Antara Undangan BRICS, Potensi Ekonomi, hingga Daya Tarik OECD

Gabriela Adeline Thurana
Public Administration (Diponegoro University) - Research Assistant (Tenggara Strategics)
Konten dari Pengguna
27 Desember 2023 8:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gabriela Adeline Thurana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hadirnya Indonesia dalam KTT BRICS yang diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada 22-24 Agustus 2023 bukan menjadi sinyal kuat bergabungnya Indonesia dalam BRICS. Kehadiran presiden Jokowi dimaksudkan untuk memenuhi undangan sebagai tamu dengan kapasitas sebagai Ketua ASEAN 2023, sehingga tidak ada kaitannya dengan status keanggotaan Indonesia di BRICS.
ADVERTISEMENT
Organisasi BRICS, yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, dan China, dan Afrika Selatan, telah mengalami pertumbuhan yang pesat hingga menjadi salah satu kelompok utama dalam politik, militer, dan ekonomi global. Pada pertemuan ini, BRICS memiliki rencana untuk memperluas anggotanya dengan potensial penerimaan hingga 40 negara, termasuk tiga negara yang sudah menjadi anggota G20, seperti Indonesia, Arab Saudi, dan Argentina, untuk menjadi bagian baru dalam kelompok eksklusif ini.
Undangan untuk menjadi anggota BRICS dianggap sebagai peluang yang menjanjikan, meskipun adanya pertimbangan terhadap risiko yang juga perlu dicermati. Terlepas dari belum bergabungnya Indonesia sebagai bagian dari BRICS, Jika kita menilik lebih dalam, Indonesia sepenuhnya menyadari betapa pentingnya BRICS sebagai mitra diplomasi, terutama dalam hal ekonomi.
ADVERTISEMENT
Pertama, dari sisi ekonomi dan perdagangan, dengan total nilai ekonomi mencapai 33,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global dan mewakili 45% dari total populasi dunia, BRICS jelas merupakan mitra yang strategis bagi ASEAN. Dalam posisisnya untuk kepentingan bilateral Indonesia dan kepentingan regional sebagai Ketua ASEAN 2023, menjadi peluang yang baik bagi negara-negara berkembang seperti di Asia Tenggara, BRICS dapat membantu pertukaran teknologi, pengetahuan, dan perdagangan yang saling menguntungkan satu sama lain.
Kedua, Dari sisi stabilitas mata uang, rupiah Indonesia juga akan lebih stabil dari risiko fluktuasi mata uang (aksi spekulasi dan ketergantungan pada mata uang tertentu) terlebih dengan pemberlakuan mata uang lokal yang diterima oleh negara-negara anggota BRICS. Selain nilai perdagangan di antara anggota BRICS menunjukkan peningkatan seiring dengan semakin meluasnya wilayah atau negara yang dilalui oleh belt and road initiative (BRI) yang dirintis oleh China. Penggunaan mata uang lokal juga berpotensi meningkat di tengah gejolak perang Rusia dan Ukraina yang utamanya digunakan untuk membeli komoditas dari Rusia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, kerja sama keamanan BRICS akan menghormati teritorial setiap negara anggota dan mengurangi risiko intervensi negara-negara anggota BRICS atas keutuhan wilayah NKRI. Peranan militer dan politik BRICS terlihat menonjol pada tahun-tahun belakangan ini dan pada beberapa isu mengambil posisi berlawanan dengan kepentingan dan hegemoni negara-negara Barat atau maju. Aspek tersebut dapat menjadi peluang Indonesia untuk mengurangi risiko intervensi dan mendapatkan dukungan dari BRICS atas keutuhan wilayah khususnya keutuhan teritorial setiap negara anggota. Mengingat dominasi dan klaim China pada wilayah Laut China Selatan semakin kuat dan terkesan tanpa kompromi dengan negara-negara tetangga, termasuk Indonesia, yang memiliki klaim yang sama
Di sisi lain, perlu adanya pertimbangan terhadap posisi BRICS terhadap dinamika politik internasional. Blok yang didirikan sebagai klub informal pada tahun 2009 untuk menyediakan  platform bagi anggotanya untuk menantang tatanan dunia yang didominasi oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu Baratnya dan semakin kuat dalam dinamika perang Rusia dan Ukraina perlu menjadi atensi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sentimen anti-Barat dalam BRICS ini bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif Indonesia. Jangan lupa bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pionir Gerakan Non-Blok dalam hubungan internasional. Indonesia selalu menekankan prinsip untuk tidak ikut campur dalam persaingan antarnegara besar yang tengah saling merebut pengaruh. Sebaliknya, Indonesia memilih fokus perdamaian dan pembangunan global.
Potensi menjadi proksi pertarungan kekuasaan negara-negara besar tentunya akan tetap ada, setidaknya dalam waktu dekat Indonesia tidak boleh mempertaruhkan hubungan diplomasi nya terhadap dinamika yang terjadi.
Foto: Shutterstock
Di balik keputusan Indonesia untuk belum bergabung dalam BRICS, terdapat organisasi yang lebih memikat hati Indonesia, OECD.  OECD beranggotakan 38 negara. Dilihat dari komposisi negara anggota, tak ada satu pun negara dari BRICS yang menjadi anggota OECD.
ADVERTISEMENT
Jika dikonfrontir, komposisi anggota BRICS merupakan ‘anti-tesis’ dari negara-negara anggota dalam OECD.  Keputusan kuat Jokowi terlihat dari Indonesia mengintensifkan lobi-lobi untuk menjadi anggota OECD. Keanggotaan di “klub negara maju” diharapkan bisa mengakselerasi upaya Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi.