Pala Banda, Kekayaan yang Kini Terabaikan

Konten dari Pengguna
14 April 2018 18:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fransiska Monika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pala Banda, Kekayaan yang Kini Terabaikan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu Gemah Rempah Mahakarya Indonesia, pala merupakan salah satu yang istimewa. Pedagang Tiongkok memperkenalkan pala kepada dunia dan menjadikannya salah satu komoditi rempah yang ditaksir dengan harga tinggi. Kenyataan ini pulalah yang kemudian mengundang kehadiran penjajah Belanda dan peluncuran ekspedisi-ekspedisi besar Eropa menuju Banda, sebuah pulau kecil di Timur Indonesia.
ADVERTISEMENT
Banda dikenal sebagai penghasil pala kualitas dunia sejak abad ke -15. Data yang beredar memaparkan bahwa 76% ekspor pala dunia berasal dari Indonesia, 20% dari Grenada dan selebihnya datang dari Srilanka, Trinidad, dan Tobago. Di kawasan Eropa sendiri, 80% biji pala yang dijual berasal dari Indonesia.
Catatan Sejarah Pala Banda
Kemasyhuran Banda sebagai wilayah penghasil pala dimulai sejak awal abad ke-12. Para pedagang Melayu, Arab, Persia, dan Tiongkok merupakan pembeli pala pertama dari Banda yang memberitakannya ke penjuru dunia. Pala yang mereka beli dibawa dengan kapal ke Teluk Persia untuk kemudian didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Istanbul, Turki.
Kala itu, sejarah mencatat bahwa biji pala memiliki nilai lebih tinggi jika dibandingkan dengan perak, bahkan emas. Ketiaadaan rempah-rempah di Eropa semakin memberikan nilai bagi pala yang kala itu dapat dibeli dengan sangat murah di Banda lalu dijual dengan harga 600 kali lipat.
ADVERTISEMENT
Di Jerman, tujuh lembu gemuk merupakan harga yang ditetapkan bagi 1 ton pala. Karena nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditi perdagangan yang penting sejak masa Romawi. Sejalan dengan dogma Gold, Glory, dan Gospel alias kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama, para pelaut dan pedagang Eropa berbondong-bondong menuju Banda.
Pala Banda, Kekayaan yang Kini Terabaikan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Kekayaan Manfaat Pala Banda
Pala Banda merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari kepulauan Maluku dan termasuk tanaman penting diantara tanaman rempah. Panen pertama dilakukan antara 7 sampai 9 tahun setelah penanaman pohon.
Tanaman pala dapat tumbuh mencapai 20m dan mampu hidup hingga ratusan tahun, namun produksi tanaman ini mencapai titik maksimum setelah masa 25 tahun. Tumbuhan ini hanya tumbuh dalam kondisi tanah subur dan lumayan kering di tengah-tengah iklim tropis yang kerap diguyur hujan.
ADVERTISEMENT
Biji pala dan fuli (kembang pala yang menyelimuti biji) merupakan dua produk dengan nilai ekonomi penting yang dihasilkan tanaman pala. Bagian biji merupakan bagian yang paling banyak dimanfaatkan. Biji pala yang dihaluskan dapat menjadi beragam bumbu masak, bahan pengawet makanan, hingga minyak atsiri yang harganya mencapai Rp 1 juta per kg.
Serupa dengan biji pala, fuli juga dapat dimanfaatkan sebagai bumbu masak untuk memberikan rasa spesial. Selain rasa, ekstrak sari fuli merupakan bahan baku kosmetik dan parfum, membuat harga fuli menjadi lebih tinggi dibandingkan harga biji pala.
Selain biji pala dan fuli, daging buah pala dapat dimanfaatkan dalam industri manisan pala, sirup, selai, dan produk lainnya. Bubuk pala dipakai sebagai penyedap untuk roti atau kue, puding, saus, sayuran, dan minuman penyegar (seperti eggnog).
ADVERTISEMENT
Produk lemak biji pala diperdagangkan sebagai volatile oil of nutmeg yang bermanfaat untuk pembuatan minyak wangi, parfum, sabun, bahan pengolah gula dan makanan dan juga sebagai bahan baku industri minuman, obat-obatan dan kosmetika. Sedangkan minyak pala dapat digunakan sebagai obat-obatan untuk menstimulus sistem jantung, diare, rematik, nyeri otot, sakit gigi, dan menghilangkan racun dalam hati.
Pala Banda yang Kian Merana
Merujuk data sepanjang tahun 2016-2017, 31 kali ekspor komoditas pala produksi petani dalam negeri di tolak negara-negara Uni-Eropa. Situasi ini menjadi ancaman tersendiri, tidak hanya bagi pala dari Banda, tetapi juga bagi komoditas pala di Indonesia.
Penolakan tersebut dikarenakan pala Indonesia dinilai tercemar aflatoxin, racun yang dihasilkan oleh jamur yang dapat menyebabkan gagal hati dan bahkan kematian. Selain aflatoxin, pala yang diekspor ternyata juga mengandung ochratoxin, racun yang diakibatkan dari jamur jenis serupa. Ditengarai, pencemaran disebabkan oleh metode budidaya pala yang masih menggunakan kadar air tinggi, sehingga memungkinkan jamur beracun untuk tumbuh.
ADVERTISEMENT
Pengelolaan pala di Banda saat ini dirasa tidak maksimal. Sebagai komoditas yang pernah menjadi koordinat penting dalam sejarah penjelajahan dan penaklukan manusia, pala Banda dihadapkan pada perlakuan yang tidak lebih dari komoditas sampingan karena ketiadaan inovasi dan kebaruan.
Keterbatasan ekonomi dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat Banda, membuat pala yang dulu dikenal sebagai primadona ekonomi di negara-negara Atlantik Utara, tidak dikelola dengan maksimal.
Tak hanya itu, penentuan harga yang tidak berpihak pada petani, membuat kehidupan petani kian terpuruk. Tanaman pala yang dulu adalah warisan berharga, kini telah berusia ratusan tahun dan mulai berhenti berproduksi.
Sebagai kekayaan alam Indonesia, buah pala telah membuktikan dirinya sebagai komoditas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Tantangan yang kini menghadang adalah menjaga keberadaan pala Banda dan mengembangkan berbagai produk turunannya dan kemudian diperdagangkan hingga seluruh penjuru dunia.
ADVERTISEMENT
Hingga pada akhirnya, keuntungan yang dihasilkan dari komoditas andalan dari surga kecil di timur Indonesia dapat direguk oleh bangsa kita sendiri. (cSa)