Mitos dan Legenda yang Hidup dalam Tradisi Lisan Desa Kedundang, Kulon Progo

Fuad Faizin
Penggiat literasi kesejarahan dan warisan budaya
Konten dari Pengguna
17 Agustus 2020 18:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fuad Faizin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto: Kompleks Makam Kiai Sahir Kedundang. Sumber: Dokumentasi pribadi
Desa Kedundang terletak di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Dari posisinya tersebut tradisi lisan yang berkembang di masyarakat tidak bisa dipisahkan dari narasi sejarah yang hidup di wilayah tersebut. Salah satunya mengenai keterlibatan Kulon Progo dan Diponegoro serta basis pasukan Diponegoro pasca Perang Jawa (1825-1830).
ADVERTISEMENT
Konon setelah Diponegoro ditangkap pemerintah kolonial Belanda, para pasukannya menyebar ke berbagai daerah di Jawa. Salah satunya adalah wilayah Kulon Progo. Hal itu dapat dimaklumi karena Diponegoro pernah bertempur dan beberapa anggota keluarganya yang gugur dimakamkan di Kulon Progo.
Salah satunya adalah Jatikusuma. Konon nama beliau itu karena kebiasaan beliau bertapa di bongkahan bagian tengah kayu jati. Selain itu beliau juga terkenal dengan nama Sultan Koneng. Lokasi bertapanya kini masuk wilayah Kulur. Beliau dalam persembunyiaanya pasca perang tersebut diikuti oleh dua abdi dalem yaitu Jumput dan Salput. Setelah beliau meninggal dimakamkan di Dondong bersama kedua abdinya tersebut.
Kisah lainnya adalah mengenai keberadaan tokoh yang dianggap masyarakat seorang wali yaitu Kiai Sair. Beliau bermukim di utara Pasar Dondong, atau kini berada di utara rel kereta api. Konon beliau membangun rumah tanpa atap namun tidak penghuninya tidak kepanasan atau kehujanan. Selain itu tempat yang sering beliau gunakan untuk beribadah yaitu sebuah batu besar legok menimbulkan bekas sujud pada bagian dahi, tangan dan lutut.
ADVERTISEMENT
Pada suatu hari ada seseorang yang akan kehausan di dekat kediaman Kiai Sair. Sehingga beliau berinisiatif memberikan minuman. Kebetulan di sekitar situ banyak tumbuh pohon kelapa. Seketika itu pohon kelapa ditarik ke arah beliau dan diambil buahnya untuk diberikan kepada orang yang kehausan tersebut. Beberapa keanehan itulah yang membuat beliau dianggap sebagai waliyullah oleh masyarakat. Ketika beliau meninggal dimakamkan di dekat rumahnya yang juga berdekatan dengan rel kereta api. Oleh sebab itulah beberapa lam setelahnya masyarakat berinisitif untuk memindahkannya. Kini makam beliau ada di belakang Masjid Kedundang sekarang.
Beberapa kisah tersebut kini masih hidup dalam tradisi lisan masyarakat setempat. Pengaitan tokoh dengan Pangeran Diponegoro dan tokoh wali, dapat dipahami sebagai bentuk kebanggaan masyarakat yang memiliki relasi dengan seorang tokoh besar. Oleh: KKN PPM UGM Kedundang 2020
ADVERTISEMENT