Konten dari Pengguna

Perpaduan Budaya Lokal dan Tren Korea, Apakah Kita Kehilangan Jati Diri?

Gabriella Sharon Budiman
Siswa SPK SMAK Penabur Kelapa Gading
25 November 2024 16:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gabriella Sharon Budiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Globalisasi merupakan faktor utama masuknya budaya Korea ke Indonesia. Dengan semakin mudahnya akses internet masyarakat umum dengan cepat mengonsumsi konten-konten Korea melalui berbagai platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube. Awal mulanya, budaya Korea hadir di Indonesia sebagai hiburan yang menyenangkan. Dari drama Korea, musik K-Pop, fashion, sampai makanannya. Orang-orang Indonesia pun mulai menggunakan budaya Korea sebagai inspirasi sehari-hari mereka dalam gaya hidup. Artis-artis Korea juga sering menjadi panutan karena kerja keras mereka yang luar biasa. Penggemar menjadi terinspirasi untuk menjadi lebih disiplin, rajin, dan bahkan belajar bahasa Korea karena pengaruh idolanya. Memang benar sih, fenomena ini sebenarnya memberikan warna baru untuk kehidupan masyarakat Indonesia. Kita justru mendapatkan pemahaman tentang budaya, gaya hidup, dan nilai-nilai Korea. Ini membuat masyarakat, terutama generasi muda, lebih toleran dan menghargai perbedaan.
ADVERTISEMENT
Dari sinilah gelombang Korea membawa dampak besar bagi ekonomi Indonesia dengan membuka banyak peluang bisnis baru. Restoran ala Korea seperti tempat makanan yang menyediakan menu Korean BBQ atau jajanan khas Korea berkembang pesat di berbagai kota. Minat pada merchandise K-Pop juga meningkat, seperti lightstick, album, dan pernak-pernik lainnya. Didukung juga oleh acara-acara konser dan fanmeeting yang menghasilkan keuntungan besar. Selain itu, kursus bahasa Korea dan kelas K-Pop dance cover menjadi kesempatan bagi pengajar bahasa Korea dan pelatih nari. Bisnis lokal pun memanfaatkan tren ini dengan memasarkan produk bertema Korea, contohnya Wardah, brand kecantikan lokal yang meluncurkan produk dengan tema “glowing look” yang terinspirasi dari tren kecantikan Korea.
Namun, di balik semua dampak positif ini, ada sisi lain dari tren budaya Korea yang perlu kita perhatikan. Ada juga efek negatif yang mulai terasa, terutama yang berkaitan dengan hilangnya nilai-nilai budaya lokal. Sekarang, setiap sekali saya masuk ke supermarket, ada sesuatu yang terasa mengganggu. Misalnya, waktu saya di lorong mi instan, semuanya terpisah dengan jelas, mi instan Korea di bagian Korea dan mi instan Indonesia di bagian Indonesia. Tapi yang bikin saya heran, di bagian mi instan Indonesia malah ada varian Korea juga. Indomie, produk kebanggaan nasional, dari mi instan rasa soto hingga rendang, sekarang muncul Indomie Korean Series. Pada saat ini hampir semua makanan Indonesia yang tadinya terkenal dengan rasa autentiknya malah harus bersaing dengan versi Korea yang bagi beberapa orang lebih menggugah selera. Sebenarnya, apa yang sudah kita lakukan dengan makanan asli kita? Saya tidak tahu, tetapi menurut saya ini lebih dari sekedar pengaruh tren, kita sudah mencapai tahap krisis identitas.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya soal makanan, ada lagi hal yang cukup mengganggu saya temui di media sosial. Ketika sedang mencari kebaya untuk dijual atau disewa, saya seringkali melihat kebaya dengan desain yang jauh dari tradisional. Kebaya yang seharusnya menjadi simbol budaya Indonesia, kini diubah menjadi kebaya versi Korea. Desainnya lebih modern, potongannya lebih sederhana, dan ada aksen gaya Korea. Padahal kebaya sendiri mempunyai makna mendalam dalam budaya Indonesia, tapi dengan adanya eksistensi kebaya versi Korea, banyak orang lebih tertarik untuk mengenakan kebaya yang lebih kekinian dibandingkan dengan kebaya asli yang penuh makna. Bayangkan sebuah kebaya yang menjadi simbol pakaian tradisional perempuan Indonesia, kini diperkenalkan sebagai kebaya ala Korea. Apakah kita begitu mudahnya terpikat oleh segala hal yang berlabel Korea, sehingga nilai-nilai lokal tergeser oleh tren luar negeri?
ADVERTISEMENT
Saya tidak bisa menahan frustasi karena kita mulai kehilangan jati diri sebagai bangsa yang kaya akan budaya di balik popularitas tren Korea yang menyebar. Apa artinya kalau hampir setiap mi instan yang ada di rak sekarang berlabel “Korean” dan menggantikan mi khas Indonesia yang sudah bertahun-tahun mendunia seperti Indomie atau MieSedap? Lalu, kebaya yang awalnya adalah simbol kebanggaan, sekarang justru terkesan lebih seperti barang yang perlu disesuaikan agar cocok dengan tren luar negeri. Hal ini sangat menyedihkan, budaya lokal kita, yang seharusnya dibanggakan, justru mulai dianggap ketinggalan zaman jika dibandingkan dengan segala hal yang berbau Korea. Mungkin inilah yang disebut krisis identitas, ketika kita rasa bangga terhadap warisan kita memudar dan lebih tertarik pada hal-hal yang datang dari luar. Saya jadi bertanya-tanya, akan sampai titik mana kita akan terus tenggelam dari pengaruh luar negeri? Apakah kita benar-benar ingin mengorbankan identitas kita sebagai bangsa yang penuh akan budaya? Saya merasa ini adalah sesuatu yang kita harus sungguh pikirkan sebelum semua yang kita miliki hilang.
Foto MieSedap (mi instan produk Indonesia) dengan varian Korean Spicy Soup. Foto dari penulis.
Saat ini, kita sedang menghadapi fakta bahwa budaya dan produk lokal mulai tergerus oleh pengaruh luar. Tapi apakah itu artinya kita harus menyerah? Tentu tidak. Justru globalisasi bisa menjadi peluang untuk memperkenalkan budaya kita kepada dunia dengan cara yang inovatif. Bukannya kita perlu menolak modernisasi, tetapi harus mengemas budaya lokal dengan cara yang tetap autentik namun menarik bagi generasi masa kini. Misalnya, bagaimana kebaya bisa tetap elegan tanpa kehilangan makna budaya, atau bagaimana makanan khas Indonesia bisa dikembangkan dengan tetap mempertahankan cita rasanya. Kita harus selalu ingat untuk lebih mencintai dan melestarikan budaya sendiri, sambil tetap terbuka terhadap pengaruh luar yang positif. Karena pada akhirnya sekuat apapun pengaruh global, identitas bangsa yang kokoh adalah fondasi untuk terus maju di tengah arus dunia yang semakin tak terbatas.
ADVERTISEMENT