Kota Pelabuhan Port Royal dari Kekayaannya hingga Pusat Debauchery Dunia Baru

Tegar Ridho Evanto
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia - Pendidikan Sejarah
Konten dari Pengguna
28 Januari 2023 9:28 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tegar Ridho Evanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Port Royal, sumber : https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/portroyaldeschamps-after-engraving-seventeenth-century-vintage-269024054
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Port Royal, sumber : https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/portroyaldeschamps-after-engraving-seventeenth-century-vintage-269024054
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak tahu Jamaika? Lantunan musik reggae yang terlantun di playlist masihlah dapat didengar sampai sekarang. Namun, pembahasan kita kali bukan kepada musiknya dan bukan pula budaya pop nya. Melainkan kisah perjalanan kejayaan kota yang melahirkan musik ini beberapa ratus tahun ke belakang.
ADVERTISEMENT
Daerah yang dihuni oleh mayoritas etnis kulit hitam ini memiliki kota pelabuhan bersejarah pada abad ke-17. Untuk menjelajahinya, perlulah kita menyelam beberapa meter ke bawah laut untuk melihat sisa reruntuhan kota yang hancur setelah gempa yang meluluh lantakkan kota pada tahun 1692. Namun. Tidak usah khawatir, kisah kejayaannya yang melegenda dari kemegahan kota terkaya sekaligus terjahat di benua baru ini masihlah bisa ditelusuri dan di baca.

KOTA PELABUHAN TERBESAR

Proses kolonisasi di Benua Baru oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris dan Spanyol, melahirkan beberapa tempat bermukim baru. Pada abad ke-17, pelayaran yang dilakukan begitu gencarnya. Para pedagang, penjual budak, hingga militer turut meramaikan lautan Karibia. Hal ini kemudian diikuti oleh pembangunan dan perkembangan kota pelabuhan yang tersebar di berbagai daerah jajahan. Kota Pelabuhan ini berfungsi sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal saudagar kaya raya dari berbagai wilayah yang ingin berdagang.
ADVERTISEMENT
Kota Pelabuhan yang memiliki peran penting dalam perdagangan Inggris di Karibia adalah Port Royal di Jamaika. Kota yang terkenal dengan kekayaannya sekaligus kemaksiatan para penduduk di sisi lainnya. Port Royal awalnya didirikan oleh Spanyol bersamaan dengan pelayaran yang dilakukan oleh Columbus. Kemudian ditaklukkan oleh Inggris pada tahun 1655 melalui aksi penyerangan oleh Privateers yang dipimpin oleh Kapten Henry Morgan ke benteng Spanyol di Hispaniola.
Pertempuran laut, sumber : https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/16thcentury-sea-battle-sailing-ships-galleons-2213704563
Setelah ditaklukkan oleh Inggris, beragam bisnis yang sudah berjalan merupakan suatu potensi yang menguntungkan oleh Inggris dari sistem perdagangan yang telah diatur oleh Spanyol sebelumnya. Selain itu, pertanian penduduk juga membuat perekonomian kota menjadi stabil. Atas dasar inilah kemudian pemerintah Kerajaan Inggris menunjuk Morgan sebagai Gubernur Jamaika. Morgan melimpahkan wewenang pertahanan kotanya kepada para bajak laut. Alasan dari penggunaan bajak laut sebagai penjaga pertahanan kota ini karena pemerintah Inggris khawatir akan terjadinya serangan balik oleh Spanyol. Fort Charles yang merupakan benteng di pelabuhan dan empat benteng lainnya yang tersebar di kota masih bisa beroperasi. Namun, hanya ada sedikit tenaga untuk mempertahankan kota jika terjadi serangan
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, kota ini menjadi surganya para Privateers (Bajak Laut Sewaan), keberadaan mereka di sana hanya sekedar pengisi tenaga pertahanan kota. Kota ini juga menjadi tempat singgah dari beberapa bajak laut yang terkenal, seperti Anne Bonny, Mary Read, Calico Jack, dan Blackbeard.

KEADAAN SOSIAL DAN EKONOMI

Setelah kedatangan para bajak laut ini, seketika keadaan kota berubah drastis. Di Akhir 1600-an, kota pelabuhan ini menjadi salah satu kota terbesar bangsa Eropa di benua baru. Para bajak laut tidak hanya berperan sebagai penjaga pertahanan kota, namun juga turut andil dalam perekonomian kota. Port Royal menjadi pusat perdagangan bagi bermacam-macam komoditas. Kota ini juga menjadi tempat singgah dalam perdagangan budak Afrika dan produksi barang-barang mentah yang nantinya akan di ekspor ke Eropa.
Benteng Charles di Port Royal, sumber : https://www.shutterstock.com/id/image-photo/view-fort-charles-fortress-port-royal-1455208790
Walaupun menjadi salah satu kota terbesar kedua setelah Boston, tidak dimungkiri kota ini juga menjadi kota yang korup. Bahkan dijuluki sebagai “Kota paling Jahat dan Berdosa di Dunia”. Bagaimana tidak, bajak laut yang menjadi penduduk mayoritas di pulau ini seringkali berbuat kebejatan yang tidak bermoral. Kehadirannya membuat bisnis minuman keras dan rumah bordil laku keras di Port Royal. Kota itu dipenuhi dengan rumah bordil, bar, dan ruang minum, dan dipenuhi dengan budak dan bajak laut.
ADVERTISEMENT
Seorang bajak laut yang mabuk sempoyongan di jalanan dengan ditemani seorang gadis yang dirangkulnya menjadi pemandangan umum saat itu. Dalam satu malam, biasanya para perompak ini menghabiskan emas yang ada di kantongnya untuk berjudi, minum, dan bermain wanita ketimbang bekerja di perkebunan selama setahun. Minuman yang terkenal di kota ini adalah Kill Devil Run. Para perompak selalu membawa kendi-kendi yang berisi minuman ini dan acap kali memaksakan orang yang mereka temui untuk meminumnya.
Pemandangan kota ini dijelaskan begitu jelas oleh Alexandre Olivier Exquemelin yang merupakan penulis yang ahli dalam dunia bajak laut. Tulisannya berisi gambaran kota sebagai berikut, “Ketika dia mabuk, dia akan berkeliaran di kota seperti orang gila. Dia tidak akan segan untuk memotong lengan atau kaki orang pertama yang dia temui di jalan tanpa ada yang berani ikut campur tangan. Beberapa dari mereka diikat atau diludahi pada tiang kayu dan dipanggang hidup-hidup di antara dua api, seperti membunuh babi.”
Ilustrasi pemandangan kota, sumber : https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/illustration-big-medieval-fantasy-tavern-town-1700284456
Sebanyak 25% bagian dari kota ini merupakan rumah bordil ataupun bar. Hal ini kemudian menjadi tempat bagi bajak laut untuk membelanjakan sebagian besar uangnya. Hal ini diperkuat dengan penuturan seorang dosen dari Universitas Edinburgh yang bernama Nuala Zahedieh. Beliau mengatakan 300 orang anak buah Morgan yang kembali dari Portobello ke Port Royal menghabiskan 60 pound dalam satu malam. Nilai yang sangat besar ketimbang gaji pekerja perkebunan biasa dengan perbandingan dua sampai tiga kali lebih besar. “Anggur dan wanita menghabiskan kekayaan mereka sedemikian rupa sehingga […] beberapa dari mereka menjadi pengemis. Mereka diketahui menghabiskan 2 atau 3.000 keping delapan dalam satu malam; dan satu memberi strumpet 500 untuk melihatnya telanjang.
ADVERTISEMENT
Walaupun begitu kota ini memiliki katedral dan 4 gereja lainnya. Pemerintah memiliki sikap yang longgar terhadap agama. Kota ini menjadi rumah bagi Anglikan, Yahudi, Quaker, Puritan, Presbyterian, dan Katolik.

KOTA YANG TERKUBUR

Atas perbuatan maksiat para penduduknya. Membuat kota ini diberi julukan sebagai “Wickedest City on Earth”. Banyak narasi yang menghubungkan atas perilaku maksiat penduduknya dengan gempa bumi yang melanda kota ini pada 1962 sebagai murka tuhan.
Perlu diketahui, walaupun kota ini strategis sebagai kota pelabuhan, pada dasarnya kota ini dibangun di atas dua lempeng yang sewaktu-waktu menimbulkan gempa bumi akibat gesekan antara lempeng. Lempeng Karibia dan Lempeng Mikro Gonave merupakan lempeng yang membentuk daratan Jamaika dari proses pengangkatan dari tikungan panahan lempeng. Gempa bumi yang terjadi pada selip-selip sinistral di sepanjang patahan. Selain itu kota ini dibangun di atas pasir dengan fondasi yang kurang kokoh. Sehingga rentan terjadinya likuifaksi
ADVERTISEMENT
Pada pagi hari di tanggal 7 Juni 1692, dalam rentang waktu beberapa menit saja, gempa dengan kekuatan 7,5 magnitudo meluluh lantakan kota. Sekitar 33 hektare luas kota yang dibangun di atas pasir tersedot ke dalam lautan akibat likuifaksi. Sekitar 2000 orang tewas dan peristiwa ini oleh korban yang selamat disebut sebagai sebuah “hukuman Tuhan atas kota yang jahat”. Selain korban dari gempa bumi. Para korban juga berasal dari penyakit akibat mayat yang membusuk di bawah sinar matahari. Mayat-mayat yang dikerumuni dengan serangga mencemari jalan-jalan kota dan menyebarkan penyakit hanya dalam rentang waktu beberapa minggu saja. Sehingga, korban pun berjatuhan sekitar 1000 orang akibat penyakit ini dan menambah daftar korban dengan total 3000 jiwa.
ADVERTISEMENT
Seorang yang selamat yang bernama Edmund Heath menuliskan kata-kata dari surat yang dia buat ketika dia berada pada sebuah kapal yang tertambat pada dermaga. Beliau mengatakan “Bumi terbuka dan menelan banyak orang, di depan wajahku, dan laut yang kulihat naik ke atas tembok, di mana aku menyimpulkan tidak mungkin untuk melarikan diri”.
Mirisnya, bahkan ketika bumi masih terguncang. Penjarahan sudah mulai terjadi yang dilakukan oleh penduduk setempat. Kota dilanda perampokan dan kekerasan dalam skala besar. Orang yang kuat dan berkuasa merebut hak milik orang lain. Hal ini memberi kesan bahwa kota ini dipenuhi oleh orang-orang rendah dan keji.
Ada banyak sekali upaya untuk membangun kembali kota ini. Bahkan setelah adanya gempa, Jamaika tetap menjadi salah satu kota pelabuhan dengan perdagangan yang baik pada abad 17. Namun, serangkaian peristiwa bencana masihlah terjadi pada tahun berikutnya. Pada tahun 1704, terjadi kebakaran di kota. Kemudian selama abad ke-18 dan ke-19 kota ini berkali-kali dilanda badai. Sehingga hal ini membuat pemerintah kerajaan Inggris akhirnya harus menutup pangkalan angkatan lautnya di Jamaika. Bahkan bisnis yang beroperasi pun seketika berhenti dan penduduk kota pergi meninggalkan kota.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Port Royal menjadi desa nelayan di pesisir Jamaika. Bangunan tua sebagai bukti kejayaan masa lalu sebagian kecil masihlah berdiri. Namun, sebagian besar lainnya terkubur sekitar 40 kaki di dasar laut. Ditahun 1900-an, banyak pengunjung yang menyebut bahwa reruntuhan kota masih terlihat di bawah ombak dengan disertai sensasi menyeramkan yang melayang di atas atap bangunan yang tenggelam.
Semenjak tahun 1950-an, reruntuhan ini membuat kelompok arkeologi tertarik untuk memulai menelusuri kota bajak laut yang terkubur ini. Salah satunya dari Program Arkeologi Nautical di Texas A&M University dan Jamaica National Heritage Trust. Lembaga ini melakukan pemeriksaan arkeologi di bawah air yang berakhir pada tahun 1990. Dari penjelajahannya ini, para arkeolog banyak mengungkapkan artefak-artefak abad ke-17 yang sekarang sudah jarang terlihat. Selain itu, pada tahun 1969, Edwin Link menemukan artefak paling terkenal: sebuah jam saku bertanggal 1686, berhenti tepat pada pukul 11:43. Hal ini menjadi petunjuk mengenai peristiwa gempa yang melanda kota ini.
ADVERTISEMENT