Konten dari Pengguna

Transformasi Kebijakan dan Perkembangan Industri Perfilman Indonesia

Gabriel Tegar Raditya Dewangga
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
27 Oktober 2024 14:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gabriel Tegar Raditya Dewangga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Industri perfilman Indonesia memiliki sejarah panjang yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam sektor perfilman. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus Korea Selatan, di mana perubahan kebijakan perfilman melalui revisi "Law of Cinema" secara signifikan mampu mengangkat industri film mereka dari keterpurukan. Sebelum reformasi kebijakan, film Korea Selatan hanya menguasai 24% pangsa pasar domestik pada tahun 1998, sementara 66% dikuasai oleh Hollywood. Menurut Ardiyanti (2017, h.163-164) kondisi serupa juga dialami Indonesia, di mana perkembangan industri film nasional sangat bergantung pada tiga aspek utama: perkembangan bioskop sebagai sarana pertunjukan, perkembangan film itu sendiri, dan evolusi kebijakan perfilman. Melalui studi literatur dan penelusuran sejarah, dapat dipelajari bagaimana kebijakan-kebijakan masa lalu mempengaruhi industri film Indonesia, sehingga dapat dirancang kebijakan yang lebih tepat untuk mendorong kemajuan industri perfilman nasional di masa depan (Ardiyanti, 2017, h.163-164).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya konsep industri budaya, menurut Theodor W. Adorno, (dalam Reksa, 2015) merupakan proses industrialisasi dan komersialisasi budaya dalam konteks kapitalis, di mana budaya dikelola sebagai sebuah industri dengan manusia sebagai pekerja dan konsumen. Karakteristik utamanya meliputi komodifikasi transformasi sesuatu menjadi komoditi untuk diperjualbelikan dan repetisi dalam produksi (Ardiyanti, 2017, h.164-165). Dalam konteks film, Warren Buckland menyatakan bahwa keberhasilan film bergantung pada kemampuannya mengaduk emosi penonton, dengan contoh film seperti Jurassic Park yang menciptakan ketegangan melalui penyampaian visual yang cepat. Konsep simulacra dan hiperrealitas juga relevan, di mana simulakra merujuk pada representasi imajiner yang mereduksi keseimbangan antara citra dan realitas, sedangkan hiperealitas mengaburkan batas antara kepalsuan dan keaslian. David Hesmondhalgh (dalam Ardiyanti, 2017, h.164-165) menekankan pentingnya organisasi dalam industri budaya yang meliputi produksi, distribusi, promosi, dan konsumsi, serta peran vital dari tenaga kreatif. Oleh karena itu, keberhasilan film sangat bergantung pada kemampuan untuk menciptakan simulacra yang menghasilkan hiperealitas, didukung oleh kebijakan perfilman yang baik. Pemahaman terhadap sejarah perkembangan perfilman dan pengklasifikasian dalam tahapan produksi, distribusi, promosi, dan konsumsi menjadi kunci untuk mendorong kemajuan dalam industri perfilman.
ADVERTISEMENT
Clip Potongan Film Agak Laen. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Industri perfilman Indonesia, termasuk film Agak Laen, dipengaruhi oleh sejarah dan kebijakan yang mendukung perkembangan film lokal. Dengan dirilis di 567 bioskop, film ini menunjukkan pentingnya infrastruktur bioskop dalam meningkatkan akses penonton (Milagsita, 2024). Kualitas film yang baik dan dukungan kebijakan yang terbuka memungkinkan produksi Agak Laen untuk menampilkan komika dan aktor berbakat, serta merespons keinginan pasar. Selain itu, organisasi dalam produksi dan promosi, yang efektif di media sosial, berkontribusi pada kesuksesan film yang menarik lebih dari 9 juta penonton. Dengan menciptakan simulacra melalui pengalaman horor yang dikemas dalam komedi, film ini menghasilkan hiperealitas yang mengaduk emosi penonton, sekaligus menunjukkan potensi besar industri film Indonesia untuk terus berkembang.
Gabriel Tegar Raditya Dewangga (220908025)
ADVERTISEMENT
Universitas Atma Jaya Yogyakarta