Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bretton Woods, Petrodolar, dan Melelehnya Dolar (Tamat)
5 April 2019 7:52 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Frass Kamasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
-Pidato Presiden Sukarno pada 30 September 1960 di PBB yang berjudul To build the world anew (Membangun Dunia Kembali).
Kegeraman Bung Karno itu didasarkan, antara lain, pada dua subversi penjajah Belanda kepada Indonesia setelah Proklamasi kemerdekaan.
Subversi pertama adalah agresi militer pertama tahun 1947 dan agresi militer kedua tahun 1948. Agresi militer adalah bukti fisik bahwa pihak kolonial tidak rela Indonesia merdeka.
Agresi gagal, sang penjajah pun ingin kembali menjajah, kali ini dengan metode ekonomi. Formatnya tetap menjajah, tetapi kini metodenya berbeda.
Subversi kedua menurut Drs. Revrisond Baswir, MBA , bangsa Indonesia dipaksa untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah:
ADVERTISEMENT
Ketika Indonesia merdeka, Bung Karno memanggil para ulama menanyakan mengenai hukum uang kertas dalam pandangan Islam. Bagaimana Indonesia mempunyai kertas sebagai uang? Para ulama menjawab padanya bahwa kertas ini legal hanya jika dapat ditukarkan dengan emas.
Intinya, uang kertas itu berfungsi seperti sebuah cek. Bung Karno pun memutuskan jika rupiah dapat ditukar ke emas dengan harga yang tetap.
Tetapi Persetujuan Bretton Woods melarang penggunaan emas sebagai uang. Untuk itu kemudian para penguasa uang harus menenggelamkan gagasan Putra Sang Fajar untuk membuka jalan Indonesia yang baru.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1956, Bung Karno membatalkan Persetujuan KMB secara sepihak melalui UU No. 13 tahun 1956. Tindakan ini didukung pula oleh Bung Hatta yang menyadari untung rugi ekonomi yang diperlukan untuk biaya kemenangan politik.
Tetapi menjelang terbenamnya Bung Karno, beliau justru menandatangani UU No. 7/1966 yang 'menghidupkan kembali' utang KMB yang harus ditanggung Indonesia. Selanjutnya para teknokrat ekonomi mengintegrasikannya dengan IGGI.
Menurut Prof. Dr. Sri-Edi Swasono , barangkali Bung Karno ditekan atau lengah di tahun 1966 itu.
Secara perlahan tapi pasti, sang Presiden pun ditumbangkan setelah berbagai destabilisasi ekonomi dan politik terjadi. Di goyang di dalam dan diserang di luar.
Di dalam melalui PRRI/Permesta (1958-1961) yang diindikasikan merupakan bentuk adu domba yang dilakukan oleh pihak-pihak kolonial untuk memecah Indonesia. Di luar melalui kaum neokolonialisme dan imperialisme.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia menjelang akhir 1950-an adalah Indonesia yang penuh gejolak dan goncangan . Dan pada kurun waktu 1958-1966, Indonesia pun mengalami tekanan yang luar biasa dari kaum kolonial yang bersekongkol dengan para rentenir internasional.
Pada 7 Januari 1965 Bung Karno memutuskan Indonesia keluar dari PBB dan dilanjutkan di tahun 1966 keluar dari IMF dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD).
Menurut pertimbangan UU No. 1 tahun 1966 , Indonesia keluar karena lembaga internasional itu dianggap hanya sebagai alat kaum neokolonialisme dan imperialisme untuk menjalankan manipulasi politik dan ekonominya.
Lembaga internasional itu pun dinilai menghambat perjuangan rakyat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang bebas dari segala bentuk penghisapan.
Utang 4,3 miliar gulden (atau sekitar USD 1,13 miliar ) itu kemudian baru dilunasi 54 tahun kemudian, di zaman Presiden Megawati Soekarnoputri. Ini adalah prestasi fenomenal dari kaum kolonial. Penjajah yang berhutang, tetapi yang dijajah yang harus membayar.
ADVERTISEMENT
Dan disinilah korelasi sistem moneter internasional terjadi. Di tengah kecamuk Perang Vietnam (1955-1975), AS butuh jalan keluar untuk mempertahankan dominasi dolar dan mencari negara dengan kekayaan alam yang melimpah. AS butuh agar Indonesia berada dalam orbitnya atau setidaknya tidak berseberangan dengannya.
Situasi perjuangan bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajah pun mau tidak mau berkaitan dengan transformasi sistem moneter dari Bretton Woods ke Petrodolar yang diinisiasi oleh diplomasi brilian Kissinger tahun 1974.
Gimmick dan kecurangan (fraud) dalam sistem moneter internasional ini begitu nyata karena kisah tentang uang, kebanyakan adalah kisah tentang penipuan dan kecurangan yang dilakukan oleh penerbit uang .
Sistem moneter saat ini menggunakan uang artifisial untuk menggantikan uang asli . Ini adalah manifestasi fraud. Uang artifisial sangat berbeda dengan uang asli karena uang asli mempunyai nilai intrinsik, sedangkan uang artifisial tidak. Satu-satunya nilai dari uang artifisial diberikan kepadanya oleh kekuatan-kekuatan pasar.
ADVERTISEMENT
Nilai pasarnya akan bertahan sepanjang dan hingga ada kepercayaan publik dan permintaan terhadapnya di pasar. Permintaan itu sendiri berdasarkan kepercayaan, dan kepercayaan adalah sesuatu yang dengan mudah dapat dimanipulasi atau direkayasa.
Indonesia mengetahui kenyataan ini dengan cara yang pahit ketika mengalami krisis moneter tahun 1997.
Segala sesuatu yang secara serius menganggu kepercayaan publik akan menyebabkan gelombang spekulatif yang akan menyebabkan melelehnya uang artifisial (dalam bentuk kertas, plastik, dan uang elektronik, dsb). Soft currencies, seperti rupiah, akan ambruk apabila hard currencies, seperti dollar, meleleh.
Selama ini AS terus mengulur waktu mencegah 'melelehnya' dolar. Skenario 'kiamat' itu untuk sementara waktu dicegah dengan quantitative easing (QE). QE adalah penciptaan uang dengan cara injeksi likuiditas ke sistem perbankan yang terancam bangkrut karena praktek kejahatan perbankan yang ugal-ugalan (imprudent).
ADVERTISEMENT
Dengan demikian besar kemungkinan, 'melelehnya' dolar akan membawa keruntuhan kepada seluruh mata uang kertas di dunia, karena saat ini lebih dari 60% dari seluruh cadangan mata uang asing di dunia dalam bentuk dolar.
Apabila dolar mulai tidak berlaku (de-monitized), maka sistem uang fiat akan bubar dan memunculkan sistem keuangan yang baru. Sistem keuangan yang baru adalah dalam bentuk uang elektronik, ketika uang tidak dapat dilihat dan tidak dapat dipegang.
Faktanya, era tanpa uang tunai ini sudah muncul saat ini dengan variasi namanya. Uang elektronik kini ini sudah menguasai 92% sistem keuangan dunia dan digunakan terutama pada transaksi uang dalam jumlah besar sementara uang kertas tetap dipergunakan untuk transaksi skala kecil.
Sistem moneter elektronik ini tidak lagi membutuhkan alat cetak, tinta, dan kertas. Yang dibutuhkan ialah keahlian dalam mengetik data masuk dan data keluar. Dengan sistem itu, otoritas moneter mengetahui berapa banyak uang yang dimiliki oleh warga, darimana didapatkan, untuk apa digunakan, dan ke mana saja dipergunakan. Ini adalah bentuk sistem spionase keuangan yang canggih dan terencana dengan hebat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, uang jenis ini mempunyai bahaya yang lebih besar dibandingkan sistem moneter sebelumnya karena dasar transaksi hanya pada transfer dan nilai uang dapat dibuat dan diubah dari ketikan bytes di komputer. Dan setiap saat otoritas moneter dapat menutup rekening warga yang tidak nyaman dengan sistem ini. Otoritas ini jelas bersifat global dan berada di luar kendali Indonesia.
Trend ini adalah ancaman bentuk kediktatoran moneter yang harus diantisipasi dan diwaspadai.