Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Jalur Kuning di Trotoar: Sebenarnya Untuk Siapa Sih?
29 November 2024 13:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Gabriella Anna Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah kalian memperhatikan jalur kuning di trotoar? Garis yang sering disebut guiding block ini sebenarnya dibuat khusus untuk para tunanetra. Fungsinya sangat penting, yakni agar para tunanetra dapat berjalan dengan aman tanpa harus bergantung pada bantuan orang lain. Namun, sayangnya, di Indonesia, garis kuning sering tidak dimanfaatkan dengan semestinya. Alih-alih menjadi alat bantu, jalur ini malah menjadi simbol nyata ketidakpedulian masyarakat terhadap kebutuhan khusus tunanetra.
ADVERTISEMENT
Jalur kuning memiliki dua pola utama. Pola garis lurus menunjukkan arah jalan yang harus diikuti, sedangkan pola bulatan atau titik menandakan tempat berhenti atau perubahan arah. Bagi tunanetra, pola-pola tersebut berfungsi sebagai panduan jalan yang membantu mereka bergerak di lingkungan sekitar. Dengan menggunakan tongkat, mereka bisa merasakan tekstur jalur kuning dan menyesuaikan langkah mereka.
Fasilitas semacam ini merupakan bagian dari upaya menciptakan kota yang inklusif, di mana semua warga, termasuk penyandang disabilitas, dapat beraktivitas dengan aman dan nyaman. Namun, di mana-mana, kalian pasti pernah melihat penyalahgunaan jalur kuning, contohnya, motor yang sering diparkir sembarangan di atas trotoar; pedagang kaki lima membuka lapak di sepanjang jalur, dan warga biasa sering menaruh barang sembarangan di atas jalur kuning. Jalur ini sering terputus akibat adanya tiang listrik, lubang saluran air, atau rambu-rambu jalan yang dipasang tanpa perhitungan yang tepat. Menurut data dari Kemenhub, masih banyak trotoar di kota besar Indonesia yang jauh dari standar aksesibilitas. Penyediaan jalur kuning yang aman menjadi salah satu indikator utama yang sering terabaikan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, karena jalur kuning terhalang, para tunanetra sering kali terpaksa turun ke jalan. Ini tidak hanya membuat mereka kehilangan kenyamanan, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada pada tahun 2021 mencatat bahwa 25% penyandang tunanetra di Yogyakarta pernah mengalami kecelakaan di jalan raya karena jalur mereka terganggu. Angka ini sangat memprihatinkan dan menunjukkan bahwa jalur kuning bukan sekadar fasilitas tambahan, melainkan kebutuhan yang mendasar.
Apa penyebab dari permasalahan ini? Banyak orang tidak memahami, atau bahkan tidak peduli, terhadap fungsi jalur kuning. Mereka melihat jalur ini hanya sebagai hiasan trotoar, sehingga mereka merasa tidak bersalah saat menghalangi jalur itu.
Tetapi, apakah hanya karena ketidaktahuan? Menurut aku, banyak kejadian disebabkan oleh egoisme. Misalnya, motor yang diparkir di atas trotoar, meskipun tahu itu melanggar aturan, tetapi tetap dilakukan demi kenyamanan diri sendiri. Menurut saya, itu mencerminkan kurangnya empati terhadap orang lain, khususnya bagi mereka yang berkebutuhan khusus seperti tunanetra.
ADVERTISEMENT
Ketika jalur kuning tidak berfungsi, efeknya lebih dari sekadar ketidaknyamanan. Bagi para penyandang disabilitas visual, jalur ini adalah alat utama untuk menjaga kemandirian saat bergerak. Jalur kuning memungkinkan mereka bergerak tanpa harus selalu bergantung pada orang lain. Namun, jika jalur ini terhalang, kemandirian mereka secara otomatis terhambat.
Bayangkan, mereka harus selalu meminta bantuan hanya untuk bisa berjalan di trotoar. Tentu saja, hal ini sangat melelahkan, baik secara fisik maupun mental. Mereka kehilangan rasa percaya diri dan kebebasan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Menurut aku, ada dua aspek penting yang perlu diperbaiki, yaitu infrastruktur dan pola pikir masyarakat. Dari segi infrastruktur, trotoar harus bersih dari penghalang seperti tiang listrik, papan, atau rambu jalan yang menghalangi jalur. Jalur kuning juga perlu dirawat secara berkala agar tetap berfungsi. Penegakan hukum juga harus diperkuat. Misalnya, pengendara motor yang parkir di trotoar harus dikenakan sanksi tegas. Pedagang kaki lima yang menggunakan trotoar untuk berjualan juga harus ditertibkan.
ADVERTISEMENT
Namun, memperbaiki infrastruktur saja tidak cukup. Masyarakat juga perlu mengubah pola pikir mereka. Edukasi mengenai pentingnya aksesibilitas bagi semua orang bisa menjadi langkah awal. Misalnya, melibatkan komunitas tunanetra dalam kampanye publik agar orang-orang dapat memahami dengan lebih baik betapa pentingnya fasilitas ini.
Di samping itu, edukasi tentang aksesibilitas harus dimulai sejak usia dini. Anak-anak perlu diajarkan bahwa fasilitas seperti jalur kuning adalah hak setiap individu, termasuk penyandang disabilitas. Dengan cara ini, generasi mendatang bisa lebih peduli dan menghargai keberadaan fasilitas ini.
Jalur kuning di trotoar bukan hanya sekadar aksesori tambahan, tetapi simbol kota yang inklusif dan adil untuk semua. Ketika berfungsi dengan baik, kita tidak hanya membantu tuna netra, tetapi juga menunjukkan bahwa kita adalah masyarakat yang peduli terhadap kebutuhan semua orang, tanpa kecuali.
Namun, semua perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri. Kita bisa memulainya dengan tindakan sederhana, seperti tidak menghalangi jalur kuning, tidak memarkir kendaraan di trotoar, dan tidak meninggalkan barang sembarangan di atasnya. Tindakan kecil ini, jika dilakukan secara bersamaan, dapat memberikan dampak yang besar.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, dalam menciptakan kota yang inklusif, bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai warga. Maka dari itu, jalur kuning harus kita jaga agar bersih dan aman supaya tidak mengganggu orang lain. Dengan cara ini, kita tidak hanya menyediakan kemudahan bagi tunanetra untuk bergerak dengan nyaman, tetapi juga berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih peduli dan berkeadilan.