Konten dari Pengguna

Problematika Guru PAI Sekolah Dasar dalam Kurikulum Merdeka

Fuky Ronald Febriyadi
Kegiatan sebagai praktisi pendidikan dimulai dari guru formal Pendidikan Agama Islam, Guru Bimbel, Guru Ngaji di madrasah dan mentor di beberapa kegiatan
17 Oktober 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fuky Ronald Febriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kurikulum Merdeka telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan di kalangan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dasar. Kurikulum ini bertujuan memberikan kebebasan bagi guru dalam merancang pembelajaran yang lebih kontekstual dan sesuai kebutuhan siswa. Namun, di balik peluang tersebut, ada tantangan-tantangan yang muncul dalam pelaksanaannya, terutama bagi guru PAI.
Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Pribadi

Problematika

Di era Kurikulum Merdeka, tanggung jawab guru PAI semakin luas. Tidak hanya mengajarkan materi keagamaan seperti pembelajaran Al-Qur’an, fiqh, atau akhlak, guru juga harus terlibat dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). P5 mengharuskan guru mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila melalui proyek-proyek kolaboratif, yang menambah beban kerja. Pembelajaran yang berprinsip pada pendekatan tematik dan berbasis proyek juga memerlukan perencanaan yang matang. Dalam prakteknya, hal ini sering kali menuntut lebih banyak waktu dan energi, yang terkadang membuat guru PAI kesulitan menyeimbangkan antara tugas-tugas administratif dan tanggung jawab utamanya mengajarkan agama.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa waktu, beban dan tanggung jawab ini dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas utama guru PAI. Dengan tuntutan untuk melaksanakan P5, menyusun modul ajar, serta mengikuti pelatihan-pelatihan terkait implementasi Kurikulum Merdeka, guru PAI kerap kali merasa terbebani. Waktu yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pembelajaran Al-Qur’an, praktik ibadah, atau diskusi mendalam tentang ajaran agama, terkadang harus dikorbankan demi memenuhi kewajiban kurikulum. Akibatnya, pencapaian tujuan pembelajaran agama sering terhambat, terutama dalam hal menanamkan kebiasaan ibadah pada siswa, seperti shalat berjamaah atau membaca Al-Qur'an dengan tartil.
Masalah ini semakin terasa ketika kita melihat bahwa pendidikan agama, terutama di sekolah dasar, memiliki peran penting dalam membentuk karakter siswa. Terlepas dari apa yang terlihat di media tentang implementasi Kurikulum Merdeka, aspek-aspek praktis seperti pembiasaan membaca Al-Qur’an dan pelaksanaan shalat di sekolah tampak kurang mendapat perhatian. Padahal, kompetensi religius siswa juga harus menjadi prioritas, tidak kalah penting dengan penguatan profil pelajar Pancasila. seperti di lansir pada laman https://fokus.tempo.co/read/1560849/pro-kontra-kurikulum-merdeka-besutan-nadiem-makarim
ADVERTISEMENT

Solusi

Terlepas dari problematik tersebut penulis menuliskan solusi yang mungkin relevan dengan problematiak tersebut diantaranya :

1. Esensi Pembelajaran

Pertama, memprioritaskan esensi Pembelajaran atau fokus kepada apa yang ditentukan oleh kurikulum merdeka yaitu CP (Capaian pemebelajaran). Menghadapi berbagai tantangan tersebut, ada beberapa solusi yang bisa diambil. Pertama, guru PAI harus tetap fokus pada esensi pembelajaran agama. Kurikulum Merdeka memang memberikan fleksibilitas, namun jangan sampai kita melupakan inti dari tugas kita sebagai guru PAI, yaitu menanamkan nilai-nilai Islam kepada siswa. Fokus pada pengajaran agama yang efektif dan bermakna harus tetap menjadi prioritas utama.
walaupun terlepas dari hal tersebut, kurikulum merdeka dapat menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan dalam pembelajaran di kelasnya masing-masing. Menjadikan setiap guru dapat menyusun program pembelajaran menyesuaikan dengan keadaan di kelasnya masing-masing.
ADVERTISEMENT

2. Pembelajaran Berkelanjutan dan Fleksibilitas

Kedua, pembelajaran Berkelanjutan dan Fleksibilitas. Penting bagi guru PAI untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan kurikulum. Kurikulum Merdeka menuntut pembaruan dalam metode pembelajaran, dan ini harus dianggap sebagai kesempatan untuk memperkaya kualitas pengajaran. Guru PAI harus terbuka terhadap pendekatan-pendekatan baru yang bisa diintegrasikan ke dalam pembelajaran agama, tanpa meninggalkan tujuan utamanya.

3. Jangan terpaku pada aturan yang kaku

Ketiga, jangan terpaku pada aturan yang kaku. Hakikat Kurikulum Merdeka adalah kebebasan dan kreativitas guru dalam menentukan apa yang terbaik bagi siswanya. Dalam konteks ini, guru sebenarnya adalah “kurikulum abadi” karena merekalah yang paling tahu kondisi dan kebutuhan siswa di kelas. Dengan pemahaman ini, guru PAI dapat lebih fleksibel dalam mengelola waktu dan materi pembelajaran, sehingga tujuan spiritual dan moral siswa tetap tercapai.
ADVERTISEMENT

4. Kolaborasi dan Diskusi antar Guru

Keempat, Kolaborasi dan Diskusi Antar Guru. Diskusi dan kolaborasi dengan rekan sejawat sangat penting. Guru PAI dapat berdiskusi tentang strategi yang paling efektif dalam mengajar, berbagi pengalaman tentang perilaku siswa, serta mencari solusi atas tantangan-tantangan yang dihadapi di lapangan. Dengan berdiskusi, kita dapat saling menguatkan dan meningkatkan kualitas pengajaran, baik dalam hal agama maupun aspek lainnya.
Kesimpulannya dalam artikel ini adalah problem insyaAllah dapat teratasi dengan kolaborasi. Masalah yang dihadapi oleh guru PAI dalam implementasi Kurikulum Merdeka sebenarnya hanya terjadi dalam lingkup kecil dan spesifik. Dengan penerapan solusi-solusi yang tepat, kita dapat mengatasi tantangan ini. Harapannya, melalui pendekatan yang lebih fleksibel dan kolaboratif, kualitas pendidikan agama di sekolah dasar tetap terjaga, tanpa harus mengorbankan tuntutan kurikulum yang ada.
ADVERTISEMENT