Sejarah Rute Triangle of Trade dalam Bisnis Perbudakan Bangsa Eropa

Tegar Ridho Evanto
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia - Pendidikan Sejarah
Konten dari Pengguna
17 Januari 2023 9:00 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tegar Ridho Evanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Burung kebebasan, sumber :https://www.shutterstock.com/id/image-vector/concept-liberty-found-chains-breaking-turning-1352447618
zoom-in-whitePerbesar
Burung kebebasan, sumber :https://www.shutterstock.com/id/image-vector/concept-liberty-found-chains-breaking-turning-1352447618
ADVERTISEMENT
Kebebasan, tidak ada manusia yang akan menolak. Walaupun dikekang dan diancam sekalipun, manusia akan selalu mengelu-elukan kebebasan.
ADVERTISEMENT
Secara kodrat kita memilikinya untuk mengendalikan kehendak yang kita mau. Hal ini melekat pada diri seseorang semenjak hadirnya di dunia.
Namun, pernahkah kita merenung, sudahkah kita merasa bebas dari kehidupan yang kita jalani sekarang? Jangan-jangan, secara tidak sadar, kita dikendalikan oleh sesuatu, bisa saja kan?
Mungkin sebagian dari kita pernah merasa, bahwa hidup yang kita jalani sekarang diibaratkan boneka wayang yang dikendalikan oleh dalangnya.
Ilustrasi burung terbang. Foto: Shutterstock
Kita merasa, kehidupan yang kita jalani dikekang oleh suatu kekuatan yang besar yang kita tidak bisa melawannya. Dan tanpa kita sadari kita merupakan budak akan sesuatu yang besar tersebut.
Kita merasa susah untuk lepas dari jeratan tersebut. Namun, yakinlah, apabila kita berani untuk membuka jeratan itu, jeruji besi yang menghalangi hidup kita akan terbuka.
ADVERTISEMENT
Walaupun terdengar sepele, keberanian untuk mengakui bahwa diri kita adalah eksistensi yang memiliki hak untuk menentukan bagaimana menjalani hidup sesuai dengan apa yang diyakini membutuhkan modal dan pengorbanan yang cukup besar.
Namun, ingatlah bahwa dengan berani kita bisa meraih kunci kebahagian, dan dengan kebahagiaan kita bisa meraih kunci kebebasan.
Ilustrasi anak muda healing. Foto: interstid/Shutterstock
Berbicara mengenai kebebasan, jauh sebelum era modern yang kita alami sekarang. Sebanyak ratusan ribu manusia pernah direnggut kebebasannya pada ratusan tahun lalu.
Kebebasan itu bukan hanya direnggut hak bicara dan hak berserikatnya. Melainkan, hak dirinya diakui sebagai makhluk hidup direnggut dan akhirnya menjadi layaknya hewan ternak yang bisa diperjualbelikan.
Seumur hidup dirinya harus dipenuhi dengan pengabdian kepada majikannya yang seharusnya tidak dia patuhi. Inilah yang kemudian apa yang disebut sebagai perbudakan.
ADVERTISEMENT
Secara historis, perbudakan terjadi di semua peradaban masyarakat kuno, di antaranya dimulai dari peradaban Sumeria, Mesir Kuno, Tiongkok Kuno, Imperium Akkad, Asiria, India Kuno, Yunani Kuno, Kekaisaran Romawi, dan masyarakat-masyarakat sebelum Columbus di Amerika.
Pengangkutan budak, sumber : https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/slavery-africa-treaty-vintage-engraved-illustration-218073364.
Praktik sistem perbudakan ini dilakukan sebagai alat untuk membayar utang, hukuman atas kejahatan, perbudakan terhadap tawanan perang, penelantaran anak, dan lahirnya anak dari rahim seorang budak.
Pada saat itu, seseorang bisa memiliki budak manusia melalui perdagangan yang dilakukan oleh suatu otoritas tertentu. Setelah dilakukan transaksi, budak tadi dipergunakan sebagai tenaga kerja pada suatu perkebunan, pembantu rumah tangga, sampai kepada hal yang menjurus ke seksual.
Para budak ini pada dasarnya adalah manusia, namun hidupnya dimiliki oleh seorang tuan yang telah membelinya, kemudian mereka bekerja tanpa mendapatkan gaji sampai harus kehilangan hak-hak mereka sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Layaknya perdagangan pada umumnya, perbudakan juga memiliki jaringan perdagangannya sendiri. Pada abad 16 hingga 18, terdapat rute yang biasa digunakan oleh bangsa Eropa sebagai alur perputaran uang dari bisnis menjual budak manusia ini yang disebut Triangle of Trade.
Rute ini digunakan oleh Bangsa Eropa terutama Inggris sebagai pelopornya selama masa Atlantic Slave Trade terjadi. Jaringan ini meliputi Benua Eropa, Afrika, dan Amerika.

Kebutuhan Akan Budak Manusia

Budak Afrika yang bekerja di perkebunan, sumber : https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/exslaves-working-gang-on-cotton-plantation-237236920.
Ketika kolonialisasi di daratan Karibia dan Amerika Utara oleh bangsa Eropa begitu gencarnya, perkebunan baik itu gula, kapas, dan tembakau yang beroperasi di sana mayoritas dikerjakan oleh budak Afrika.
Kemudian hal ini menimbulkan rasa ketergantungan orang-orang Eropa untuk menggunakan budak Afrika sebagai tenaga kerjanya. Sehingga, aktivitas menangkap, menjualbelikan, dan memperbudak manusia pun dilakukan.
ADVERTISEMENT
Selain budak dari Afrika, bangsa asli Amerika juga turut andil dalam perbudakan ini, namun dengan jumlah yang sedikit akibat kematian oleh penyakit cacar dan penyakit lainnya yang dibawa oleh orang Eropa.
Dari adanya praktik perbudakan tersebut, kemudian terciptalah suatu sistem jaringan perdagangan lintas benua yang kemudian dikenal sebagai Segitiga Perdagangan atau Triangle of Trade. Jaringan ini menghubungkan Eropa, Afrika, dan Amerika. Jaringan ini mengangkut berbagai macam barang dan juga budak manusia yang melintas melalui rute ini dari abad 16 hingga abad ke-19.
Ilustrasi perbudakan. Foto: Shutter Stock
Awal dari perdagangan budak transatlantik ini bisa ditelusuri dari tahun 1480-an ketika kapal-kapal Portugis melakukan pengangkutan budak yang merupakan orang-orang Afrika.
Budak ini akan dijadikan sebagai buruh pada perkebunan gula di Kepulauan Cape Verde dan Madeira. Kemudian setelah 1502, bangsa Spanyol memulai eksplorasi dunia baru juga membawa budak Afrika untuk di perbudak di Karibia walaupun pedagang Portugis masih mendominasi perdagangan budak transatlantic ini selama satu setengah abad ke depan.
ADVERTISEMENT
Selain Spanyol, Belanda kemudian menyusul untuk berpartisipasi dalam perdagangan budak ini yang dimulai dari 1600-an, dan pada abad berikutnya disusul oleh pedagang Inggris dan Prancis yang mengendalikan sekitar setengah dari perdagangan budak transatlantik, mengambil sebagian besar kargo manusia mereka dari wilayah Afrika Barat antara sungai Senegal dan Niger.
Jumlah orang yang dibawa dari Afrika mencapai 30.000 per tahun dalam rentang waktu antara 1600-an sampai satu abad kemudian yang mencapai jumlah 85.000. Lebih dari delapan dari sepuluh orang Afrika dipaksa menyeberangi Atlantik antara tahun 1700 dan 1850.
Pada dekade 1821 hingga 1830 jumlahnya kurang lebih 80.000 orang per tahun. Sebagai perbandingannya, empat orang Afrika harus menyeberangi Atlantik demi memenuhi kebutuhan satu orang Eropa saja pada tahun 1820-an.
ADVERTISEMENT
Orang Afrika yang dijadikan budak ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bisnis perkebunan di daerah kolonial. Budak yang dipakai di Brasil berasal dari Angola. Sedangkan untuk kebutuhan di Amerika Utara dan Karibia berasal dari Afrika Barat.

Alur Perdagangan

Ilustrasi kondisi di kapal budak, sumber : https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/scene-hold-bloodstained-gloria-shows-sailor-237231829.
Sistem dimulai dari Eropa melalui rute perdagangan yang dipakai oleh masing-masing negara. Seperti Inggris yang memulai pelayarannya dari Liverpool yang memuat barang-barang berupa tekstil, logam, senjata api, linen, dan minuman beralkohol.
Kemudian kapal berlayar sampai ke pantai barat Afrika. Di sanalah para pedagang budak ini mendapatkan budak manusia dari pedalaman Afrika yang ditangkap oleh suku-suku yang sedang berperang.
Para budak ini diperjualbelikan oleh suku-suku pedalaman. Budak yang dijual merupakan tawanan perang untuk ditukar oleh senjata api buatan Eropa. Banyak dari anak-anak, wanita, dan pria yang dijual oleh suku-suku di Afrika yang bersaing satu sama lainnya untuk mendapatkan barang-barang dari Eropa ini.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, orang-orang Afrika yang menjadi budak ini dipaksa mengikuti pelayaran menuju Brasil atau Karibia yang dikenal dengan istilah Middle Passage. Kondisi kapal yang sesak membuat banyaknya budak yang meninggal karena penyakit. Apabila ada budak yang memberontak maka dia akan dibunuh atau dibuang ke laut.
Ilustrasi perbudakan. Foto: woff/Shutterstock
Para budak yang di antaranya para wanita dan anak-anak harus mengikuti perjalanan penuh derita ini dengan keadaan dirantai kakinya di suatu platform selama tiga bulan lamanya. Alhasil mereka harus diam dengan keadaan terduduk dengan waktu yang lama. Diperkirakan antara 10 dan 20 persen budak di kapal meninggal selama Middle Passage.
Ketika kapal budak ini sampai, budak yang selamat akan dijual di daerah-daerah koloni. Kapal kemudian dibersihkan untuk dimuati dengan barang-barang ekspor ke Eropa yang sebelumnya telah di produksi di Karibia dan daerah koloni Amerika lainnya.
ADVERTISEMENT
Barang-barang ini di antaranya berupa gula, molase, tembakau, kapas, bulu, dan bahan mentah lainnya. Hingga kemudian ke Eropa dan melakukan pelayaran ke Afrika barat lagi dan terjadilah suatu siklus yang terus berulang ini.

Dampak yang Dihasilkan

Ilustrasi kapal tua di Indonesia yang masih aktif digunakan. Foto: Budi Winarno/Shutterstock
Walaupun bangsa Eropa merasa diuntungkan dari adanya perdagangan budak ini karena perkebunan yang dijalankan di daerah koloni nya berkembang. Perlu lah kita sadari bahwa terdapat krisis kemanusiaan yang terdapat pada peristiwa ini.
Seperti pada saat middle passage, para budak harus bersempit-sempitan di dalam kapal selama 3 bulan. Mereka harus berdiam diri dengan sirkulasi udara yang buruk, belum lagi bau kotoran yang bersarang makin memperparah kualitas udara di dalam kapal. Sehingga mereka harus menderita berbagai penyakit yang menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Banyak dari mereka harus menderita kebutaan, pembengkakan perut, lesi kulit, dan kejang. Selain itu juga banyak di antara mereka yang menderita beri-beri (disebabkan oleh kekurangan tiamin), pellagra (disebabkan oleh kekurangan niasin), tetani (disebabkan oleh kekurangan kalsium, magnesium, dan vitamin D), rakhitis (juga disebabkan oleh kekurangan vitamin D), dan kwashiorkor (disebabkan oleh kekurangan protein yang parah).