Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
AI Tidak Bisa Menggantikan Dokter: Benarkah?
6 Januari 2025 12:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Gabriella Natali Indipuspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi telah membawa kita ke sebuah transformasi yang cukup drastis, mengesankan, dan agaknya tragis. Dewasa ini, pekerjaan semakin mudah digantikan. awalnya automasi hanya menggantikan pekerjaan-pekerjaan sederhana yang dilakukan oleh manusia, seperti pemanenan padi yang lama-lama tergantikan dari manual menuju menggunakan traktor, pengantaran koran yang kini dapat diakses melalui e-newspaper, pembersihan ruangan pun dapat dibantu oleh semacam robot kecil yang melata di lantai kita untuk mengepel rumah kita, dan lain-lain. Namun, lama-kelamaan, kecerdasan buatan atau yang kerap disebut sebagai AI (artificial intelligence) mulai berkembang secara masif dan menggantikan pekerjaan yang lebih kompleks, sebut saja akuntan pajak, insinyur, dan bahkan programer. Lantas, apakah seorang dokter juga dapat tergantikan di masa depan kelak?
ADVERTISEMENT
Dokter menggunakan pengetahuan klinis mereka dan pengalaman serta kejadian empiris untuk mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang mungkin tidak terduga. Dalam dunia kedokteran, profesi ini seringkali dilibatkan dengan banyak keputusan yang rumit. Tentu perlu disadari bahwasannya tiap pasien memiliki latar belakang, riwayat kesehatan, dan kondisi sosial beragam yang menjadi penentu diagnosis serta perawatan mereka.Oleh karena itu, kehadiran dokter yang memiliki kredibilitas mumpuni juga krusial dalam berbagai kegiatan yang melibatkan pasien dan klien.
AI mungkin dapat menganalisis data dan memberikan rekomendasi berdasarkan pola-pola yang telah dipelajari, tetapi ia tidak dapat mempertimbangkan konteks sosial, budaya, atau emosional yang juga memengaruhi keputusan medis. Di saat inilah kehadiran dokter secara langsung diperlukan. Ketika berhadapan dengan situasi sulit, dokter mempertimbangkan nilai-nilai dan keputusan pasien serta keluarga mereka. AI tidak memiliki pemahaman tentang nilai-nilai ini dan tidak dapat membuat keputusan etis dengan cara yang sama seperti manusia.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, salah satu aspek terpenting dalam praktik kedokteran adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien secara manusiawi. Dokter tidak hanya merawat penyakit; mereka juga merawat manusia. Empati dan kemampuan untuk mendengarkan adalah keterampilan mendasar guna membangun hubungan antara dokter dan pasien dengan baik. Pasien sering kali datang untuk mencari dukungan emosional dan validasi ketika mereka menghadapi masalah, khususnya kesehatan.
Alih-alih menggantikan dokter, AI, sebagai salah satu bukti kemajuan teknologi, seharusnya dipandang sebagai “teman” yang memperkuat kemampuan dokter. Dengan menggunakan teknologi AI untuk menganalisis data medis atau membantu dalam diagnosis awal, harapannya, dokter dapat menghemat waktu dan fokus pada aspek-aspek penting dalam melakukan perawatan pasien. Contohnya seperti yang ditunjukkan dalam studi yang dilakukan oleh Dr. Rodman, seorang ahli di bidang kedokteran di Beth Israel Deaconess Medical Center di Boston. Dalam studinya, ia melakukan perbandingan kemampuan diagnosis antara dokter yang menggunakan bantuan ChatGPT-4, salah satu bentuk AI, dengan dokter yang tidak menggunakannya. Hasilnya menunjukkan bahwa dokter yang menggunakan ChatGPT-4 menunjukkan peningkatan kapabilitas dibandingkan dengan dokter yang tidak menggunakan chatbot tersebut meski hanya sedikit. Namun, menariknya, ChatGPT sendiri berhasil mengungguli dokter dengan rata-rata skor 90% dalam mendiagnosis kondisi medis dari laporan kasus dan menjelaskan alasannya. Sementara itu, dokter yang menggunakan chatbot mencatat skor rata-rata 76%, sedikit lebih tinggi daripada mereka yang tidak menggunakannya, yakni di angka 74%.
ADVERTISEMENT
Studi lain juga menunjukkan bahwa AI berhasil memberikan jawaban kepada pengguna sosial media yang mengajukan pertanyaan seputar dunia kesehatan. Studi ini memberikan kesempatan pada pengguna sosial media secara luas untuk melakukan penilaian terhadap dua macam jawaban; dari AI dan dari tenaga kesehatan. Dengan memilih satu dari lima macam jawaban, sangat buruk, buruk, dapat diterima, baik, dan sangat baik, hasilnya menunjukkan bahwa 78% penilaian yang diberikan kepada AI adalah "Baik" dan "Sangat Baik". Berbeda dengan para tenaga kesehatan, mereka hanya mendapat penilaian "Baik" dan "Sangat Baik" sebanyak 22% (Ayers et al., 2023).
AI memang memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam praktik medis, tetapi akan sulit bagi AI untuk sepenuhnya menggantikan dokter. Peran dokter sebagai penyedia layanan kesehatan melibatkan lebih dari sekadar pengetahuan medis dan kemampuan pemahaman tentang pola-pola perawatan medis yang sudah ada; melainkan empati, kompleksitas pengambilan keputusan, serta pertimbangan etika.
ADVERTISEMENT
Alangkah lebih baik jika kita melihat AI sebagai mitra dalam perjalanan menuju dunia kesehatan yang lebih maju, bukan sebagai pengganti dokter. Meskipun AI menunjukkan prospek besar dalam menggantikan profesi dokter dalam segi intelektualitas, pengalaman emosional dan keterhubungan dokter-pasien tetap menjadi hal yang tak tergantikan dalam dunia kedokteran. Kolaborasi antara manusia dan mesin dapat menjadi perkembangan positif dalam dunia kedokteran ketika teknologi tersebut digunakan untuk “menemani” dan mendukung dokter dalam memberikan perawatan terbaik bagi para pasien.
Referensi:
Ayers, J.W., Poliak, A., Dredze, M., Leas, E.C., Zhu, Z., Kelley, J.B., Faix, D.J., Goodman, A.M., Longhurst, C.A., Hogarth, M. and Smith, D.M. (2023). Comparing physician and artificial intelligence chatbot responses to patient questions posted to a public social media forum. JAMA Internal Medicine, [online] 183(6), pp.589–596. doi:https://doi.org/10.1001/jamainternmed.2023.1838.
ADVERTISEMENT
Goh, E., Gallo, R., Hom, J., Strong, E., Weng, Y., Kerman, H., Cool, J.A., Kanjee, Z., Parsons, A.S., Ahuja, N., Horvitz, E., Yang, D., Milstein, A., Olson, A.P.J., Rodman, A. and Chen, J.H. (2024). Large Language Model Influence on Diagnostic Reasoning. JAMA Network Open, 7(10), p.e2440969. doi:https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2024.40969.