Toleransi yang Memancing Jodoh (Ah, Tidak Juga)

Fajar A Nawawi
korban vonvon dan bungkus chitato
Konten dari Pengguna
15 Juni 2017 15:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar A Nawawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kuartal tiga tahun 2014 kalau tidak salah, saat itu aku sebagai pendatang baru (yang gak baru-baru amat) di Jakarta masih mencari-cari kenikmatan dari rutinitas yang bernama commuting. Lokasi tempat kost yang tak jauh dari kantor ataupun pusat hiburan dan perbelanjaan membuatku lebih khatam melakukan perjalanan dengan TransJakarta atau Kopaja/Metromini. Perjalanan pulang dari Pasar Glodok menuju terminal Blok M saat itu aku masih ingat. Jarak halte Glodok yang tidak jauh dari terminal Kota seringkali menyisakan kursi kosong, tanpa berpikir panjang ya langsung duduk.
ADVERTISEMENT
Melewati halte Monas, errr you know macetnya semacam ada obral pahala di sana-, seorang bapak tua (gak juga) kira-kira berumur 50an masuk dan tanpa celingak-celinguk (mencari tempat duduk) ia berdiri di tengah (itu loh yang sambungan entah apa namanya). Seketika, malaikat jahat atau setan atau apa namanya pun berbisik (entah kenapa aku selalu membayangkan sosoknya seperti Jack Nicholson, bukan pula karakternya sebagai Joker, Jack Torrance, atau Frank Costello melainkan Randle P. McMurphy di film One Flew Over the Cuckoo's Nest),
"Bapak-bapak umur segitu belum lansia kok, lo gak ada kewajiban untuk ngasih tempat duduk sama dia."
Namun selintas aku teringat sosok Bapak, waktu kecil, bahkan remaja, malah Bapak yang selalu memberikan tempat duduknya kepadaku setiap kali kami pergi naik kendaraan umum. Aku panggil bapak tua itu, ia menolak, katanya tidak apa-apa. Namun aku berbohong kubilang aku mau turun, akhirnya ia duduk. Aku berdiri di tempatnya berdiri barusan.
ADVERTISEMENT
Memasuki halte Tosari, penumpang bergerombol masuk, kuyakin mereka semua sehabis berbelanja di GI. Hal itu nampak dari seorang wanita berkisar umur yang sama denganku yang berdiri di sebelahku. Wanita pekerja, pikirku. Tangannya menggenggam sebuah kantong belanja Body Shop dan Sephora, isinya paling gak jauh dari barang perawatan tubuh beraroma alpukat atau lipcream NYX yang gak mahal-mahal amat. Wajahnya, uhm, ya semanis kittendust lah kira-kira, cakep sih tapi terlalu generik, pikirku.
Berusaha mengusir kebosanan, aku membuka handphone dan menyalakan aplikasi Tinder yang belum terlalu rame saat itu. Swipe left, swipe left, lalu muncul wajah yang baru kukenal tapi serasa familiar.
"Swipe right aja mas gak apa-apa, hihi", tiba-tiba wanita di sebelahku ikut nimbrung. Wow seperti adegan-adegan di drama korea saja. Namanya Anjani, tanpa perlu bertanya "Hai, boleh kenalan?" kami langsung larut dalam obrolan karena ternyata kami berada di industri yang sama. Menarik, kami berbincang banyak hal mulai dari comeback-nya Neon Trees sampai seperti apa keadaan Bams Samsons terbaru. Hahaha, terkadang membicarakan sesuatu yang tergolong Guilty Pleasure itu lebih menarik dibanding yang lagi hits saat itu.
ADVERTISEMENT
Tidak terasa, ia pamit harus turun. Aku tidak meminta nomor hp-nya, biarkan saja mengalir seperti kisah Jesse dan Celine di film Before Trilogy, pikirku. Lagipula, kami sudah matched di Tinder. Aku pun turun dari bis dan sampai di kamarku. Hal yang pertama kulakukan, buka Tinder. Celakanya, tak ada Anjani di daftar matched itu. Dia meng-unmatch kami. Ya sudah lah, biarkan saja lah.
---------------------------------------------------------
Lima atau enam bulan berselang, aku beruntung bisa me-manage keuangan sehingga bisa menyaksikan Foo Fighters di Melbourne. Menyanyikan Learn to Fly dan Best of You dalam lautan manusia adalah impian yang harus tercapai saat itu. Seolah takdir yang memutuskan, tanpa diduga aku bertemu Anjani. Ya, dalam probabilitas yang tidak lebih dari 5% Jesse kembali bertemu Celine. Bahkan Celine saja pun harus menunggu buku milik Jesse menjadi best seller untuk bisa bertemu kembali.
ADVERTISEMENT
Tanpa berbincang banyak, kami hanya saling terpukau bisa bertemu lagi pada jarak 5207 km dari tempat pertama kali kami bertemu. Sama-sama memasuki venue, kami juga tak saling bicara karena bisingnya suara yang datang dari panggung. Yang paling kuingat, kami menyanyikan Everlong (lagu terakhir) bersama-sama.
And I wonder when I sing along with you
If everything could ever feel this real forever
If anything could ever be this good again
The only thing I'll ever ask of you
You've got to promise not to stop when I say when
Konser pun berakhir setelah Dave Grohl berkata, "Memasuki halte Sarinah, sekali lagi, memasuki halte Sarinah. Bagi penumpang yang akan turun mohon jangan berebut. Hati-hati saat melangkah turun dan perhatikan barang bawaan Anda. Terima kasih."
ADVERTISEMENT
-------------------------------------------------------
Kampret, ternyata tadi cuma mimpi.
Tapi bapak tua yang kupersilakan duduk dalam mimpi tadi nyata. Beda orang tapi kisaran umur yang sama. Lantas, aku teringat Bapak. Dari barang bawaannya, sepertinya ia korban kekejaman ibu kota, mungkin baru kena usir Satpol PP. Kupanggil bapak tua itu dan kupersilakan duduk. Bahagia itu sederhana, kulihat wajah capeknya tersenyum dan berucap terima kasih. Sehat-sehat terus, pak!