Konten dari Pengguna

Indikator Penting Bagi Para Pelaku Bisnis Ritel Fashion di 2019

Gabstersays
GABSTER Fashion Consulting adalah perusahaan konsultasi fashion pertama di Indonesia yang memberikan servis dari A-Z di bidang fashion: mulai dari desain, produksi, kolaborasi, marketing, hingga pemasaran ke luar negeri. Selain itu, GABSTER juga membarikan insight, berita fashion terkini, dan membangun komunitas fashion di Indonesia.
11 Juli 2019 1:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gabstersays tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Toko fisik Sheridan&Co (foto: pinterest.id)
zoom-in-whitePerbesar
Toko fisik Sheridan&Co (foto: pinterest.id)
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu ingin membeli sesuatu, misalnya sepatu, namun tidak punya waktu untuk pergi ke department store atau factory outlet? Lalu apa yang kamu lakukan untuk memenuhi kebutuhanmu? Mungkin membelinya secara online menjadi pilihan yang terbaik. Cukup membuka aplikasi atau laman web, pilih yang kamu mau beli, lalu bayar. Mudah dan efektif, bukan?
ADVERTISEMENT
Hal tersebut mendekatkan para pembeli dan penjual, memudahkan transaksi dan menghemat waktu. Namun dengan maraknya toko online, bagaimana nasib toko retail? Apakah mereka kehilangan pembelinya?
Dough Stephens (foto: inmarforum.com)
Dough Stephens, dalam buku “Reengineering Retail”, menulis bahwa mengukur pertumbuhan suatu industri berdasarkan jumlah toko, penjualan per satuan luas, dan laba kotor atas investasi (Gross return on investment) bukanlah cara yang tepat untuk membahas kontribusi toko fisik terhadap kemajuan bisnis. Hal tersebut bisa menghasilkan penilaian yang salah dan berdampak buruk pada toko. Untuk menangani masalah ini, beberapa merek mulai menggabungkan sebagian bahkan seluruh hasil penjualan online dengan penjualan di toko-toko. Walaupun memberi gambaran yang lebih luas terhadap pertumbuhan toko, hal ini tetap bisa menghasilkan penilaian yang kurang tepat.
Para pekerja di bidang media (foto:id.wikipedia.org)
Bagaimana solusinya? Ada satu lagi tolak ukur yang dapat diperhitungkan, yaitu media value.
ADVERTISEMENT
Dahulu, sebelum koran, radio, dan televisi diciptakan, pasar merupakan media utama bagi masyarakat untuk berkumpul dan berbagi kabar terkini, baik tentang pemerintahan, nilai jual, atau hal-hal baru pada masa itu. Saat ini, orang memang tidak lagi berkumpul di tempat fisik seperti pasar, namun mereka berkumpul dalam jaringan media digital. Hal ini membuat media digital menjadi tempat yang luas dan efektif untuk menjangkau para konsumen. Dari sini, timbul masalah lain. Pengunjung bisa dengan mudah menghentikan dan membersihkan iklan yang muncul di suatu laman web, sehingga sulit untuk meninggalkan impresi bagi calon pembeli yang melihat iklan tersebut.
Papan iklan menjadi salah satu media pemasaran (foto: merdeka.com)
Pemasaran lewat berbagai media seperti laman web, sosial media, media cetak, atau papan iklan memerlukan biaya yang dapat dikatakan tak terhingga. Namun bukan itu kunci utama mendapatkan pelanggan. Hubungan antarpelanggan maupun pelanggan dan penjual di toko fisik juga mengambil peran penting dalam proses pemasaran yang harus diperhitungkan. Walaupun dengan maraknya berbagai media, masih ada toko fisik yang menjadi tempat berkumpul orang-orang. Toko seperti ini bisa ditemukan di New York, London, bahkan Tokyo. Bahkan faktanya, toko fisik tersebut menjadi media yang paling dapat diatur dan diukur, sebab penjual dapat berhubungan dan berbagi langsung dengan pengunjung toko dan dengan begitu, dapat mengukur secara langsung kepuasan konsumen. Selain itu, para konsumen atau pengunjung toko bisa saling bertukar informasi tentang toko, merek, atau tipe barang lainnya. Jadi hal inilah yang harus dimasukkan dalam tolak ukur pertumbuhan industri, yaitu toko fisik sebagai media pemasaran.
ADVERTISEMENT
Lalu muncul pertanyaan berikutnya, berapa nilai yang pantas untuk tolak ukur di atas? Ada 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu impresi konsumen dan ukuran kualitas dari impresi tersebut. Untuk bisa menilai kedua hal di atas, pihak internal perusahaan perlu menentukan asumsi nilai yang tepat untuk setiap impressi dari pelanggan yang datang ke toko mereka. Tidak seperti jumlah keuntungan atau jumlah barang yang terjual, nilai ini hanya diperlukan untuk disetujui dan diperhitungkan sebagai tolak ukur yang pantas dan nyata, bukan untuk dimasukkan dalam laporan keuangan triwulan toko. Contohnya, biaya iklan di sebuah laman internet adalah 80 sen per impresi atau per klik, asumsi nilai impresi pelanggan toko fisik adalah 10 kali lipatnya, maka nilai impresi dari 1 pelanggan toko fisik adalah $8.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bagaimana menentukan apakah impresi yang didapatkan positif atau negatif? Menurut Stephens, ukuran kualitas yang paling memungkinkan untuk dipraktikkan adalah sistem yang bernama Net Promoter Score (NPS). Secara sederhana, jika NPS bernilai positif maka dapat diasumsikan bahwa impresi dari toko tersebut berkontribusi positif terhadap rantai perdagangan perusahaan, dan sebaliknya jika NPS bernilai negatif. Nilai NPS ini ditambahkan ke nilai penjualan toko tersebut dan menjadi nilai akhir dari toko tersebut. Misalkan toko A menghasilkan $5 juta dengan impresi positif $3 juta, maka toko A bernilai $8 juta. Sedangkan toko B menghasilkan $6 juta namun impresi negatif $2 juta, maka toko B bernilai $4 juta. Secara sekilas dari perhitungan di atas, toko A ternyata lebih berkontribusi dalam rantai ekonomi perusahaan dibandingkan toko B, meski penjualannya lebih sedikit. Impresi ini walaupun bukan nilai nyata, namun memegang peran penting dalam mendatangkan dan menjaga kesetiaan konsumen. Dengan nilai tersebut pihak perusahaan dapat menentukan dengan lebih tepat toko mana yang lebih baik, atau bahkan mana yang perlu ditutup.
ADVERTISEMENT
Sumber: www.businessoffashion.com
Katarina Anggiasinta - GABSTER Fashion Consulting