Konten dari Pengguna

Ilusi Ruang Gema Digital

Frisca SC
Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya
14 Oktober 2024 15:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frisca SC tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : AI Generated
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : AI Generated
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menelusuri timeline Instagram atau for you page TikTok, scroll layar demi layar, kemudian tersesat dalam aliran komentar, unggahan yang tidak pernah berakhir, dengan itu menghadirkan ilusi bahwa dunia hanya tampak semakin sempit, berisi suara-suara yang terus menerus menguatkan pendapat pribadi. Ruang gema yang dibentuk karena algoritma membuat informasi tampak singkat, mendalam, memikat, namun terbatas dalam bingkai pandangan yang sudah ia sepakati. Terkadang, tanpa sadar pikiran sudah tidak meresapi argumen atau sudut pandang yang berbeda, hanya menampung kilasan opini yang seragam berasal dari gema suara-suara yang sama. Pengalaman seperti ini hanya memperkuat batasan antara “kita” dan “mereka”, menciptakan ruang nyaman bagi sebagian orang tetapi seakan menjadi jebakan hingga akhirnya membuat diri tidak lagi melihat kenyataan diluar lingkaran yang kita masuki. Dunia tampak semakin homogen sementara perbedaan perlahan-lahan menghilang dari radar kesadaran.
ADVERTISEMENT

Echo Chamber Effect

Sebutan untuk hal ini adalah echo chamber effect. Echo chamber effect terjadi tidak hanya karena keinginan seseorang untuk mengelilingi diri dengan orang-orang yang sepemikiran. Di dalam sosial media penyebab utama dari fenomena ini adalah algoritma itu sendiri. Platform seperti Instagram, TikTok, Twitter dirancang untuk menyajikan konten yang menarik perhatian kita, berdasarkan preferensi kita sendiri. Melalui cara ini maka algoritma akan menampilkan lebih banyak konten serupa. Semakin lama, kita hanya akan melihat pandangan yang sama berulang-ulang kali, seolah semua orang disekitar kita memiliki pendapat yang sama. Dalam posisi sebagai pengguna aktif media sosial, saya sendiri sering merasakan bagaimana echo chamber effect ini mempengaruhi cara pandang saya terhadap berbagai isu. Terkadang, saya merasa bahwa pandangan yang saya miliki adalah yang paling masuk akal, karena hampir semua informasi yang saya lihat di media sosial mendukung keyakinan tersebut. Namun, ketika sesekali saya keluar dari “gelembung” dan mulai bertemu dengan orang-orang di dunia nyata yang memiliki pandangan berbeda, saya menyadari perbedaannya realitas di dunia luar digital.
ADVERTISEMENT
Manusia, pada dasarnya adalah makhluk yang tidak hanya berpikir tentang dirinya sendiri, tetapi juga selalu terhubung dengan orang lain baik secara fisik maupun pemikiran. Kebutuhan akan kehadiran orang lain, baik sebagai pendukung, pendengar, atau bahkan cerminan dari diri sendiri, ada di dalam naluri. Pada sosial media, koneksi ini termanifestasikan dengan cara yang jauh lebih abstrak namun tidak kalah intens. Pandangan, dan opini tersebar luas dan dengan mudah di konsumsi, seringkali tanpa filter. Namun, apa yang terjadi ketika koneksi ini terperangkap dalam ruang gema, dimana kita hanya mendengar suara yang sejalan dengan keyakinan kita? Dalam kondisi ini, pandangan orang lain bukan lagi hanya berseliweran tetapi menjadi penguat dari apa yang sudah kita percayai. Bukan lagi sekedar dialog, pertukaran gagasan, tetapi sebuah peneguhan berlapis, seolah-olah keyakinan kita adalah satu-satunya kebenaran. Semakin lama, kita bukan hanya melihat dunia dari perspektif yang sama, tetapi juga memandang orang-orang yang berbeda pendapat dengan kecurigaan, seolah-olah mereka adalah ancaman atas keyakinan kita.
ADVERTISEMENT

Dampak Ruang Gema Digital

Seperti halnya fenomena berulang di Indonesia dimana setiap akan diadakannya pemilu, ruang gema ini dapat membuat seseorang percaya bahwa hanya ada satu cara untuk melihat dunia, satu kebenaran, dan satu jalan. Segala yang berbeda, segala yang keluar dari batasan itu akan dianggap salah dan bahkan mengancam. Di sinilah letak bahayanya, keyakinan yang terdistorsi ini dapat memicu polarisasi, yang berpotensi menggerakkan masyarakat menuju konflik dan kekacauan. Sehingga, kepercayaan terhadap suatu isu tertentu tidak lagi didasarkan pada penalaran yang terbuka, tetapi pada pengulangan terus-menerus dari pandangan yang sama yang makin memperkuat keyakinan itu.
Fenomena ini mencerminkan kebutuhan dan keterhubungan dapat dibelokkan oleh algoritma media sosial. Sebagaimana individu merasakan kebutuhan mendalam untuk terkoneksi dengan orang lain dalam kehidupan nyata, di dunia digital, keterhubungan ini diatur oleh sistem yang membantu kita dikelilingi oleh orang-orang yang sejalan.
ADVERTISEMENT
Seperti trauma yang bisa disalurkan, keyakinan politik atau ideologis dalam ruang gema ini juga dapat menyebar dan mengakar dalam pikiran seseorang, terutama anak muda. Remaja mungkin akan menyerap pandangan dari orang lain dalam ruang gema mereka tanpa pernah benar-benar mempertanyakannya, dan akhirnya berpikir bahwa itu adalah kebenaran mutlak. Remaja atau bahkan orang dewasa yang terjebak dalam ruang gema ini, mungkin tidak menyadari bahwa apa yang mereka percayai bukanlah hasil dari pemikiran pribadi melainkan hasil dari ruang gema yang diciptakan oleh algoritma tersebut.
Sumber : AI Generated
Pada akhirnya, yang nyata adalah kemampuan untuk melihat unggahan di media sosial dengan memperhatikan dua sisi, dan menggunakan pemikiran mandiri untuk mempertanyakan setiap lapisan pendapat yang muncul dan untuk memahami bahwa pandangan kita tidak harus selalu sejalan dengan apa yang dipercayai orang lain.
ADVERTISEMENT