Konten Media Partner

Tati Nahing: Upaya Perempuan Sikka Pertahankan Identitas Budaya Lewat Kain Tenun

22 Oktober 2021 21:17 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keterangan foto: anak-anak dari anggota kelompok tenun sedang menunjukkan benang pewarna alam hasil olahan kelompok Tati Nahing.Sumber foto:IG @ikat_tenun_sikka.
zoom-in-whitePerbesar
Keterangan foto: anak-anak dari anggota kelompok tenun sedang menunjukkan benang pewarna alam hasil olahan kelompok Tati Nahing.Sumber foto:IG @ikat_tenun_sikka.
ADVERTISEMENT
MAUMERE- Pelataran rumah Magdalena Kartini tampak sederhana. Beberapa jenis pohon seperti mengkudu dan pohon raja yang berbunga kuning tumbuh dengan subur di halaman rumahnya.
ADVERTISEMENT
Serumpun tanaman tarum yang tingginya tak sampai semeter tumbuh lebat. Tak seperti pekarangan rumah pada umumnya yang dihiasi dengan bunga-bunga, Magdalena Kartini memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam tanaman yang bakal digunakan seperti bahan pewarna alam.
Maka tak heran, saat berjalan lebih jauh ke dalam, kita dapat dengan mudah menemui benang-benang yang telah melewati proses pewarnaan, dijemur pada batang bambu yang melintang. Ada yang berwarna biru, kuning, merah, hingga coklat.
“Saya hidup dari kain,” kata Magdalena Kartini saat kunjungan saya ke sekian kalinya pada Mei 2021 lalu.
Rumahnya berlokasi di desa Lepolima, Kecamatan Nele, Kabupaten Sikka.
Magdalena Kartini mengenyam pendidikan hingga di bangku SMP, namun ia memilih untuk belajar menenun dengan pewarna alam dari sang ibu sejak usia 13 tahun.
Keterangan foto: Ibu Magdalena Kartini, Ketua Kelompok Tati Nahing. Sumber foto:IG @ikat_tenun_sikka.
Menenun menjadi pekerjaan utama keluarga mereka. Selain itu, ayahnya telah merintis sebuah sanggar tenun yang terkenal bernama Bliran Sina, di desa Watu Blapi.
ADVERTISEMENT
Saat menikah, ia meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di Lepo Lima bersama sang suami.
Kala kepindahannya, Magdalena Kartini menemukan bahwa tidak banyak perempuan yang menenun dengan menggunakan pewarna alam seperti yang ia lakukan di Bliran Sina.
“Waktu itu, banyak yang menenun dengan pewarna kimia,” ujarnya.
Pun begitu, ide untuk menginisiasi sebuah komunitas tenun pewarna alam di desa Lepolima tak datang serta merta.
“Saat itu ada teman dari Amerika. Dia mengajak saya dan 6 ibu-ibu lainnya untuk berdiskusi; bagaimana dengan pewarna alam dan bagaimana menenun.” Magdalena Kartini berkisah.
Hal pertama yang dilakukan adalah menanam di polibag tanaman-tanaman pewarna alam dan tanaman kapas. Tanaman pewarna itu antara lain daun katup, kunyit, mengkudu dan nila. Setiap peserta membawa pulang bibit untuk kemudian ditanami di kebun masing-masing.
ADVERTISEMENT
Tak hanya sampai di situ, sang bule tersebut meminta untuk dibuatkan tenunan pewarna alam dengan ukuran 50cm dan motif yang sederhana.
“Motif tunggal, dan sisi kiri kanannya kosong.”
“Setelah kami buat, dia beli dengan harga 350 ribu. Harganya sama dengan kain tenunan pewarna kimia.”
Padahal, dari segi ukuran, tenunan pewarna kimia lebih besar dari pada tenunan pewarna alam dan harganya sama. Namun proses pengerjaan kain tenunan pewarna alam tentu saja lebih rumit.
Para ibu-ibu pun mulai menyadari bahwa tenunan pewarna alam memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Inisiasi membentuk kelompok tenun pun lahir dari Magdalena Kartini.
Pada 12 April 2014, kelompok tenun ikat pewarna alam Tati Nahing terbentuk.
“Apa arti dari frasa Tati Nahing?” tanya saya.
ADVERTISEMENT
“Hidup adalah perjuangan. Contohnya, kita menanam atau bekerja harus tulus dari hati pasti hasilnya juga akan kita petik dengan bagus.” Magdalena Kartini menjelaskan.
Keterangan foto: Ibu Magdalena Kartini bersama anggota dan ibu Pendamping Desa saat kunjungan di Kelompok Tati Nahing. Sumber foto: IG @ikat_tenun_sikka.
Yang menjadi anggota dari Tati Nahing adalah ibu-ibu, bapak-bapak dan anak muda. Anggotanya didominasi oleh para ibu rumah tangga. Kini telah berjumlah 15 orang.
Tak semua anggota yang tergabung dalam Tati Nahin telah mahir mewarnai dan menenun. Tati Nahing menjadi ruang belajar bagi mereka.
Berbekal ilmu yang telah didapat selama 20 tahun menjadi pengrajin tenun di Bliran Sina, dan memiliki jaringan yang baik, Magdalena Kartini membagi keahliannya bagi para anggota kelompok, seperti mewarnai benang menggunakan pewarna alami, membuat motif, menenun, menceritakan makna dari tiap motif yang dihasilkan, hingga memutuskan harga.
ADVERTISEMENT
“Harga sebuah kain itu berdasarkan, yang pertama lamanya pengerjaan, bahan pewarna yang kita habiskan, lalu biaya kerja kita. Jadi setelah itu kita hitung semua baru kita putuskan jualnya dengan berapa.” Jelasnya.
Harga juga disesuaikan dengan kepadatan tenunan, lurus tidaknya motif, serta kerumitan pengerjaan. Semakin rumit dan lama pengerjaan, maka semakin mahal.
Untuk menjaga kualitas produk bersama terutama soal warna, Tati Nahin memiliki jadwal tersendiri untuk mewarnai benang. Mereka menyebutnya ‘hari mewarnai’.
Di hari itu, para pengrajin meluangkan waktu untuk datang ke rumah Magdalena Kartini yang digunakan sebagai basecamp.
Hari mewarnai tak tentu. Biasanya dua minggu sekali dan pada akhir pekan. Sisanya, pengerjaan seperti mengikat motif, dan menenun bisa dilakukan di rumah masing-masing sambil mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
Sebelum Covid melanda, sistem penjualan lebih banyak dilakukan secara langsung karena banyak turis yang datang ke Kabupaten Sikka. Kain tenun Tati Nahin turut dipajangkan di sanggar Bliran Sina, sebagai lepo besar. Di banyak even di Maumere, Tati Nahin turut mengambil bagian.
Setiap tenunan yang dipajangkan dilabeli dengan informasi dasar seperti harga, makna motif tenun, dan kontak pengrajin. Tawar menawar dilakukan langsung ke pengrajin tenunan tersebut. 10% dari penjualan tenun diberikan kepada kelompok untuk tujuan pembiayaan komunitas.
Situasinya berbeda saat pandemi melanda. Penjualan dilakukan secara online. Tenunan diposting melalui feed instagram. Pemesanan dilakukan secara virtual. Meski penjualan tak sebanyak sebelum pandemi, aktifitas menenun tetap dilakukan secara rutin.
Berdaya dengan Tenun Ikat
Keterangan foto: Anggota Kelompok Tati Nahing bersama kepala desa Lepolima pada tahun 2018.Sumber foto: IG @ikat_tenun_sikka.
Para perempuan yang tergabung dalam kelompok tenun Tati Nahin berdampak baik bagi para anggota.
ADVERTISEMENT
Tati Nahin menjadi pusat distribusi pengetahuan bagi setiap anggota kelompok. Dominika Nona (32), salah satu anggota Tati Nahin awalnya tak pernah menenun dengan pewarna alam.
“Dulu saya pernah tenun kimia dan saya menenun tenun kimia. Setelah saya mengikuti kelompok Tatin Nahin ini saya ikut (belajar) mewarna dulu. Mengikat saya belum bisa, saya hanya ikut saja mereka (kelompok) punya pekerjaan sehari-hari. Hasil akhirnya saya sudah bisa (menenun pewarna alam).” Kata Dominika Nona.
Dulunya menenun dianggap sebagai sebuah pekerjaan sampingan, namun kini para ibu-ibu menyadari bahwa aktifitas menenun mampu menopang perekonomian keluarga.
Dari menenun mereka mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Tak hanya itu, pelestarian kebudayaan melalui tenunan tetap terjaga. Beberapa motif tua seperti motif naga, motif naga lalan, motif ai roun, dan lain-lain tetap diproduksi meski tidak dipesan. Tujuannya adalah sebagai arsip budaya agar tidak punah.
ADVERTISEMENT
Dukungan dari Pemerintah Desa
Selama tujuh tahun berdiri, Tati Nahin mendapat perhatian dari banyak pihak.
Beberapa anggota berkesempatan mengikuti berbagai pelatihan dari Bekraf. Selain itu, beberapa kali mengikuti pameran di Denpasar dan Jakarta.
Tati Nahin kini menjadi kelompok binaan desa Lepolima. Pada 2020 lalu, Tati Nahin menjadi kelompok prioritas.
“Terkait program unggulan desa kita (pemerintah desa) di sini melihat bahwa ada yang berpotensi karena mereka (kelompok tenun ikat ) tidak hanya musiman tapi memang sudah ada dan sebelum ada intervensi dari desa mereka sudah ada dan berkembang. Jadi , kita intervensi bantuan dalam bentuk pembinaan seperti pembinaan kemasyarakatan dalam bidang dukungan terhadap usaha ekonomi produktif.” Terang sekretaris desa Lepolima saat ditemui secara terpisah pada 21 Mei 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Desa memberikan bantuan pada kelompok Tati Nahing sejak kelompok Tati Nahing menjadi salah satu kelompok binaan Desa Lepolima pada tahun 2018.
Keterangan foto: Ibu Magdalena Kartini bersama Kepala Desa Lepolima dan ibu (istri Bupati Sikka) di suatu event di Maumere.Sumber foto: IG @ikat_tenun_sikka.
Bantuan yang diberikan berupa bahan dan alat sesuai kebutuhan untuk menunjang kegiatan menenun di kelompok Tati Nahing.
Pada tahun pertama bantuan yang diterima berkisar belasan juta rupiah. Bantuan tersebut tidak dalam bentuk uang namun berupa alat - alat produksi seperti ember, baskom dan peralatan lainnya untuk menunjang kegiatan dalam memproduksi tenun ikat.
Alat dan bahan produksi ini membantu kelompok tenun ikat Tati Nahin meningkatkan produksi tenun ikat kelompok ini sehingga berdampak pada perekonomian anggota.
“Produksi kami mengalami peningkatan. Bantuan-bantuan tadi kami bagikan ke anggota, sehingga yang awalnya 1 lembar, setelah mendapatkan bantuan bisa mencapai 3 sampai 4 lembar. Dengan bertambahnya produksi ini maka penjualan kami juga meningkat” Magdalena Kartini menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Dua tahun lalu sebelum Covid, kelompok ini juga mendapat bantuan berupa benang dan uang tunai sebesar satu setengah juta rupiah per orang, yakni sebesar 30% dari total penerimaan bantuan, dan sisanya dimanfaatkan kelompok ini untuk penambahan modal kelompok. Uang kelompok ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi.
Selain itu jika ada kebutuhan untuk pameran atau kegiatan-kegiatan lain di kelompok, maka mereka memanfaatkan dana bantuan ini.
Alat-alat produksi yang diberikan pemerintah ini sangat membantu para anggota kelompok tenun Tati Nahin. Bantuan ini ditempatkan di basecamp, tempat mereka berkumpul untuk mewarna.
"Tahun lalu (2020), kelompok Tati Nahing memberikan kain tenun ikat pewarna Alam sebagai buah tangan pada pemerintah Desa Lepolima", ungkap Sekretaris Desa Lepolima, Benyamin Kristison.
ADVERTISEMENT
Peluang dan tantangan kelompok
Akun IG Kelompok Tati Nahing.
Pandemic Covid-19 ini sangat mempengaruhi penjualan tenun ikat kelompok, dan sempat melumpuhkan aktifitas kelompok Tati Nahin.
Pembatasan-pembatasan kegiatan masyarakat oleh masyarakat guna menekan angka penderita Covid-19 tak ayal membuat anggota kelompok kehilangan pembeli mereka.
“Jika tak bisa bertemu langsung dengan pembeli, lalu bagaimana Tati Nahin bertahan? Apakah pernah berusaha menjual melalui social media?” tanya saya kepada ibu dari empat anak ini.
“kebetulan anak saya yang laki-laki punya social media. Dia kadang posting-posting foto. Ya…. Kadang dari posting-posting itu ada yang tanya, ada juga yang beli, tapi tidak banyak”
Saya pun mencoba mencari akun IG @ikat_tenun_sikka. Akun ini mempunyai 904 pengikut, mengikuti 3.012 akun. Akun ini pertama kali memposting foto pada 12 Agustus 2020 dengan caption “Benang warna alam (bahan tradisional pembuatan kain sarung sikka)”,.
ADVERTISEMENT
Sementara foto yang diposting adalah gulungan benang warna warni di atas kain tenun ikat pewara alam yang cantik dan background benang yang telah diwarna dan diikat.
Foto yang cantik, estetis namun hanya mendapatkan 9 suka dan tidak ada interaksi. Padahal, teknik marketing dengan platform social media ini, selain dituntut mampu menghasilkan foto yang menarik juga harus disertai dengan kemampuan story telling untuk memikat calon pembeli.
Hingga tulisan ini diturunkan, akun tenun_ikat_sikka ini baru memposting 83 foto dalam kurun waktu 13 bulan, dan minim interaksi.
“Untuk mengelola social media, menawarkan dagangan dengan social media, kami masih belum tau caranya dan kami memang belum pernah mendapatkan pelatihan dari manapun. Kami sadar kami membutuhkannya. Semoga nanti ada yang membantu kami” harapnya menutup pembicaraan kami.
ADVERTISEMENT
Tulisan oleh: Maria Angelina Robertha Baga. Bagian dari program pemberian beasiswa liputan dalam rangkaian kegiatan Workshop & Story Grant: Anak Muda Ramah Gender & Seksualitas yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).