Konten dari Pengguna

Kenapa Saya Lebih Mudah Menghayati Jumat Agung Tahun Ini

10 April 2020 17:34 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gadi Makitan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang berdoa. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang berdoa. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, fokus saya saat peringatan Jumat Agung adalah bagaimana caranya bisa sampai di gereja tiga jam sebelum ibadah. Ini supaya: satu, dapat tempat parkir, dua, kebagian tempat duduk di dalam gereja (soalnya di dalam lebih sejuk, ada AC).
ADVERTISEMENT
Tahun ini, dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta, ibadah Jumat Agung di Katedral Jakarta saya ikuti lewat live streaming. Maka, parkir dan tempat duduk di dalam gereja bukan lagi masalah.
Tapi ada satu perasaan yang muncul ketika kamera diarahkan ke tempat duduk jemaat, dan yang saya lihat adalah tempat yang kosong. Tak ada umat sama sekali. Rasanya sedih.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba saya tersadar: saya tidak sendirian. Di saat yang sama, ratusan ribu umat Katolik lainnya sedang berdoa bersama saya. Mereka-mereka yang mungkin juga sedih tidak bisa ada di gereja memperingati Jumat Agung. Maka perasaan yang lain lagi muncul menggantikan kesedihan: solidaritas.
Dan buat saya, Jumat Agung memang punya makna solidaritas. Kami umat Kristiani meyakini, bahwa Tuhan telah menjadi manusia, ikut merasakan penyakit-penyakit umat-Nya--ketidakadilan, ketidakpedulian, diskriminasi, kebohongan, kebencian, persekongkolan, pengkhianatan, kesepian, dan pada puncaknya: kematian.
ADVERTISEMENT
Dan ini yang indah dari sikap solidaritas: kesatuan. Tuhan menyatu dengan umat-Nya. Kalau begitu, bukankah umat-Nya pun seharusnya merasa satu? Penderitaan yang dirasakan satu manusia, semestinya ikut dirasakan umat yang lain. Harapan yang dirasakan satu manusia, seharusnya menjadi harapan semuanya.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, rasa solidaritas itu bisa menjadi kekuatan saya untuk tetap di rumah. Setiap saat saya nggak terima dengan keadaan ini, saya mengingat mereka: tenaga medis yang entah sudah berapa lama tak bisa bertemu orang tersayang, atau orang-orang yang terpaksa di-PHK dan dirumahkan karena perusahaan kesulitan keuangan.
Berapa lama penderitaan mereka akan berlangsung tergantung pada selesainya wabah ini. Dan, selesainya wabah ini, salah satunya, tergantung pada kesediaan saya, dan kalian semua, untuk tinggal di rumah.
ADVERTISEMENT
Maka, kalau kita enggak bisa membantu mereka secara langsung, setidaknya kita ikut berusaha supaya wabah ini tidak berlangsung lebih lama. Harapan mereka supaya epidemi ini segera berlalu adalah juga harapan kita.
Selamat Jumat Agung, Tuhan memberkati kita semua.