVERTISEMENT
Sekolah buat Mona bukan tempat yang aman. Ia sering mendapatkan diskriminasi dan tekanan baik secara fisik maupun mental justru ketika di sekolah.
ADVERTISEMENT
Gerak-geriknya feminin. Mona mulai mendapat banyak perlakuan tidak menyenangkan, karena ekspresinya yang lembut dan gemulai, sejak duduk di bangku SMA.
Tindakan diskriminatif, perundungan (bully), hingga kekerasan kerap ia peroleh dari teman-teman maupun gurunya.
Tingkah laku dan gaya bicara yang feminin sementara secara biologisnya laki-laki, membuat Mona, transpuan dari kampung Wuring, Maumere, Nusa Tenggara Timur, ini kerap menerima lontaran kata-kata yang melukai hatinya.
Itu dulu, tahun 1979, ketika Mona menempuh jenjang pendidikan di salah satu sekolah menengah atas di Maumere. Usianya kini menginjak 56 tahun. Di masa remaja, ia mulai merasa berbeda dengan teman laki-laki sebayanya. Ia lebih nyaman bermain dengan anak perempuan.
“Perlakuan yang sangat menyakitkan hati, waktu saya masih duduk di SMEA. Wakil direktur (wakil kepala sekolah, red.) sangat benci dengan perilaku saya. Kadang kala, saya tuh menghadap ke ruang kepala sekolah, kadang mau disiram dengan air hangat, kadang mau dipukul dengan rotan. Pernah dia suruh teman-teman laki-laki, yang maskulin, untuk hajar aku,” kisah Mona.
Yolanda Adam.
Terkadang, jika sedang berada di luar jam sekolah dan berpergian ia kerap mendapat komentar-komentar pedas dari kawan-kawannya, “Ngapain kamu seperti ini? Bikin malu sekolah saja, kamu nih laki-laki mau jadi perempuan,” kata Mona menirukan olokan itu.
ADVERTISEMENT
Mona tak menamatkan pendidikannya. Selain karena terkendala biaya, ia juga tak merasa nyaman berada di lingkungan sekolah.
Itu adalah kisah Mona. Ia adalah salah satu penggagas cikal bakal berdirimya Perwakas, Persatuan Waria Kabupaten Sikka.
Selain Mona, kisah lainnya datang dari Yolanda Adam. Ia transpuan kelahiran Maumere (1983) yang tergabung dalam komunitas Fajar Sikka, sebuah komunitas yang hadir untuk kelompok marginal dan minoritas, khususnya para transpuan, lansia, dan anak-anak disabilitas.
Yolanda mulai bergabung dengan komunitas Fajar Sikka sejak tahun 2018.
Sama seperti Mona, ketika masih duduk di bangku SMP Yolanda kerap mendapatkan bully karena kala itu sebagai lelaki gerak-geriknya feminin.
Perlakuan yang merendahkan dan melecehkan ia dapatkan dari teman-teman maupun para guru.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu ekspresi saya belum terlalu nampak seperti sekarang ini. Saya masih berpakaian layaknya laki-laki hetero. Hanya karena ekspresi saya kelihatan dari mimik, gaya jalan, lenggak-lenggok saya, dan itu yang membuat saya beda dengan teman-teman. Sehingga saya dipanggil banci. Ya kayak gitu, diteriakin,” kisahnya.
Saat mengikuti pelajaran olahraga, ia makin sering mendapat ujaran-ujaran yang tidak mengenakkan hati dari lingkungan sekolah.
“Kalau dari guru, saya dapat perlakuan paling sering saat mengikuti pelajaran olahraga, karena membutuhkan tenaga yang lebih, seperti laki-laki yang bermain bola kaki. Ya, saya sedikit agak kurang di situ, jadi dibilang oleh guru, ‘Kamu harus bisa. Kamu itu laki-laki, laki-laki itu harus kuat’ dan kata-kata lainnya. Ya memang agak sakit, sih. Tapi saya hanya menganggapnya sebagai suatu tempaan untuk saya sebelum saya menemukan orientasi saya yang seperti ini,” kata Yolanda.
ADVERTISEMENT
Sebagai siswa laki-laki feminin, ia mencari ruang-ruang aman. Dirinya memilih untuk hanya bergaul dengan orang-orang yang memang mau berteman dengan dirinya. Hal ini dilakukannya untuk menghindari bullying.
Yolanda kemudian melanjutkan pendidikannya di bangku SMA. Namun di semester pertama, ia memutuskan berhenti sekolah dan fokus untuk mencari jati dirinya. Ia merantau ke tanah Jawa.
Menurut Mona dan Yolanda, sebenarnya masih banyak kisah transpuan yang dulunya, saat remaja, adalah lelaki feminin, dan mengalami berbagai bentuk pelecehan atau tindakan-tindakan yang merendahkan harkat martabat manusia di lingkungan sekolah.
Maumere semakin toleran
Ironis. Alih-alih menjadi wadah untuk mengedukasi anak bangsa tentang toleransi, menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi kemanusiaan, tidak sedikit ruang kelas dan lingkungan sekolah yang menggelorakan kebencian, menamakan sikap intoleran, dan mencontohkan perilaku-perilaku yang memusuhi keberagaman, terlebih lagi terhadap minoritas gender dan seksualitas.
ADVERTISEMENT
Mereka, para peserta didik, yang sedang masa bertumbuh dan dalam proses pencarian identitas, secara bersamaan mengalami berbagai bentuk intoleransi di lingkungan sekolah. Padahal, dunia pendidikan harusnya menjadi satu dari sekian ruang aman atas ekspresi gender yang berbeda dari kebanyakan yang ada di sekolah.
Akibatnya, banyak dari lelaki feminin dan terutama transpuan yang tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi. Sejak SMP atau SMA, mereka sudah mengalami masa-masa dikucilkan, tidak diterima, sehingga mereka keluar dari sekolah dan tidak sedikit transpuan usia remaja terpaksa mencari kehidupan di jalanan.
Sekitar 30 tahun lalu, Maumere serupa kota-kota lainnya dengan penduduk yang majemuk tetapi tak cukup cair dalam menerima perbedaan. Namun, Maumere yang juga merupakan ibu kota dari kabupaten Sikka, ini sekarang menjadi salah satu kota yang ramah terhadap keberagaman, termasuk di antaranya keberagaman gender dan seksualitas.
ADVERTISEMENT
Tak banyak yang paham bahwa ekspresi gender tak melulu soal identitas gender seseorang. Karena itu, ekspresi lelaki yang feminin menjadi rentan untuk mendapat diskriminasi, perundungan, dan stigma.
Kini, di tengah maraknya pemberitaan tentang tindakan-tindakan intoleransi terhadap minoritas gender dan seksualitas di bangku pendidikan, ternyata masih ada sekolah ramah anak yang melihat perbedaan bukan sebagai kekurangan, tetapi meletakkan keberagaman menjadi kekayaan yang harus diterima dengan terbuka. SMA Negeri 1 Maumere adalah salah satunya.
Fakta tersebut diakui oleh Al dan Edo (bukan nama sebenarnya) dua orang siswa feminim yang duduk di bangku kelas 11 di SMA Negeri 1 Maumere.
Mereka merasa tak mengalami diskriminasi apapun karena ekspresinya yang berbeda. Keduanya aktif di berbagai kegiatan di sekolah seperti ekstra kurikuler, perlombaan, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Di sini murid laki-laki feminin diterima oleh lingkungan sekolah. Mereka tidak mengalami diskriminasi seperti yang pernah dialami oleh Mona puluhan tahun silam.
Contoh dari tidak adanya diskiriminasi gender di sekolah ini yaitu setiap murid diperlakukan secara sama oleh guru laki-laki maupun perempuan. Tidak ada hal yang membeda-bedakan para peserta didik laki-laki maupun perempuan, termasuk laki-laki dengan ekspresi gender yang feminin.
“Saya merasa sekolah adalah rumah kedua saya,” kata Al yang merasakan dan mengalami langsung interaksi sehari-hari di sekolahnya, yang menurutnya tak ada perlakuan membeda-bedakan, baik dari sesama teman maupun para guru.
Pentingnya penerimaan
Lia Sareng dan Juan, siswa SMA Negeri 1 Maumere.
Di sekolah ini siswa maupun siswi selalu dibekali dengan tata tertib sekolah yang mengajarkan untuk menghormati dan menghargai setiap perbedaan yang ada.
ADVERTISEMENT
Para guru juga mengajarkan siswa dan siswi untuk menjalin komunikasi dan membina hubungan yang baik dengan sesama teman dan membiasakan diri untuk tidak mengejek atau menghina teman-teman yang memiliki perbedaan.
“Di sekolah ini kami sangat terbuka dengan diri kami sendiri, sangat menerima diri kami.Teman-teman dan guru-guru di sini sangat menerima kami. Meskipun kami berteman dengan perempuan, teman-teman laki-laki di sini tidak masalah dengan hal itu karena itu adalah kebahagian dan hak kami,”ujar Al menggambarkan tentang pentingnya penerimaan dari lingkungan sekolahnya terhadap siswa yang berekspresi feminin seperti dirinya sehingga memungkinkan mereka menjalani tumbuh kembang sebagai remaja secara sehat.
Terkait penerimaan dan upaya membangun lingkungan sekolah yang inklusif ini menjadi perhatian Edo, kawan sekolah Al, yang ekspresi gendernya juga feminin.
ADVERTISEMENT
Edo bermimpi tentang atmosfer pendidikan yang ramah dan aman terhadap fakta keberagaman gender tidak sekadar di sekolah tempat ia belajar, tetapi juga di sekolah-sekolah lainnya dari Sabang sampai Merauke.
“Di Indonesia ini mereka melihat suatu perbedaan sebagai kekurangan seseorang. Jadi saat mereka melihat kami dan kami berbeda, mereka merasa bahwa kami ini berkekurangan sehingga mereka menjauh dari kami,” sesal Edo.
Ia menyadari betul negeri yang ditinggalinya masih mengucilkan minoritas gender, terutama laki-laki dengan visibilitas feminin, gerak-gerik tubuh maupun cara bicara yang jauh dari maskulin.
Bangsa ini, menurut Edo jauh dari inklusif. Dalam proses-proses pembangunan di berbagai aspek kehidupan (sosial, ekonomi, hingga politik), bangsa ini kerap meninggalkan atau tidak melibatkan minoritas gender karena menilainya sebagai negatif, kekurangan.
ADVERTISEMENT
“Lingkungan yang saya harapkan yaitu yang pertama lingkungkan yang tidak toxic. Lingkungan yang kami bisa come out (tanpa rasa takut). Saya mau lingkungan yang orang-orangnya menganggap sesuatu kekurangan orang adalah kelebihan orang. Jadi saat melihat orang lain dari sisi manapun mereka tidak akan melihat kelemahan orang, melainkan kelebihannya,” tutur Edo menyampaikan ekspektasinya.
Lingkungan yang nyaman dan ramah keberagaman adalah impian dari siswa-siswa feminin. Mereka menaruh harapan pada adanya lingkungan yang bisa menerima setiap ekspresi gender apa adanya, tidak membeda-bedakan dan tidak memandang dengan sebelah mata. Salah satu lingkungan yang positif di Maumere ini tercipta oleh semua komponen lembaga pendidikan, terutama guru dan murid.
Karmelia Sareng dan Juan Nathanael Pratama Mehan, siswa SMA Negeri 1 Maumere tidak pernah terpikir apalagi tergerak untuk memperlakukan kawan-kawannya secara berbeda. Meski begitu, mereka mengakui ada kenyamanan tersendiri ketika bergaul dengan murid laki-laki yang feminin.
ADVERTISEMENT
“Berteman dengan siapa saja itu wajar. Semua orang itu sama. Jadi, kalau berteman dengan mereka, saya malah rasa lebih nyaman dibandingkan dengan teman-teman yang lain karena sifat mereka berdua berbeda dengan teman-teman yang lain,” ujar Karmelia.
“Untuk sifat mereka, tanggapan dari sekolah ini fine-fine, tidak dipermasalahkan, malah mendukung mereka supaya bisa berbaur dengan kami semua,” Juan ikut menyokong pandangan Karmelia.
Karmelia menyadari betapa banyak fakta ketidakadilan di Indonesia yang dihadapi oleh kalangan minoritas gender dan seksualitas.
“Sejauh ini saya nonton di TV di luaran sana banyak teman-teman yang sifatnya seperti ini (laki-laki feminin) kadang di-bully bahkan di bakar hidup-hidup.Tetapi di sini tidak ada yang seperti itu, malah banyak yang mau berteman dengn mereka,” lanjut Karmelia Sareng.
ADVERTISEMENT
Menguatkan peran sekolah yang adil gender
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Maumere Johanes Jonas Teta, S.Pd.
SMA Negeri 1 Maumere membuat sebuah tata tertib sekolah untuk mencegah perundungan. Tata tertib tak hanya dibuat, namun juga diperkenalkan kepada semua siswa melalui sosialisasi yang dilakukan oleh guru bimbingan penyuluhan (BP) atau guru bimbingan konseling (BK).
“Yang dilakukan oleh sekolah adalah pada tata tertib. Didalam tata tertib sekolah dilarang keras untuk melakukan pembulian dalam bentuk apapun, baik secara fisik maupun verbal. Kemudian, guru-guru BP/BK selalu menyosialisasikan ke kelas tentang stop bullying,” jelas Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Maumere Johanes Jonas Teta, S.Pd.
“Sebagai kepala sekolah juga bapak dan ibu guru harus terlebih dahulu menjadi contoh bagaimana memperlakukan semua anak, termasuk siswa kami yang gerak geriknya feminine. Kita perlakukan semuanya sebagai anak kita yang sama,” tegas Johanes Jonas.
ADVERTISEMENT
Ia paham betul bahwa ketika guru membeda-bedakan apalagi mendiskriminasi peserta didik, maka secara psikologis akan mempengaruhi yang bersangkutan maupun siswa-siswa lainnya.
“Ketika kita memperlakukan mereka sama, akan menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri mereka bahwa mereka (yang berbeda) diterima,” lanjut Johanes Jonas.
Bagi Johanes, pendidikan seyogyanya mengajarkan untuk saling menerima setiap bentuk perbedaan dan tidak membedah-bedahkan antara satu dan yang lainnya. Hal yang sama disampaikan seorang pengajar di Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur, Yogyakarta, Arif Nuh Safri.
Johanes dan Arif sama-sama menegaskan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang hampir sama untuk menempuh pendidikan dengan aman dan nyaman, tanpa perlu merasakan diskriminasi atas ekspresi dan identitas gender maupun orientasi seksual mereka.
Pengajar di Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur, Yogyakarta, Arif Nuh Safri.
Akademisi kelahiran 1983 ini menilai penerimaan masyarakat di NTT terhadap perbedaan bukanlah hal yang mengejutkan.
ADVERTISEMENT
Faktor budaya yang penuh rasa kekeluargaan, lanjut ustaz pembimbing santri di Pondok Pesantren Waria al-Fatah, Yogyakarta, membuat masyarakat di NTT lebih ramah terhadap keberagaman gender, seksualitas, termasuk agama.
“Kalaupun itu terjadi penerimaan yang lebih ramah terhadap teman-teman transpuan di sekolah-sekolah di Maumere, saya yakin itu karena ada faktor budaya yang memang kuat di sana. Saya pikir memang beberapa daerah di timur itu identik dengan penerimaan yang luar biasa tidak hanya penerimaan keberagaman gender, tetapi juga termasuk penerimaan tentang keberagaman agama,” papar Arif.
Karena itu, ia mendorong sekolah-sekolah dan institusi pendidikan lainnya lebih serius untuk membangun ruang aman bagi siapa saja, tanpa membedakan pilihan gender dan seksualitas seseorang.
“Pendidikan itu berbicara tentang manusia dan yang bertindak di bidang pendidikan itu juga semuanya adalah manusia. Ketika kita bicara tentang manusia tentu ada keberagaman yang unik. Justru sebenarnya ketika ada keragaman di dalam sekolah, itu menjadi menarik. Jangan sampai keunikan dan keberagaman di sekolah ditutup oleh keseragaman atau harus diseragamkan,” lanjut pria yang memberikan perhatian besar pada isu keberagaman gender dan seksualitas melalui kajian hadis dan tafsir Al-Qur’an.
ADVERTISEMENT
“Kita harus mencoba memberikan wacana seluas-luasnya dan mudah-mudahan wacana-wacana yang ramah semacam ini terus disuarakan oleh siapapun, khususnya media, tetapi memang media tidak semua memberikan ruang atau wacana yang ramah terhadap mereka,” tutup bapak dua anak ini.
Cerita-cerita baik mengenai penerimaan dunia pendidikan seperti yang berkembang di SMA Negeri 1 Maumere terhadap semua perbedaan segenap peserta didiknya secara terbuka dan ramah, memberikan catatan dan potret penting bahwa toleransi telah tertanam dan terus bertumbuh bersama budaya masyarakat NTT.
Tantangannya, penghargaan terhadap realitas gender dan seksualitas yang beragam harus juga disertai dengan distribusi pengetahuan isu yang mendasar, dengan demikian toleransi yang ada tidak sebatas euforia.
Tulisan oleh : Lidwina Putri Ida Tidha. Bagian dari program pemberian beasiswa liputan dalam rangkaian kegiatan Workshop & Story Grant : Anak Muda Ramah Gender & Seksualitas yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
ADVERTISEMENT