Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Andaikan Trem Masih Beroperasi di Jakarta
27 Juli 2019 15:12 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Transport For Jakarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya kadang berpikir, apa yang akan terjadi dengan Jakarta apabila pemerintahan Soekarno saat itu tidak mengeluarkan perintah untuk menghentikan operasi trem? Atau setidaknya, Sudiro berhasil membujuk Soekarno untuk menyisakan tramlijn 1 yang saat itu menghubungkan Jakarta Kota dan Jatinegara.
ADVERTISEMENT
Saya sangat yakin, situasi di Jakarta akan sangat berbeda ketimbang kondisi yang kita alami saat ini. Sebetulnya bagus, intensi Soekarno untuk mengganti sistem trem dengan metro, saat ia sedang dengan pemerintahan Uni Soviet. Sayang, mimpi itu tak terwujud dan membutuhkan waktu 60 tahun kemudian hingga Jakarta akhirnya punya metro.
Seminggu terakhir, saya melakukan riset terhadap sejarah trem di Jakarta, dan saya cukup takjub dengan bagaimana perencanaan transportasi di zaman itu bisa sekompleks apa yang saya lihat. Jaringan trem yang petanya saya coba buat ulang di sini kurang lebih mencakup seluruh wilayah Jakarta saat itu, dari Pasar Ikan di utara hingga Kampung Melayu di selatan.
Terdiri dari lima tramlijn yang menghubungkan daerah Tanah Abang, Menteng, Jembatan Lima, Gunung Sahari, dan juga Sawah Besar. Trem bisa menjadi kebanggaan Jakarta saat itu karena trem di Batavia dibangun lebih dulu ketimbang trem di kota-kota besar di Belanda (trem kuda di Batavia sudah ada sejak tahun 1869, sementara di Amsterdam baru ada tahun 1875 dan Rotterdam pada tahun 1879).
ADVERTISEMENT
Elektrifikasi trem di Batavia dilakukan pada tahun 1933 (ada videonya, tapi dengan Bahasa Belanda), yang saya baru tahu ternyata trem elektrik yang biasa kita lihat di gambar-gambar merupakan wagon trem uap yang dimodifikasi dengan pantograf.
Sayang, hampir semua peninggalan tram di Jakarta sudah hilang. Tinggal tersisa monumen trem yang ada di depan Museum Fatahilah, atau pun sisa-sisa Remise Kramat.
Mungkin, sekarang membangun trem di Jakarta tidak lagi feasible, mengingat Jakarta yang jalannya mayoritas sempit dan juga sangat padat. Apalagi, sekarang sudah banyak proyek transportasi makro, seperti BRT, MRT, LRT, juga KRL.
Namun, saya sampai saat ini masih membayangkan, apabila trem dibangun ulang, ia bisa saja kembali berlalu-lalang di depan Stasiun Kota, Stadhuis/Museum Fatahilah, bahkan sampai Amsterdamschepoort (Gerbang Amsterdam).
ADVERTISEMENT
Penulis: Adriansyah Yasin