Hukuman Mati Menanti Menteri Sosial

Furqan Jurdi
Furqan Jurdi adalah Aktivis Muda Muhammadiyah, aktivis Pergerakan di IMM, ketua Lembaga Dakwah DPP IMM dan Ketua Presidium Nasional Pemuda Madani. Menulis Buku: Api Kata-Kata, Ideologi Gerakan IMM, dan Festival Pemberantasan Korupsi
Konten dari Pengguna
6 Desember 2020 14:58 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Furqan Jurdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hukuman Mati Menanti Menteri Sosial
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Oleh: Furqan Jurdi*
Kumparan.com. Kita sedang menghadapi krisis ekonomi dan krisis Kesehatan Akibat Pandemi Covid~19.  Untuk mengatasi krisis itu, maka Tanggal 13 April Presiden menetapkan Covid 19 sebagai bencana nasional. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran corona virus disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional. Artinya sampai saat ini kita masih menghadapi bencana.
ADVERTISEMENT
Presiden juga telah mengeluarkan beberapa paket kebijakan yang untuk menstimulasi dampak Covid di berbagai sektor, salah satu nya adalah mengeluarkan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang kemudian di sahkan menjadi UU Nomor 2 tahun 2020.
Dalam Pasal 27 UU a quo, terdapat imunitas bagi pejabat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selama itu berkaitan dengan covid~19. Namun dalam hal imunitas menurut Prof. Eddy Os. Hiariej ada dua postulat, yaitu: Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pasal 50 KUHP (barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana), bahwa seorang pejabat memiliki imunitas, hal tersebut tidak berlaku apabila ada perbuatan yang memenuhi pasal~pasal pidana. Jadi imunitas dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah imunitas bersyarat, yaitu Pertama, diterapkannya prinsip iktikad baik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam UU 2/2020. Kedua, tugas pokok dan fungsi aquo dilaksanakan sesuai ketentuan dengan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu tidak ada kekebalan hukum apabila ditemukan, jahat (mensrea) dan menyalahi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian setiap tindakan pejabat negara yang menyalahi ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak memiliki itikad baik dalam mengeluarkan keputusan, entah itu ada pasal imunitas atau tidak, tetap akan dipertanggungjawabkan dihadapan hukum.
ADVERTISEMENT
Jadi dalam konteks apapun, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dapat dihukum.
Menteri Sosial Juliari P Batubara tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Minggu (6/12/2020). Foto: Antara/Hafiz Mubarak
Hukuman Mati Bagi Koruptor
Korupsi adalah kejahatan extra ordinary Crime yang tingkat kerusakannya demikian besar. Ada beberapa kerusakan akibat dampak korupsi ini. Berdasarkan Background Paper Declaratioan of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru, 2002 ada tujuh dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan korupsi.
Pertama, korupsi dianggap merusak demokrasi. Kedua, korupsi dianggap merusak aturan hukum, teristimewa pembuatan undang-undang yang sarat dengan praktik suap-menyuap dan dalam penegakan hukum. Ketiga, korupsi menghambat pembangunan berkelanjutan. keempat dari korupsi adalah merusak pasar. Kelima, korupsi merusak kualitas hidup, khususnya korupsi di sektor pendidikan dan kesehatan. Keenam, korupsi dapat membahayakan keamanan manusia. Terakhir, korupsi melanggar hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Melihat dampak Korupsi yang sedemikian besar tersebut di atas, jelas bahwa korupsi bukanlah kejahatan biasa, melainkan kejahatan yang luar biasa, dan dalam melakukan upaya pemberantasannya harus dengan cara~cara yang luar biasa. Karena itu  di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kita mengenal istilah hukuman mati bagi koruptor.
Hal itu terbaca dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, di dalam ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’.
Keadaan tertentu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) tercantum, bahwa yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. 
Korupsi di Kemensos
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa anggaran penanganan covid sudah mencapai 677 Triliun. Dengan pembagian struktur anggaran Pemulihan Ekonomi (PEN) sebanyak Rp87,55 triliun untuk kesehatan, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 trilun dan sektoral/pemerintah daerah Rp106,11 triliun.
ADVERTISEMENT
Melihat data tersebut anggaran perlindungan Sosial yang dikelola oleh Kementrian Sosial sangat besar, yaitu senilai 203,9 Triliun. Sedangkan realisasi Anggaran sudah mencapai Rp 144,4 triliun. Namun dibalik anggaran besar dan realisasi anggaran tersebut, ternyata ada praktek korupsi yang masif terjadi. Hal ini melukai perasaan masyarakat yang sedang terkatung~katung menghadapi pandemi.
Oleh karena itu, dalam situasi Bencana nasional sebagai mana yang telah di tetapkan oleh presiden dalam Kepres Nomor 12 Tahun 2020, sampai saat ini masih berlaku. Sesuai dengan rumusan Pasal 2 UU Tipikor tersebut di atas, Para pelaku dapat dihukum drngan hukuman mati.
Apalagi anggaran tersebut diperuntukan untuk bantuan sosial dan pemulihan ekonomi nasional akibat krisis ekonomi dan moneter yang sedang menimpa Indonesia akibat pandemi Covid 19. jelas tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dari segi hukum manapun, dan tidak bisa ditoransi dengan alasan apapun. Karena itu, dalam perspektif hukum Tipikor, Tersangka Korupsi yang sedang di sidik KPK, yaitu menteri dan pejabat di Kementrian Sosial dapat di dakwah melakukan tindak pidana korupsi, dalam 'keadaan tertentu' dan dapat dijatuhi hukuman mati.
ADVERTISEMENT
*Ketua Presidium Nasional Pemuda Madani & Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM