It’s Better Late Than Never, Alasan Rebranding Victoria’s Secret

Frila Nurfadila
Dosen Ilmu Komunikasi Unpad
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2021 15:11 WIB
·
waktu baca 1 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frila Nurfadila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Victoria's Secret's New Campaign, VS Collective (Source : victoriassecret.com)
zoom-in-whitePerbesar
Victoria's Secret's New Campaign, VS Collective (Source : victoriassecret.com)
ADVERTISEMENT
Victoria’s Secret yang merupakan brand retail pakaian dalam terbesar dari Amerika diberitakan telah melakukan rebranding melalui kampanye terbarunya yaitu VS Collective pada bulan Juni. Dengan meniadakan Victoria’s Angels dan juga Victoria’s Secret Fashion Show sebagai ajang promosi tahunan, Victoria’s Secret kemudian menggunakan 7 orang wanita yang memiliki prestasi di berbagai bidang yang berbeda sebagai spokesmodels mereka. Beberapa di antaranya adalah Megan Rapinoe yang merupakan pemain sepak bola; Priyanka Chopra yang merupakan seorang aktris berusia 38 tahun; serta Paloma Elsesser, model berukuran plus yang pernah tampil di cover majalah Vogue. Sebagai sebuah brand yang selama beberapa dekade telah konsisten menggunakan image “seksi” sebagai tampilan tubuh ramping dan eksklusif, mengapa di tahun 2021 ini tiba-tiba Victoria’s Secret berusaha mengubah image mereka secara keseluruhan?
Source : unsplash.com
Adanya pergeseran sudut pandang pada masyarakat khususnya wanita, dalam melihat kecantikan telah menjadi salah satu isu yang cukup populer saat ini. Masyarakat tidak lagi hanya melihat kecantikan dengan tampilan tubuh ramping, kulit putih, dan mulus, ataupun rambut panjang dan lurus. Keanekaragaman dan juga inklusivitas dalam kecantikan menjadi sesuatu yang diamini oleh masyarakat luas. Hal tersebut terlihat dari semakin gencarnya generasi muda mengkampanyekan gerakan body positivity.
ADVERTISEMENT
Melalui gerakan tersebut masyarakat diharapkan dapat terhindar dari mental illness, seperti depresi, self esteem yang rendah, ataupun eating disorder. Kesadaran tersebut turut mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menggunakan produk-produk di dalam kehidupan mereka. Mereka lebih nyaman menggunakan produk yang sesuai dengan cara berpikir mereka. Secara garis besar, Masyarakat sebagai konsumen berharap brand dapat mendengarkan kebutuhan dan juga keinginan mereka. Karena selain sebagai buyer dan juga user, konsumen juga merupakan inisiator dan influencer bagi sebuah brand untuk mengembangkan produk-produknya.
Victoria’s Secret sendiri sebenarnya sudah menggunakan model plus size di tahun 2019, tetapi tetap tidak mampu menyelamatkan brand tersebut dari penurunan keuntungan yang telah dirasakan sejak tahun 2017. Munculnya pesaing-pesaing baru yang mengangkat isu inklusivitas dan diversity justru semakin membuat konsumen meninggalkan Victoria’s Secret. Salah satunya adalah Savage x Fenty brand pakaian dalam milik Rihanna. Rihanna sendiri sudah terkenal aktif mengangkat isu inklusivitas dan diversity dalam kecantikan melalui produk kosmetik yang diluncurkan pada tahun 2017, Fenty Beauty.
ADVERTISEMENT
Banyaknya kontroversi dalam Victoria’s Secret, seperti pernyataan Edward Razek, Chief Marketing Officer Victoria’s Secret di tahun 2018 tentang model transgender dan juga keterkaitan antara CEO L Brands dengan terdakwa pelaku kekerasan seksual Jeffrey Epstein juga memperburuk image dari brand tersebut. Yang akhirnya membuat L Brands sebagai perusahaan yang menaungi Victoria’s Secret memutuskan untuk tidak menggelar Victoria’s Secret Fashion Show pada tahun 2019 karena ratingnya yang dianggap terlalu rendah. Di awal tahun 2020, L Brands sebenarnya memutuskan untuk menjual Victoria’s Secret kepada Sycamore Partners, meskipun dibatalkan karena perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Kemudian, pada tanggal 9 Juli lalu, L Brands sepakat untuk melakukan divestasi dengan menjadikan Victoria’s Secret sebagai perusahaan mandiri. Hal tersebut dianggap sebagai langkah terbaik bagi L Brands yang juga menaungi brand Bath and Body Works untuk menyelamatkan nilai saham yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Keputusan Victoria’s Secret mengganti strategi marketing melalui VS Collective sebenarnya bukanlah akibat dari insecurity terhadap Victoria’s Angels seperti yang sempat ramai diperdebatkan oleh salah seorang influencer di jagat maya. Strategi rebranding tersebut merupakan langkah yang diambil oleh Victoria’s Secret untuk dapat mempertahankan brand tersebut. Sebagai sebuah brand yang memiliki resources untuk berkembang, keputusan Victoria’s Secret melakukan rebranding patut diacungi jempol. Dengan begini, Victoria's Secret diharapkan mampu untuk meluncurkan produk-produk yang lebih beragam, baik itu dari jenis, model, bahan, dan juga range ukuran yang mereka miliki. Meskipun beberapa pihak mengatakan langkah ini terlambat mereka lakukan, tapi Victoria’s Secret memutuskan untuk tidak menyerah dan tidak mempertahankan image eksklusivitas yang sebelumnya mereka miliki. Terlebih lagi, mereka yang tidak menginginkan perubahan di Victoria's Secret ini mungkin juga sudah beralih ke brand yang lain.
ADVERTISEMENT
Jadi pelajaran apa yang bisa diambil dari Victoria’s Secret ini?