Surat Terbuka untuk Anak 90-an yang Egois

Fuad Nasir
Lulusan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Suka mengamati fenomena sosmed yang unik dan menggelitik.
Konten dari Pengguna
7 Juli 2020 5:24 WIB
Tulisan dari Fuad Nasir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Generasi 90an. (Foto: Dok. Betterwithmusic.com).
zoom-in-whitePerbesar
Generasi 90an. (Foto: Dok. Betterwithmusic.com).
ADVERTISEMENT
Halo, anak-anak 90-an yang sekarang mungkin udah beranak dua. Saya itu heran, kenapa ada sebagian generasi kita, ya saya juga anak 90-an, yang merasa generasinya paling oke. Padahal, In My Humble Opinion, kita itu cuma menang di lahir duluan aja.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, timeline Facebook saya diramaikan dengan kehebohan bahwa serial Detektif Conan akan kembali ditayangkan di televisi. Kartun itu pertama kali saya kenal ketika saya masih berumur 6 tahun. Saya sebagai penggemar Conan dan masih mengikuti komiknya sangat senang. Setidaknya tayangan favorit saya ketika masih imut dulu tayang kembali.
Ketika trailer-nya pertama kali di-publish di akun twitter NET TV, kebanyakan komentar justru bernada negatif, banyak yang memprotes karena dubber nya berbeda dengan versi tahun 90-an. Mereka yang melakukan protes kebanyakan teman-teman kita juga yang dulunya menonton Detektif Conan. Mereka bilang tayangan yang baru ini tidak sesuai ekspektasi mereka.
Protes itu mengingatkan saya terhadap kelakuan beberapa teman sezaman kita, anak 90-an yang susah move on. Mereka selalu berharap tahun 2020 ini memiliki suasana seperti masa-masa ketika mereka masih berlari-lari mengejar layangan sambil bertelanjang dada. Tak jarang, mereka malah membanggakan kehidupan mereka pada zaman itu dengan keadaan sekarang yang katanya rusak. Istilah ‘generasi micin’ merupakan salah satu contoh betapa hinanya anak ‘zaman now’ di mata mereka.
ADVERTISEMENT
Selain penolakan pada dubber Detective Conan yang baru itu, sebelumnya mereka merasa paling oke ini sudah berkali-kali meminta berbagai stasiun televisi menayangkan kartun favorit mereka ketika masih kecil. Sebut saja Ninja Hattori, Sailor Moon, Power Rangers, Ultraman, dan sebagainya. Mereka kemudian menceritakan rindunya mereka pada rutinitas hari Minggu dulu yang dihabiskan menonton kartun mulai jam 6 pagi hingga jam 12 siang sampai-sampai lupa mandi.
Bukan cuma kartun yang diminta ditayangkan, tapi juga program-program lama seperti kuis Famili 100, Who Wants To Be A Millionare dengan ciri khas Helmi Yahya-nya, hingga acara masak-maak khas Rudi Khaerudin. Program-program tersebut dikatakan lebih bermanfaat dan berbobot daripada program saat ini yang katanya sampah semua. Program yang selalu dibandingkan adalah bagaimana sinetron azab yang dianggap sebagai sinetron pembodohan.
ADVERTISEMENT
Sebelum mau mengkritik mereka, serius, saya juga anak 90-an kok, umur saya sekarang 27 meskipun katanya punya baby face. Saya juga senang kalau mengingat masa-masa itu. Hari Minggu, bangun pagi-pagi untuk nonton TV, padahal di hari weekdays ibu saya sampai harus bohong kalau saya sudah telat. Jujur, pengalaman di masa-masa itu memang enak, siapa sih yang nggak mau jadi anak-anak dan melupakan ribetnya kehidupan orang dewasa?
Tapi, fenomena yang saya amati terutama di media sosial, teman-teman kita itu suka berprinsip ‘enak zamanku toh’ secara nggak masuk akal. Ketika mereka melihat kejadian negatif pada tahun belakangan ini, terutama pada anak-anak, pasti ada saja yang nyeletuk “enak ya, zaman dulu, anak-anak pada polos, waktu aku kecil aku cuma main kelereng”. Hei Bambang, mungkin waktu kecil mainmu kurang jauh. Asal tau saja, dulu juga banyak anak-anak yang nakal, cabul, bahkan kriminal, tapi belum ada twitter yang bikin trending.
ADVERTISEMENT
Wahai anak 90-an yang egois, tahu nggak sih, 90-an itu sama saja kayak zaman sekarang, bedanya cuma di unsur viralitas, viralisme, atau apalah, dan bentuk teknologinya, sisanya sama. Saat kalian bilang kalau anak ‘zaman now’ itu otaknya pada ngeres, ingat nggak sih dulu ada tradisi cowo nonton BF bareng di rumah temen yang punya VCD player? Jangan lupa juga trik jahat ngintipin cewe pake cermin di sepatu. Saat kalian bilang anak jaman sekarang suka membangkang ke guru, jangan lupa kalo yang namanya bolos sekolah, tukang palak di kelas, sama yang suka ngerjain guru itu sudah ada dari zaman Agnes Monica masih unyu-unyu.
Baiklah, saya mencoba mengerti perasaan kalian. Mengenang masa lalu itu memang wajar sih. Kenangan tentang masa kecil bisa membuat kita menjadi senang sampai ketawa cekikikan sendiri. Saya, bahkan sebelum tidur suka mengenang masa lalu sebagai bahan renungan dan refleksi diri. Peristiwa atau hal ini sebenarnya hal yang normal, istilah kerennya nostalgia, ciyeeeh.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, nostalgia punya dua sisi, yaitu nostalgia baik dan buruk. Dalam studi The Future of Nostalgia, Svetlana Boym membagi nostalgia menjadi dua, yaitu restorative nostalgia dan reflective nostalgia. Nostalgia yang bersifat restorative merupakan keinginan seseorang untuk membangun kembali masa lalu mereka, menciptakan berbagai kondisi seperti pada saat mereka di masa lalu. Sementara itu, nostalgia yang bersifat reflective adalah ketika seseorang mengenang masa lalu sebagai bahan renungan dan mengingat rasa bahagia yang pernah mereka rasakan.
Sahabatku, perilaku kalian dapat dikatakan sebagai restorative nostalgia. Kalian mau menjadikan tahun 2020 seperti tahun 1990-an. Kalian berharap semua tayangan televisi, gaya hidup seperti mainan, kebiasaan sama seperti waktu kalian kecil dulu. Lho kok jadi kalian yang mau ngatur-ngatur orang lain? Kalo kata lagunya Raisa, kamu semua itu terjebak nostalgia.
ADVERTISEMENT
Begini lho, guys, setidaknya ada tiga alasan kenapa perbuatan kalian itu kurang sreg dilakukan dan kelihatan norak. Situasi tahun 1990 sampai 2000 itu beda sama sekarang. Dulu, hiburan kebanyakan orang Indonesia ya cuma TV. Akhirnya semua program berpusat di TV. Sekarang hiburan itu ada macam-macam, mau nonton tinggal buka smartphone. Begitu juga dengan anak-anak ‘zaman now’. Pihak TV tentu akan rugi kalo menayangkan program yang penontonnya malah nonton di HP.
Terus, standar hidup zaman 90-an itu beda dengan sekarang. Kalian nggak bisa sembarangan menghakimi anak 90an yang nggak main layangan, nggak main kelereng, nggak main bola sampai magrib, dan lain-lain sebagai generasi yang nggak bahagia. Anak ‘zaman now’ bahagia dengan caranya sendiri. Kalau masalah aktivitas motorik, main tik-tok seharian pun udah bikin keringatan lho, sumpah, saya sudah buktiin.
ADVERTISEMENT
Poin terakhir ya, sahabatku. Kebutuhan kalian dengan anak-anak gen Z itu jelas beda. Kita dulu ngga punya grup Whatsapp buat janjian, jadilah kita sering ngumpul di lapangan. Dulu juga yang namanya smartphone dengan game Mobile Legend, PUBG, dan sebagainya itu belum ada, jadilah kita sering main di luar. Sekarang, semuanya serba mudah, hiburan juga banyak, jadi kebiasaan ngajak teman main dan keluyuran sampai sore itu nggak relevan lagi.
Akhir kata, sahabatku, setiap zaman pasti ada baik dan buruknya. Pandangan kalian kalo anak zaman sekarang itu rusak, belum tentu benar sepenuhnya. Kelakuan generasi kita dulu bisa jadi lebih parah, hanya saja belum ada sosial media yang menviralkanya.
Jadi, ayolah, move on dong.
ADVERTISEMENT