Konten Media Partner

Ritus Adat Warga Tokan Lota Pito, Lembata, Tradisi Usir Hama dan Minta Hujan

23 Januari 2022 12:04 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Upacara adat Tokan Lota Pito di Lembata. Foto: Teddi Lagamaking
zoom-in-whitePerbesar
Upacara adat Tokan Lota Pito di Lembata. Foto: Teddi Lagamaking
ADVERTISEMENT
LEMBATA - Pagi itu, langit di desa Lamatokan tampak mendung. Awan kelihatan menghitam, sementara hantaman angin laut Flores terasa begitu kuat. Pertanda, sebentar lagi hujan lebat.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, tetua adat, dan suku-suku Tuan Tanah di komunitas adat Tokanjaeng dan Baolangu (Tokan Lota Pito) serta masyarakat dua desa (Lamatokan dan Baolaliduli) sudah lebih dulu memadati halaman Tugu Seremonial Adat di desa Lamatokan.
Mereka meyakini, arwah leluhur, alam serta Tuhan tidak akan menurunkan hujan sebelum ritual adat di hari itu selesai dilakukan.
Keterangan foto:Warga memadati tugu tempat berlangsungnya seremonial adat. Foto:Tedi Lagamaking.
Disisi lain, persis dari atas jalan setapak masuk desa, terlihat Tarsisius Asan tengah membawa sebuah sampan berukuran kecil. Sampan itu Ia pikul dari Kampung Lama, letaknya di atas gunung yang berjarak 5 kilometer dari desa Lamatokan.
Lima menit setelah tiba, sampan yang sudah dibuat sehari sebelum ritual adat tersebut dilakukan, langsung diletakan di atas sebuah batu berukuran besar yang letaknya tidak jauh dari tempat seremonial.
ADVERTISEMENT
"Secara adat dan budaya, saya macam Pelayan (Kwinay Lewhon) yang bertugas membawa Sampan dari Kampung Lama kesini," ungkap pria asal suku Lamau ini kepada media, Kamis (20/1).
Keterangan foto: Ritus 'Pao Boe-Bao Loloken' (memberi makan-minum roh arwah leluhur) dengan cara menuangkan Tuak ke atas sebuah Batu yang dipercaya sebagai Mesbah, Jumat (21/1). Foto : Teddi Lagamaking
Sesaat kemudian, tetua adat dari tiga suku Tuan Tanah yakni suku Kokemaking, Bomemaking dan Bidomaking melangsungkan ritual adat dibawah tugu.
Upacara itu berjalan khusuk. Tidak terdengar bunyi kendaraan atau desas desus suara warga. Yang ada hanya Syair Adat yang diucapkan dari tetua adat tiga suku.
Sembari melantunkan syair adat, para tetua adat menuangkan sedikit demi sedikit Tuak di atas sebuah Batu. Batu itu dipercaya sebagai Mesbah, tempat mereka memberi makan dan minum arwah leluhur.
Setelah memberi makan minum arwah leluhur berupa sesajian adat, lewat Syair Kramat, ketiga suku meminta restu serta berkat dari arwah leluhur nenek moyangnya. Mereka berkeyakinan, doa-doa adat yang dipanjatkan itu bakal mendapat jawaban setimpal.
ADVERTISEMENT
"Supaya diberikan hujan yang cukup dan hasil kebun kami tahun ini melimpah, ujar Frans Bomemaking, salah satu sesepuh Komunitas Tokan Lota Pito, kepada media di sela-sela kegiatan, Kamis (20/1).
Usai upacara adat di tugu, sesepuh adat tiga suku dan semua warga dua desa berarak menuju pantai.
Keterangan foto:Seremonial "Bou Klebou" sebagai tahap awal dari ritual mengusir hama dan meminta hujan. Foto:Tedi Lagamaking.
Terlihat saat itu, Tarsisius yang sudah dilegitimasi secara adat sebagai Pelayan pun kembali menjalankan tugasnya. Sampan itu Ia pikul menuju tempat dimana seremonial kedua dilakukan.
Dipinggir pantai, tepat dibawah pohon Asam, sampan tersebut diletakan dan proses seremonial adat yang kedua dilanjutkan.
Dalam ritus adat ini, sesepuh tiga suku di dampingi Kwinay Lewhon (Pelayan) kembali duduk bersila, melingkari Batu atau Mesbah sambil melepaskan Syair Adat diikuti penuangan Tuak ke atas Batu atau Mesbah.
ADVERTISEMENT
Pada ritus ini, tiga suku di komunitas Tokan Lota Pito berharap agar bala, hama, sakit dan penyakit, serta kesialan tidak lagi ada, melainkan menjauh dari kehidupan mereka.
Peristiwa sakral ini ditandai dengan melepaskan sampan ke tengah Samudera oleh beberapa warga.
Namun, sebelum dilepaskan, petugas adat menaruh seekor tikus dan belalang di dalam sampan termasuk kacang hutan yang sudah dimasukan dalam anyaman dari daun lontar.
Bagi mereka, itu merupakan simbol, bahwa segala sesuatu yang berpotensi merugikan pertanian, mendatangkan bencana serta kesialan selama hidup telah diusir dan enyah ke tengah laut.
Masyarakat adat dua desa itu pun percaya kalau ritus tersebut manjur sehingga rasa damai, keselamatan dan hidup dalam berkecukupan akan mereka alami di tahun ini.
ADVERTISEMENT
"Sedu sika nu maya api angine (usir semua tula, bala, hama penyakit, kesialan dan angin-angin jahat.red) keluar dari kampung menuju ke tengah laut (tahik lewa)," terang Frans yang juga Sekertaris Lembaga Adat Desa Lamatokan.
Usai proses adat kedua ini, semua masyarakat wajib mematuhi semua pantangan dan larangan sesuai keputusan komunitas adat Tokan Lota Poto di Kecamatan Ile Ape Timur.
Dalam putusan adat disebutkan bahwa usai pelaksanaan ritus adat mengusir hama (Sedu Sika Nu Maya Apu Angine) dan meminta hujan (Toku Leta Ura Wai), dilarang keras ada aktivitas warga dalam kampung, termasuk melaut.
Sesuai kearifan lokal di dua kampung itu, jika warga melanggar aturan bakal dikenakan denda. Masing-masing menanggung satu ekor babi dan kambing besar, pisang satu tandan, ayam jantan besar satu ekor ditambah tuak satu tempayan.
ADVERTISEMENT
"Kampung dalam keadaan berkabung, tidak boleh ada aktifitas yang membuat ribut dan gaduh termasuk kerja kebun dan lainnya," tandas Kepala Desa Lamatokan, Yohanes Esmedano Emi
Keterangan foto:Para tetua adat dan masyarakat kampung Tokanjaeng dan Baolangu berkumpul di halaman tugi seremonial adat Desa Lamatokan. Foto:Tedi Lagamaking.
Lamanya waktu perkabungan di dua kampung, Tokanjaeng dan Baolangu berdasarkan keputusan tiga suku Tuan Tanah (Koke, Bome, Bido) adalah empat hari, terhitung dari Jumat 20 Januari petang sampai Selasa 25 Januari 2022.
"Lewo Muro (larangan beraktifitas di dalam kampung), mulai dari batas desa Lamawolo dan desa Lamaau tidak diperkenankan ada kegiatan apapun. Semuanya Silent," pesan Kades Yohanes Esmedano Emi dihadapan warga.
Pemerintah desa setempat juga berkeyakinan bahwa, pasca empat hari perkabungan, masyarakat Lamatokan dan Baolaliduli pasti mendapat berkat berlimpah. Mulai dari hasil panen kebun, hingga kesehatan, serta terbebas dari sakit dan penyakit.
ADVERTISEMENT
"Kita musti bersyukur, karena Erupsi Gunung Api dan Banjir Bandang, satu biji kelikir pun tidak kena desa kita, itu pertanda arwah leluhur, nenek moyang masih sangat mencintai, melindungi kita. Seremoni adat ini rutin dilakukan setiap tahun untuk menghargai dan meminta restu perlindungan mereka," ucap salah satu aparat desa Lamatokan disela-sela diskusi.