Konten dari Pengguna

Perang Dagang Antara Amerika Serikat dengan China & Efek Bisnis Ritel

Gabstersays
GABSTER Fashion Consulting adalah perusahaan konsultasi fashion pertama di Indonesia yang memberikan servis dari A-Z di bidang fashion: mulai dari desain, produksi, kolaborasi, marketing, hingga pemasaran ke luar negeri. Selain itu, GABSTER juga membarikan insight, berita fashion terkini, dan membangun komunitas fashion di Indonesia.
11 Juli 2019 1:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gabstersays tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden AS (kiri) dan Presiden China(kanan) saling berjabat tangan (foto: nusantara.news)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden AS (kiri) dan Presiden China(kanan) saling berjabat tangan (foto: nusantara.news)
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak hanya menjadi ancaman bagi pihak pemerintahan Tiongkok, namun juga memengaruhi pihak-pihak swasta. Selama bertahun-tahun, banyak perusahaan Amerika, terutama industri fashion yang mendirikan pabrik di Tiongkok karena ketersediaan bahan dan tenaga kerja yang cukup melimpah. Saat ini perusahaan-perusahaan tersebut masih menanti hasil pertemuan Presiden Trump dan Xi Jinping di Osaka yang membahas adanya ancaman tarif $300 miliar untuk barang buatan Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Sean Coxall, presiden solusi di manajer rantai pasokan yang berbasis di HongKong mengatakan bahwa hal ini menimbulkan rasa panik, khususnya pada fashion sbagai salah satu sektor yang paling rentan terkena dampak. Ancaman tarif ini mendorong beberapa merek untuk memindahkan pabriknya ke negara-negara di Asia Tenggara dan Selatan, bahkan sebelum perang dagang dimulai, di antaranya adalah Crocs, Ralph Lauren, Uniqlo, dan Calvin Klein.
Mata uang USD (fot: s4m.io)
Menurut Matt Priest, presiden Footwear Distributors and Retailers of America, kenaikan tarif untuk barang Tiongkok yang masuk ke Amerika menyebabkan hanya ada 2 pilihan terbaik, yaitu memindahkan pabrik atau menghentikan produksi, hal ini karena kenaikan tarif berimbas pada kenaikan upah pekerja, biaya transportasi, akses ke pelabuhan, dan khususnya kapasitas produksi. Beberapa perusahaan, khususnya perusahaan sepatu sedang berjuang untuk memindahkan pabriknya dari Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Pemindahan pabrik ini menambahkan nilai eskpor di sektor pakaian bagi negara-negara terpilih. Berdasarkan Trade Map and Fitch Solutions, pada tahun 2018, ekspor pakaian global mencapai mencapai $36,9 miliar untuk Bangladesh dan $30,3 miliar untuk Vietnam, dan $15,7 miliar untuk India.
Meski terkesan mengerikan untuk merek dari Amerika, namun rupanya perang dagang ini tidak menakutkan bagi produsen asal Tiongkok. Produsen Tiongkok telah merampingkan pasarnya dan lebih berfokus pada peningkatan teknologi dan inovasi, sehingga mereka lebih maju dari negara lain. Dengan begitu, tarif yang dikenakan oleh pemerintah AS akan diteruskan ke merek dan konsumen. Hal ini menguntungkan produsen Tiongkok karena infrastruktur di negara lain di Asia belum mampu menyamai teknologi mereka.
ADVERTISEMENT
Inilah beberapa negara yang dapat dijadikan sebagai produsen alternatif agar tidak terkena dampak perang dagang,
Vietnam
Toko fisik Uniqlo pertama di Vietnam (foto: DTiNews.vn)
Vietnam merupakan salah satu negara yang paling mumpuni untuk menjadi negara produsen pakaian pengganti Tiongkok. Predikat itu diberikan oleh Natixis SA berdasarkan faktor-faktor penting seperti upah, peringkat Bank Dunia, dan logistik. Selain karena pekerja yang terampil dan upah yang lebih rendah dari Tiongkok ($216 per bulan), Vietnam memiliki perdagangan bebas dengan berbagai negara pasar akhir seperti Australia, Kanada, Jepang, dan Singapura. Posisi negara yang berbatasan darat dengan Tiongkok juga memudahkan pemenuhan bahan baku. Menurut Priest, Vietnam adalah produsen alas kaki terbaik di Asia, bahkan Uniqlo telah memindahkan produksi alas kakinya dari Bangladesh ke Vietnam.
ADVERTISEMENT
Bangladesh
Pabrik pakaian di Bangladesh (foto: businessoffashion.com)
Selain Vietnam, Bangladesh juga menjadi salah satu negara terfavorit untuk memproduksi pakaian. Selain upah pekerja yang hanya $95 per bulan, kedatangan berbagai mesin canggih dan mahal serta pelatihan tenaga kerja yang meningkat juga turut meningkatkan kualitas produksi pakaian di Bangladesh. Meski begitu produksi di Bangladesh masih lebih lambat dari Vietnam karena mayoritas bahan baku masih harus diimpor dari Tiongkok.
Kamboja
Kamboja (foto: uangindonesia.com)
Di Asia Tenggara ada juga Kamboja yang 80 persen pendapatan ekspor nasionalnya berasal dari industri pakaian. Nilai tersebut menyebabkan pemerintah menerapkan kebijakan yang menguntukan di industri pakaian, salah satunya adalah pembebasan bea masuk atas mesin dan peralatan. Menurut Priest, walaupun tidak sebaik Vietnam, Kamboja tetap tumbuh dengan pesat karena berbagi pelabuhan dengan Vietnam, serta pekerja mereka diperlakukan dengan sangat baik. Penyebab lain kemajuan Kamboja dalam industri pakaian adalah penuhnya lahan di negara Vietnam, sehingga sebagian dialihkan ke Kamboja sebagai negara yang berbatasan langsung.
ADVERTISEMENT
Meksiko
Meksiko (foto: international.sindonews.com)
Tidak hanya di negara Asia, benua Amerika juga menjadi pilihan untuk pabrikan pakaian Amerika Serikat, khususnya sepatu. Negara itu ada di sisi Selatan AS, yaitu Meksiko. Kota-kota basis manufaktur pakaian sebagai Tijuana dan Ensenada berjarak kurang dari 150 mil dengan kota besar AS, Los Angeles. Meksiko juga memiliki upah pekerja dan biaya listrik yang jauh lebih murah dibandingkan Tiongkok. Namun sayangnya menurut Li & Fung, teknologi di Meksiko masih tertinggal dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara, ditambah lagi bahan baku yang kebanyakan masih berasal dari Asia. Priest mengatakan bahwa beberapa anggota perusahaannya memperimbangkan untuk pindah ke Meksiko, namun kemudian presiden Trump malah mengancam tarif Meksiko juga, sehingga pilihan itu bukanlah pilihan yang baik.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Amerika Serikat, bukankah Amerika Serikat adalah negara asal bagi merek-merek yang terkena dampak perang dagang? Mengapa tidak kembali ke Amerika? Pilihan pembangunan pabrik di Asia, khususnya China tidaklah sembarangan, pastinya ada banyak pertimbangan khususnya di sektor ekonomi. Dengan memindahkan pabrik ke Amerika Serikat, upah minimum pekerja jauh lebih tinggi, dan kemudian harga akan melambung tinggi. Menurut Priest data menunjukkan bahwa konsumen belum tentu mau membayar lebih tinggi untuk hal itu. Selain itu, bahan baku atau komponen juga menjadi masalah karena pabrik-pabrik di Amerika saat ini masih mengimpornya dari Tiongkok. Bagi Priest, produksi di AS hanya menjadi fantasi, dan karena faktor-faktor di atas, presiden Trump pun tidak dapat mengubah kondisi ini.
ADVERTISEMENT
Katarina Anggista - GABSTER Fashion Consulting