Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sunat Perempuan: Budaya atau Bentuk Pendisiplinan Patriarki
12 November 2024 10:28 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari FOUNDRA RAFA RIZKI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sunat perempuan merupakan fenomena yang menjadi perbincangan serius karena memiliki pro dan kontra di antara masyarakat. Pasalnya beberapa orang membela fenomena ini atas dasar kepercayaan adat istiadat serta agama, dan ada juga yang tidak setuju karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebelum membahas polemik ini lebih mendalam, alangkah baiknya masyarakat perlu mengetahui apa itu sunat perempuan dan prosesnya. Menurut (Warson, 1997), sunat atau dalam bahasa arab disebut Khitan, berasal dari kata Al-Khitan yang berarti memotong. WHO juga mengklasfikasikan menjadi empat jenis, yaitu pemotongan klitoris perempuan (clitoridectomy), pemotongan klitoris dan bagian dalam bibir kemaluan, pemotongan klitoris, bibir luar, dan bibir dalam kemaluan, dan penjahitan hasil potongan tersebut.
ADVERTISEMENT
Secara historis, aktivitas sunat perempuan bukanlah hal yang baru, karena sudah dilakukan sejak lebih dari 6000 tahun yang lalu di daerah Afrika Selatan. Tujuan awal dari adanya sunat perempuan ini adalah sebagai bentuk kontrol perilaku seksual pada perempuan (Hikmalisa, 2016). Meskipun kita tidak mengetahui apakah sunat perempuan ini adalah bentuk ajaran islam, akan tetapi praktik tersebut dibawa oleh saudagar yang berdagang.
Seiring berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, sunat perempuan mulai ditentang karena dalam praktiknya terkadang membuat infeksi beberapa pasien. Tidak hanya itu, sunat perempuan ini dinilai melanggar HAM karena mengabaikan hak atas kesehatan, keamanan, dan integritas tubuh. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengupas tuntas bagaimana fenomena ini jika dilihat secara sosiologis.
ADVERTISEMENT
Makna Sunat Perempuan
Tujuan sunat perempuan di berbagai daerah memiliki ragam arti. Ada yang mengatakan bahwa sunat perempuan dilakukan untuk menghindari binalitas atau dominasi hasrat terhadap laki-laki meskipun terhadap suaminya sendiri. Praktik sunat perempuan mencerminkan ketidakberdayaan yang dialami perempuan, yang pada dasarnya bukan disebabkan oleh kesadaran individual perempuan itu sendiri, melaikan oleh pengaruh dan warisan sosial dari generasi terdahulu, khususnya dalam konteks keluarga (Hikmalisa, 2016).
Praktik ini terinternalisasi sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah norma yang dianggap wajib oleh masyarakat. Konsesus sosial menjadikan sunat perempuan sebagai praktik yang sah dan tidak dapat diabaikan. Dalam situasi semacam ini, perempuan yang mencoba menolak praktik ini, sering kali dipandang menyimpang dan mendapat stigma negatif karena melawan adat yang sudah mapan.
ADVERTISEMENT
Dampak Kesehatan dan Sosial
Pertentangan terhadap aktivitas sunat perempuan bukanlah hanya perbedaan adat istiadat atau kepercayaan semata, melainkan terdapat alasan lain seperti halnya dalam aspek kesehatan. Seperti yang disebutkan (Fadli, 2023) dalam Halodoc, terdapat risiko dalam aktivitas sunat perempuan, antara lain adalah pendarahan berlebihan karena arteri klitoris atau pembuluh dara yang terpotong secara tidak sengaja, infeksi yang disebabkan oleh alat medis yang terkontaminasi oleh bakteri, dan masalah buang air kecil. Adapun masalah lain seperti depresi, post-traumatic stress disorder, dan harga diri rendah.
Female Genital Mutilation atau sunat perempuan memperkokoh adanya praktik ketidakadilan gender. Seperti yang kita lihat dari sub-bab sebelumnya, kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan selama masih sesuai nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Hal ini berdampak pada sikap dan persepsi masyarakat terhadap bentuk kekerasan lain. Dalam buku The Second Sex karya (Beauvoir, 1956), ia menggambarka wanita sebagai “The other” dalam struktur sosial, sehingga praktik FGM memperkuat posisi marginal perempuan. Praktik ini sering kali dipromosikan atas nama moralitas atau agama. Hal ini justru membatasi otonomi perempuan terhadap tubuh mereka sendiri, memperkuat hierarki gender yang menempatkan dalam posisi subordinat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan memiliki dampak sosial yang luas. Seperti contohnya adalah sebagai representasi kontrol patriarki dan memperkuat ketidaksetaraan gender. Praktik ini menormalisasi kekerasan berbasis gender, membatasi peran sosial perempuan, dan mengakibatkan trauma psikologis serta marginalisasi bagi yang menolak atau mengalaminya. Dampak FGM terlihat jelas dan tidak hanya menimbulkan efek kesehatan semata, melainkan psikologis juga, salah satunya adalah depresi akibat stigma dari masyarakat karena menolak budaya yang telah ada. Oleh karena itu, melalui pendekatan sosiologis menegaskan pentingnya upaya kolektif yang mencakup pendidikan, advokasi, dan reformasi kebijakan untuk mengatasi dampak-dampak sosial ini. upaya tersebut harus dilakukan dengan menghormati konteks budaya, namun tetap menegakkan hak asasi perempuan juga dan menggandeng masyarakat agar lebih adil dan inklusif.
ADVERTISEMENT
Referensi
Beauvoir, de S. (1956). The Second Sex. LOWE AND BRYDONE.
Fadli, R. (2023). Dampak Sunat pada Anak Perempuan dari Sisi Medis. https://www.halodoc.com/artikel/dampak-sunat-pada-anak-perempuan-dari-sisi-medis?srsltid=AfmBOopUVlKUYHXggz14IWva3VsW6llbvIzfOJPax2OOeYdZUzBXO32e
Hikmalisa, H. (2016). DOMINASI HABITUS DALAM PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN DI DESA KUNTU DARUSSALAM KABUPATEN KAMPAR RIAU (Aplikasi Praktik Sosial Pierre Boudieu dalam Living Hadis). Jurnal Living Hadis, 1, 324. https://doi.org/10.14421/living-hadis.2016.0102-05
Warson, M. (1997). Kamus al-Munawwir : Arab-Indonesia terlengkap / Ahmad Warson Munawwir (2nd ed.). Pustaka Progressif.