Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menggali Kubur untuk Daniil Kvyat
15 November 2017 18:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Fajar A Nawawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiga tahun silam, tim juara dunia Formula 1 Red Bull bolehlah pongah. Seolah tak pernah gagal menghasilkan pebalap berbakat, mereka kedatangan anak muda dari Rusia bernama Daniil Kvyat. Membawa gelar juara GP3 di musim sebelumnya, Kvyat ditempatkan di tim junior Red Bull, Scuderia Toro Rosso. Di musim pertamanya, pebalap yang saat itu berusia 20 tahun tersebut mampu meraih poin di empat ajang grand prix.
ADVERTISEMENT
Gayung bersambut, di musim berikutnya ia dipromosikan ke tim utama Red Bull Racing untuk menggantikan Sebastian Vettel yang pindah ke Ferrari. Sekali lagi, ia mampu menunjukkan kehebatannya dengan mengungguli Daniel Ricciardo di klasemen akhir dan meraih podium pertamanya di musim itu juga. Namun kecemerlangannya itu tidak bertahan lama. Pada musim berikutnya ketika balapan baru digelar tiga seri, ia diturunkan kembali ke Toro Rosso tepat setelah mengunci podium pertamanya (dan terakhir) di musim 2016.
Max Verstappen, nama yang menjadi hantu bagi Kvyat. Anak ajaib ini berhasil menggusur posisi Kvyat di Red Bull dan ajaibnya Verstappen langsung meraih gelar juara seri pertamanya di balapan keduanya bersama Red Bull! Pintu Kvyat untuk kembali pun semakin tertutup ditambah dengan performa apik Ricciardo di musim 2016 tersebut.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan bagi Red Bull untuk "mengorbankan" Kvyat. Max Verstappen sangat berharga bagi Red Bull, ia diprediksi akan menjadi juara dunia di masa depan (at least bisa dijual kembali dengan harga super mahal). Ditambah lagi di balapan terakhirnya bersama Red Bull, Kvyat membuat masalah dengan Vettel (yang pernah menjadi anak emas Red Bull) sehingga membuatnya dijuluki "Torpedo". Demotivasi muncul dalam diri Kvyat. Musim itu pun berbuah kritikan pedas terhadap dirinya, pasca diturunkan ke Toro Rosso ia pun tidak mampu mengalahkan rekan setimnya, Carlos Sainz Jr.
2017 pun menjadi titik nadir baginya, sepanjang musim penampilan Sainz yang luar biasa sudah cukup untuk mempecundangi Kvyat. Namun Kvyat diperbolehkan sedikit bernafas, pasalnya deal baru antara STR dan Honda di 2018 mengakibatkan tim Renault, yang juga supplier mesin Toro Rosso di 2017, diizinkan untuk meminjam Sainz di musim 2018. Nama Pierre Gasly yang merupakan juara GP2 2016 dan juga pebalap cadangan Red Bull muncul menjadi kandidat untuk menemani Kvyat di musim 2018. Perubahan muncul lebih awal, Sainz diperbolehkan membalap di Renault di sisa 4 seri terakhir. Gasly pun menjadi tandem Kvyat di GP Malaysia dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Drama melaju ke GP AS, Gasly yang merupakan kandidat terkuat juara Super Formula Jepang lebih memilih membalap di Super Formula ketimbang di Formula 1 yang kebetulan jadwalnya bentrok. Satu posisi di STR pun kembali kosong untuk gelaran GP AS. Pilihan tim jatuh kepada Brendon Hartley, pebalap didikan Red Bull yang juga juara dunia WEC 2015 dan 2017 serta juara 24 Hours of Le Mans 2017. Pada balapan tersebut Kvyat finis di posisi 10 dan sang debutan Hartley finis di posisi 13.
Angin berhembus kencang ketika di balapan berikutnya, GP Mexico, Toro Rosso lebih memilih komposisi duet Gasly-Hartley. Ternyata posisi Kvyat di 2018 tidak aman. Petaka muncul pasca GP Mexico, Kvyat didepak dari Toro Rosso . Sungguh ironis di kala balapan terakhirnya ia berhasil mencetak poin.
ADVERTISEMENT
Masa Depan
Dengan posisi lowong di Formula 1 yang hanya tersisa Sauber dan Williams, pintu Kvyat di ajang balap mobil tertinggi itu pun hampir tertutup. Ferrari dengan dua pebalap junior mereka, Antonio Giovinazzi dan Charles Leclerc, berambisi menjadikan Sauber sebagai tim satelit mereka meskipun Sauber tampak akan mempertahankan Marcus Erricson dan mengambil salah satu dari Gio atau Leclerc. Sementara Williams hampir pasti mempertahankan Lance Stroll yang tampil cukup impresif di musim debutnya. Satu-satunya peluang yang tersisa adalah kursi Felipe Massa yang pensiun musim ini.
Meskipun begitu, persaingannya pun sangat berat. Mereka adalah Robert Kubica yang merupakan mantan pebalap papan atas Formula 1 dan sempat vakum semenjak 2010 akibat cedera. Pesaing lain adalah Pascal Wehrlein, yang merupakan pebalap junior Mercedes yang merupakan pemasok mesin untuk Williams. Ada lagi Paul di Resta yang merupakan pebalap cadangan Williams musim lalu dan sempat membalap musim ini menggantikan Felipe Massa di GP Hungaria.
ADVERTISEMENT
Balapan Alternatif untuk Kvyat
Dengan kecilnya kemungkinan untuk bertahan di Formula 1 dan sudah penuhnya kursi di Formula E, maka balapan yang mungkin diikuti adalah IndyCar dan WEC. Sesuai julukan "Torpedo" yang diembannya, tentu saja kedua ajang balapan tersisa itu sangat cocok untuk diikuti Kvyat. IndyCar dengan watak khas Amerika yang blak-blakan akan membuat Kvyat lebih banyak berpikir untuk tidak menyalahkan hal lain atas kesalahan yang diperbuatnya sendiri, sebagaimana yang sering ia lakukan selama ini.
Begitu pula WEC, dengan durasi per seri balapan yang sangat panjang ditambah dengan banyaknya crash yang terjadi, mau tidak mau akan membuat Kvyat berpikir lebih keras dan tidak asal cepat.
Namun, pilihan apapun yang diambil toh kuburan untuk karir balapnya sudah mulai dipersiapkan.
ADVERTISEMENT