Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Monogami atau Poligami: Menyoal Kepastian dan Perlindungan Hukum
14 Maret 2023 18:40 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Gagad Enjang Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam Islam, lelaki diperbolehkan poligami, tetapi dengan syarat tertentu. Dalil poligami bisa ditemui dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surat An-Nisa ayat 3 yang selengkapnya berbunyi:
ADVERTISEMENT
Dan kenyataannya, masyarakat hanya memahami poligami pada aturan yang sepotong-sepotong, yakni Islam membolehkan poligami, tanpa memahami persyaratan-persyaratan. Pembenaran dasar poligami ini tentu saja adalah cara Nabi Muhammad. Beliau menikah untuk pertama kalinya di usia yang ke-25 tahun sedangkan isterinya bernama Siti Khatijah berstatus janda berusia 40 tahun. Beliau sangat mencitai istrinya. Beliau menikah lagi setelah Siti Khadijah meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Istri-istri Nabi Muhammad selanjutnya adalah janda-janda tua. Yang ditinggal mati oleh suami di medan perang. Nabi menikahi perempuan tersebut untuk menjaga harkat dan martabat mereka. Hanya sekali saja Nabi menikahi seorang gadis yang dinikahinya berusia sangat belia. Istri Nabi tersebut bernama Siti Aisyah yang merupakan putri sahabat Nabi bernama Abu Bakar as-Shiddiq. Nabi menikahi putrinya untuk menguatkan iman Abu Bakar dan untuk kepentingan Dakwah.
Lelaki muslim banyak mengkhianati cintanya dengan alasan mengikuti sunnah Nabi, yaitu berpoligami. Mereka membuat alasan mengikuti sunnah Nabi tetapi sesungguhnya mereka menjadikan alasan itu hanya sekedar memuluskan jalan berpoligami mereka. Lihatlah umumya mereka yang berpoligami dengan menikahi gadis-gadis yang masih muda dan lebih cantik dari istri sebelumnya. Dan kalau mereka itu mengaku mengikuti sunnah Nabi, mengapa mereka tidak menikahi janda-janda tua atau anak-anak yatim yang butuh perlindungan?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian di atas, masyarakat harus mengetahui secara esensi makna poligami. Bahwa di UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan) menganut asas monogami. Namun, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang. Akan tetapi, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Kemudian pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama agar terjaminnya kepastian hukum dan ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Jika tidak mendapatkan izin dari pengadilan, maka walupun sah menurut hukum agama, perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama tersebut tidak diakui oleh negara atau tidak mempunyai kekuatan hukum. Permohonan izin dimaksud menjadi penting agar memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi suami, istri dan anak-anak, serta memberikan jaminan dan perlindungan hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan.
ADVERTISEMENT
Tetapi poligami tetaplah bermartabat dibandingkan dengan menggauli perempuan tanpa menikahinya. Sebab menggauli perempuan tanpa menikahinya sama saja dengan mentelantarkan perempuan tersebut dan mungkin anak yang dilahirkan kelak adalah "anak zina" atau "anak sumbang" yang merupakan anak yang lahir dari perkawinan lain dan tidak diakui negara. Dan yang paling nyata adalah menelantarkan perempuan di depan hukum dunia. Jadi, boleh pendapat yang mengatakan bahwa poligami adalah jalan memartabatkan perempuan, ada juga benarnya dan tentu dengan memperhatikan undang-undang guna memberikan kepastian dan perlindungan hukum.