Konten dari Pengguna

Makanan Khas Horog-Horog Sebagai Pengganti Nasi

Fitriya Deva
Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas PGRI Semarang
11 Desember 2024 15:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitriya Deva tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Makanan khas Jeoara Horog-horog (foto:Fitriya)
zoom-in-whitePerbesar
Makanan khas Jeoara Horog-horog (foto:Fitriya)
ADVERTISEMENT
Latar Belakang
Horog-horog adalah makanan khas tradisional Jepara yang terbuat dari tepung pohon aren. Makanan ini memiliki sejarah panjang dan kaya akan nilai gizi, menjadikannya alternatif pengganti nasi yang populer di kalangan masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Sejarah dan Asal Usul
Horog-horog muncul sebagai respons terhadap kesulitan masyarakat Jepara dalam mendapatkan nasi, terutama selama masa penjajahan Jepang. Pada saat itu, beras tidak dapat dijual bebas, sehingga warga berinovasi dengan memanfaatkan pohon aren yang melimpah di daerah tersebut. Proses pembuatan makanan khas horog-horog ini melibatkan pengerukan sagu dari batang aren, pengeringan, dan pengukusan hingga membentuk butiran kenyal.
Proses Pembuatan
Pembuatan horog-horog memerlukan ketelitian dan waktu yang cukup lama. Pertama, tepung aren dikukus hingga matang, kemudian didinginkan dan diaduk kembali sebelum dikukus lagi. Hasil akhirnya adalah butiran-butiran kecil yang kenyal dengan rasa sedikit asin.
Penyajian
Horog-horog biasanya disajikan dengan berbagai makanan lain seperti bakso, pecel, atau sate. Makanan ini juga nikmat jika dinikmati dengan taburan kelapa parut dan gula pasir. Dalam suasana bulan puasa, horog-horog sering disajikan dengan minuman segar seperti es campur atau rujak degan.
ADVERTISEMENT
Nilai Ekonomis
Meskipun proses pembuatannya rumit, horog-horog dijual dengan harga terjangkau, berkisar antara Rp 1.000 hingga Rp 5.000 per potong. Hal ini menjadikannya pilihan kuliner yang menarik bagi semua kalangan.
Jadi gimana, apakah tertarik untuk nyobain makanan satu ini?
Fitriya Deva Khoirunnisa, Mahasiswa Universitas PGRI Semarang