news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pajak: Kewajiban atau Beban?

Frida Aulia Rahma
Mahasiswi Program Studi Akuntansi Perpajakan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Pamulang
21 Maret 2025 13:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frida Aulia Rahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, jutaan warga dan pelaku usaha di Indonesia membayar pajak. Namun, pertanyaan yang masih sering muncul adalah: Apakah pajak ini benar-benar kewajiban yang harus dijalankan dengan kesadaran penuh, atau justru menjadi beban yang memberatkan?
ADVERTISEMENT
Secara ideal, pajak adalah tulang punggung negara. Dari sinilah pemerintah membangun jalan, sekolah, rumah sakit, hingga berbagai fasilitas publik lainnya. Namun, kenyataannya, masih banyak masyarakat yang merasa enggan atau bahkan menghindari pajak. Mengapa demikian?
Pajak: Antara Kewajiban dan Beban, Bagaimana Seharusnya? Foto: ThinkStock
zoom-in-whitePerbesar
Pajak: Antara Kewajiban dan Beban, Bagaimana Seharusnya? Foto: ThinkStock
Salah satu penyebab utama pajak dianggap beban adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaannya. Berbagai kasus penyalahgunaan dana pajak yang terungkap ke publik semakin memperkuat skeptisisme masyarakat. Data dari Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak Indonesia pada 2023 mencapai lebih dari Rp1.700 triliun. Angka yang luar biasa besar. Namun, apakah masyarakat benar-benar tahu bagaimana uang tersebut dialokasikan? Jika pemerintah lebih terbuka dalam memaparkan laporan penggunaan pajak secara rinci—dengan contoh nyata proyek yang berhasil dibiayai pajak—tentu tingkat kepercayaan masyarakat akan meningkat.
ADVERTISEMENT
Bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pajak sering kali menjadi kendala besar. Proses administrasi yang kompleks dan aturan yang sering berubah membuat banyak pelaku usaha kesulitan memahami kewajiban mereka. Menurut survei Kementerian Koperasi dan UKM, lebih dari 60% UMKM di Indonesia mengalami kesulitan dalam memahami dan membayar pajak. Tak sedikit yang akhirnya memilih untuk tidak melaporkan pajak karena takut salah atau merasa prosesnya terlalu rumit. Jika sistem pajak lebih sederhana dan mudah diakses, kepatuhan pajak bisa meningkat secara signifikan.
Sistem pajak progresif yang diterapkan di Indonesia bertujuan menciptakan keadilan sosial: semakin besar penghasilan, semakin tinggi pajak yang harus dibayar. Namun, pertanyaannya, apakah sistem ini sudah berjalan dengan baik? Di satu sisi, pajak memang menjadi alat untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Tetapi di sisi lain, jika tidak dikelola dengan bijak, pajak justru bisa menghambat pertumbuhan usaha dan mengurangi daya beli masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi agar pajak tidak menjadi beban bagi kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Sebagai warga negara, saya memahami bahwa pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk kontribusi dalam membangun negeri. Namun, agar pajak tidak lagi dianggap sebagai beban, ada tiga hal utama yang harus diperbaiki: transparansi, penyederhanaan sistem, dan kebijakan yang adil. Mungkin pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah "Kenapa saya harus bayar pajak?", tetapi "Bagaimana memastikan pajak yang saya bayar benar-benar digunakan untuk kepentingan bersama?" Jika dikelola dengan baik, pajak bukan sekadar angka di slip pembayaran, melainkan investasi untuk masa depan yang lebih baik bagi kita semua.