Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Resolusi Jihad: Pemicu Pertempuran Surabaya yang Jarang Diketahui
23 Desember 2020 16:22 WIB
Tulisan dari fadhila fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang terlintas di pikiran saat mendengar kata Pertempuran Surabaya? Sebuah konflik besar yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam melawan pihak sekutu yang ingin kembali menanamkan kekuasaannya di Indonesia yang waktu itu baru seumur jagung. Peristiwa sakral ini sampai diabadikan menjadi hari Pahlawan yang ditetapkan pada tanggal 10 November, dan kota Surabaya yang menjadi pusat pertempuran ini juga mendapatkan sebutan kota Pahlawan karenanya. Sebenarnya, apa yang membuat seluruh masyarakat saat itu bersedia mempertaruhkan nyawanya meski tidak memiliki pengalaman militer yang mumpuni? Selain karena rasa kebangsaan, rupanya terdapat suatu resolusi yang telah mendorong semangat rakyat untuk mengangkat senjata dan menjaga kedaulatan tanah air dari tangan kolonial. Resolusi itu ialah Resolusi Jihad.
ADVERTISEMENT
Dicetuskan pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh ketua Nahdlatul Ulama, K. H. Hasyim Asy’ari. Mengapa disebut Resolusi Jihad? Karena resolusi ini memfatwakan bahwa membela tanah air merupakan tindakan jihad yang hukumnya wajib bagi tiap-tiap orang yang bertempat pada radius 94 KM, yang berada di luar jarak itu juga berkewajiban membantu. Sekilas, fatwa ini kelihatannya hanya ditujukan pada kalangan santri saja, yang saat itu jumlahnya memang cukup banyak. Namun, secara tidak langsung, ajakan berjihad tersebut juga telah membakar semangat masyarakat Surabaya yang mayoritas beragama Islam.
Rupanya, proses perumusan Resolusi Jihad ini sudah disiapkan dengan matang sebelumnya. Merupakan keputusan dari hasil pertemuan tokoh-tokoh agama di seluruh Jawa dan Madura, dan dianggap akan memiliki pengaruh besar untuk mendorong semangat masyarakat kala itu. Sebelumnya, ketegangan di kota Surabaya sudah muncul akibat insiden pengibaran bendera Belanda di hotel Oranje. Insiden tersebut semakin mendorong rasa kebangsaan dalam diri rakyat Surabaya, dan Indonesia pada umumnya, untuk benar-benar lepas dari tangan penjajahan.
ADVERTISEMENT
Fatwa ini juga merupakan kelanjutan dari pertanyaan yang diajukan oleh Presiden Soekarno kepada K. H. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang terkait masalah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pasalnya, sampai bulan Oktober ini, belum ada satupun negara yang mau mengakui Indonesia sebagai negara yang sudah merdeka. Ini disebabkan akibat usaha-usaha provokatif dari pemerintahan Belanda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia hanyalah sebuah negara boneka bikinan Jepang. Hal ini juga yang membuat Inggris mengirimkan pasukannya ke Surabaya dengan diboncengi tentara NICA.
Namun, berkat seruan Resolusi Jihad, ditambah pidato Bung Tomo yang berapi-api, membuat seluruh jajaran tokoh dan rakyat Jawa Timur, khususnya Surabaya, menolak mentah-mentah kedatangan pasukan Inggris di dermaga Modderlust, Surabaya pada 25 Oktober 1945. Meski awalnya Tindakan penolakan ini dipandang aneh oleh petinggi di Jakarta, namun pada akhirnya pihak Inggris jugalah yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, yaitu dengan kembali mengirimkan pasukan dengan jumlah yang tidak sedikit. Pihak sekutu juga membangun pos-pos pertahanan di berbagai sudut kota dan jelas hal ini semakin membangkitkan kemarahan rakyat Surabaya.
ADVERTISEMENT
Pertempuran kecil terus terjadi disertai dengan perundingan yang alot. Puncaknya ketika terjadi aksi tembak-menembak di Jembatan Merah yang mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal A. W. S. Mallaby pada 30 Oktober. Peristiwa itu gantian menyulut kemarahan pihak Inggris. Pada 31 Oktober 1945, dilontarkanlah ultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan pembunuh Mallaby beserta seluruh persenjataan kepada pasukan Inggris. Jika ultimatum tidak dijalankan, maka pada tanggal 10 November 1945, Kota Surabaya akan dibombardir dari darat, laut, dan udara. Sudah jelas rakyat Surabaya tidak akan menjalankan ultimatum ini, sehingga pertempuran besar pun tidak dapat dihindari.
Pertempuran Surabaya 10 November ini, dinilai sebagai pertempuran yang paling nekat dan destruktif, yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh pihak Inggris. Ini dikarenakan banyaknya rakyat yang ikut terjun ke medan tempur dengan hanya bermodal keberanian dan senjata sederhana, beberapa bahkan tidak mendapatkan pelatihan militer sama sekali, melawan pasukan gabungan Inggris-India yang dibekali persenjataan lengkap dan canggih. Serta tidak adanya taktik atau strategi di antara rakyat, yang membuat penyerangan mereka terkesan “keroyokan” membuat pasukan Inggris kewalahan. Bahkan prediksi Inggris bahwa Surabaya akan jatuh setelah tiga hari meleset, ini disebabkan karena rakyat Surabaya baru mundur ke luar kota setelah 100 hari pertempuran.
ADVERTISEMENT
Imbasnya, pertempuran maha dahsyat itu telah membuka mata dunia, bahwa Negara Indonesia bukan boneka Jepang melainkan sebuah negara merdeka yang mampu berdiri sendiri. Hal ini membuat pengakuan terhadap negara Indonesia meningkat. Menurut para pelaku sejarah, keberanian dan kenekatan rakyat Surabaya pada hari itu, tidak lain akibat seruan Resolusi Jihad yang telah membakar semangat rakyat agar mau mempertahankan kemerdekaan negara ini. Jadi, seandainya Resolusi Jihad tidak dicetuskan, pertempuran maha dahsyat di Surabaya mungkin tidak terjadi dan Indonesia masih sulit mengumpulkan dukungan atas kemerdekaan negaranya.