Konten dari Pengguna

Arah Persimpangan Jalan bagi Kelas Menengah

Gabriela Adeline Thurana
Graduate Student in Political Science, University of Indonesia - Political Research Assistant
14 Oktober 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gabriela Adeline Thurana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada akhirnya, kelas menengah mendapati diri mereka di persimpangan jalan, terhimpit oleh serangkaian tekanan sosial, politik, dan ekonomi yang semakin kompleks. Penurunan jumlah lapangan pekerjaan yang kian hari semakin terasa, ditambah dengan gelombang pemutusan hubungan kerja secara massal akibat kemunduran industri manufaktur, menjadi beban yang tidak bisa dihindari.
ADVERTISEMENT
Stagnasi gaji yang jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari nyatanya juga semakin memperburuk situasi mereka. Biaya hidup yang terus melonjak, mulai dari kebutuhan dasar hingga tuntutan gaya hidup modern, menambah tekanan pada kelas menengah yang terjebak di tengah situasi ini. Seakan menciptakan lingkaran hitam yang terus membayangi para kelas menengah, memaksa mereka untuk beradaptasi atau menghadapi ketidakpastian yang semakin besar.
Diawali dengan data Susenas 2023 yang menunjukkan bahwa kelas menengah mengalami penurunan menjadi 18,8 persen, dengan sekitar 8,5 juta orang "turun kelas" menjadi calon kelas menengah atau bahkan kelas bawah. Kini, lebih dari setengah populasi Indonesia, atau sekitar 144 juta orang, berada di ambang status kelas menengah yang rapuh.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari data tersebut, di satu sisi, kelas menengah yang terhimpit merasa semakin terisolasi. Mereka dipaksa bekerja keras untuk mempertahankan status sosial, sering kali dibarengi utopis akan adanya jaminan peningkatan kualitas hidup.
Fenomena maraknya konser musik tahunan yang semakin memikat, hadirnya hiburan malam yang dirancang khusus untuk generasi Z, tren "healing” ala milenial dan gen Z yang terus dipopulerkan, hingga gaya hidup mewah para public figure seolah menjadi pelampiasan bagi mereka yang merasakan betapa besarnya tekanan hidup. Berbagai hiburan ini seakan terus menawarkan pelarian dari kenyataan yang berat, memberikan sejenak rasa kebebasan dan melepaskan dari rutinitas yang penuh tekanan.
Namun, meskipun menjadi cara untuk sejenak melarikan diri, nyatanya pelampiasan ini bukan solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah yang lebih mendalam. Kelas menengah yang penghasilannya terbatas, namun memiliki kebutuhan untuk mengikuti tren sosial, sering kali justru terjebak dalam lingkaran masalah baru.
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk mengikuti gaya hidup yang tampak glamor, seperti membeli tiket konser atau menikmati hiburan mahal, sering kali memaksa mereka malah mengambil pinjaman online yang pada akhirnya hanya memperburuk situasi keuangan mereka. Akibatnya, alih-alih meredakan tekanan, mereka justru menghadapi risiko penurunan status ekonomi. Perlahan tapi pasti, mereka dapat terjerumus ke dalam kelompok ekonomi bawah, tanpa kepastian kapan bisa keluar dari lingkaran hitam ini.
Di sisi lain, ketika kelas menengah merasakan "penurunan kelas," mereka juga mulai merasa semakin dianaktirikan oleh pemerintah. Saat mereka bergulat dengan berbagai kesulitan ekonomi, perhatian pemerintah justru tampak teralihkan pada hal-hal yang dianggap remeh. Kegiatan yang tidak relevan seakan menjadi aktivitas yang selalu mereka pamerkan, seperti asik bermain futsal hingga aktif bergaul dengan para selebriti, menciptakan kesan ketidakpekaan para elite politik terhadap masalah rakyat.
ADVERTISEMENT
Bagi kelas menengah, kondisi ini memperdalam perasaan bahwa mereka tidak hanya diabaikan, tetapi juga tidak diprioritaskan dalam kebijakan publik. Kelas menengah yang seharusnya menjadi penopang demokrasi justru dikhawatirkan akan memberikan resultan terhadap sikap ketidakpedulian atau bahkan memunculkan adanya populisme. Ketika pemerintah gagal memberikan solusi, ketidakadilan sosial terus meluas, dan keresahan mereka diabaikan, kemarahan yang terpendam bisa menjadi katalis bagi sikap apatis terhadap politik dan pemerintahan.
Rasa ketidakpedulian karena semakin banyak orang yang menarik diri dari partisipasi politik, semakin besar celah yang terbuka bagi munculnya gerakan populisme atau perlawanan sosial yang lebih besar. Ketidakpuasan yang tidak terakomodasi dengan baik berpotensi mengarah pada aksi-aksi perlawanan yang lebih keras, hingga menimbulkan pemberontakan sosial.
ADVERTISEMENT
Kelas menengah, yang merasa terjebak dan tidak mendapatkan perhatian, bisa menjadi kekuatan untuk menggerakkan para kelas di bawahnya menjadi gelombang perubahan yang tidak terduga, dengan konsekuensi tatanan demokrasi yang tergoyahkan. Menurut Robert W. Hefner, populisme seringkali didorong oleh krisis kewarganegaraan dan ketidakpuasan terhadap status quo. Populisme mengusung narasi “rakyat” sebagai lawan dari elite penguasa, yang dapat merusak pluralitas dan nilai-nilai demokrasi.
Tiga kelompok di Indonesia yang paling rentan terjebak dalam populisme adalah kelas menengah berpendidikan yang gagal mencapai mobilitas sosial ke atas, kelas menengah yang terimbas kegagalan kebijakan ekonomi, serta masyarakat kelas bawah yang hidup berdampingan dengan kelompok kaya, seperti di Jakarta. Ketika kelas menengah mengalami ketidakpastian ekonomi dan kegagalan kebijakan pemerintah, mereka mencari pelarian, baik melalui sikap apolitis maupun ke arah populisme.
ADVERTISEMENT
Populisme, menurut Hefner, memanfaatkan krisis untuk menyalurkan sentimen “kami vs mereka”, yang memperburuk fragmentasi sosial, etnis, atau agama. Jika dibiarkan, populisme dapat meminggirkan mekanisme konstitusional, mengikis demokrasi, dan memperkuat dominasi kelompok elite. Kelas menengah yang apolitis menjadi ancaman tersendiri karena mereka tidak lagi merasa memiliki keterlibatan dalam proses demokrasi, alih-alih mereka adalah kekuatan penentu dalam menjaga keseimbangan politik.
Sejarah di Asia Tenggara menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang parah, seperti yang melanda Indonesia pada akhir 1990-an, dapat membangkitkan kelas menengah dari apatisme politik mereka. Namun, meskipun demokrasi berkembang, elite tetap berhasil mempertahankan dominasi mereka. Di Indonesia, meskipun transisi menuju demokrasi telah terjadi, kualitas demokrasi masih jauh dari ideal. Elite politik masih memanfaatkan sistem demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan mereka, sementara aktivis sosial dan mahasiswa yang pernah menjadi motor perubahan kini kehilangan semangat atau bahkan dikendalikan oleh elite.
ADVERTISEMENT
Kapasitas sosial aktivis dan organisasi masyarakat sangat bervariasi dalam mendukung demokrasi yang lebih inklusif. Mereka sering terpecah oleh afiliasi kelas dan komunitas, sehingga menghambat solidaritas yang diperlukan untuk mendorong perubahan politik yang signifikan. Bahkan ketika kekuatan sosial solid dan partisipatif, mereka sering kali gagal menawarkan alternatif yang kredibel terhadap elite yang berkuasa.
Penelitian oleh Erica Chenoweth dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa perubahan politik dapat terjadi jika hanya 3,5 persen populasi aktif terlibat dalam mendorong sebuah gerakan protes. Hal ini menegaskan betapa pentingnya peran kelas menengah dalam menjaga stabilitas demokrasi. Dengan 18,8 persen populasi Indonesia yang termasuk dalam kelas menengah, jumlah ini jauh lebih dari cukup untuk menjadi kekuatan pendorong perubahan positif.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, kondisi ini bukanlah sebuah akhir dari persimpangan jalan. Kelas menengah menjadi penentu utama arah mana yang harus mereka ambil, menjadi apolitis dan membiarkan demokrasi merosot, atau terjun ke dalam populisme yang merusak pluralitas? Atau, mereka dapat memilih untuk bangkit, melawan tekanan, dan kembali memperjuangkan demokrasi yang mereka cita-citakan.