Konten dari Pengguna

Pokok-pokok Pikiran Mengenang Kepenyairan dan Pemikiran Chairil Anwar

Gagar Asmara
Sarjana Psikologi. Calon Linguis. Penulis syair, puisi, dan prosa di gagarasmara.tumblr.com. Humanis, eksistensialis, dan naturalis.
25 Mei 2017 12:05 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gagar Asmara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi pecinta sastra atau pemerhati kesusastraan dan kepenyairan di Indonesia, nama Chairil Anwar tentu tidak asing di telinga. Bahkan saya berani menjamin tidak ada satu generasipun di Indonesia ini yang asing terhadap nama Chairil Anwar. Jika ada, kita anggap mereka belum mengenal bangsa ini sepenuhnya atau terlampau termakan arus global yang tidak mengenal kata istirahat.
ADVERTISEMENT
Jika kita menyebut Chairil, ingatan yang pertama kali menyalang adalah soal sajak “Aku” yang merupakan simbol pemberontakkan dan perwujudan amarah Chairil sebagai manusia dan tentu sebagai penyair. Saya tidak akan banyak memberikan pandangan terkait proses mengenang Chairil. Karena apa yang saya tuliskan di sini bersifat kumpulan catatan pokok-pokok pikiran—yang mungkin tidak bisa saya susun sepenuhnya secara runut dan tidak saling berkorespondensi—dari pembicara-pembicara yang tentunya lebih dalam memahami kepenyairan dan pemikiran Chairil. Mereka adalah Hasan Aspahani, Mursidah, Ibnu Wahyudi (Iben), Achmad Sunjayadi, Sunu Wasono, serta Sapardi Djoko Damono.
Pokok Pertama: “Ini” dan “Itu” dalam Sajak-sajak Chairil Hasan Aspahani, sebagai penyair sekaligus wartawan, memilih menelusuri kepenyairan dan pemikiran Chairil melalui sudut pandang jurnalistik. Ia menyatakan, terdapat sebuah artikel yang terbit satu hari setelah kematian Chairil; tanpa nama jelas, dan diduga sangat paham dengan sosok Chairil—baik sebagai pribadi maupun sebagai penyair—dan fasih betul dengan dunia persajakan. Dalam artikel itu, saya menyatakan kata ini dan itu, sebagai kata penunjuk atau sebagai frasa yang menunjukkan subyek (?), pertama kali digunakan dan dipopulerkan oleh Chairil, dan menjadi populer di kalangan sastrawan satu angkatan dengan Chairil (masa-masa angkatan ’45).
ADVERTISEMENT
Mari kita lihat beberapa penggalan puisi Chairil: Ini muka penuh luka (Selamat Tinggal, 1943), ini barisan tak bergenderang-berpalu (Diponegoro, 1943), kita jalani ini jalan (Ajakan, 1943), ini sepi terus ada. Menanti, menanti (Hampa, 1943), ini ruang gelanggang kami berperang (di Mesjid, 1943), ini malam purnama akan menembus awan (Kita Guyah Lemah, 1943), itu tubuh mengucur darah, mengucur darah (Isa, 1943), ini kali tidak ada yang mencari cinta (Senja di Pelabuhan Kecil, 1946).
‘Ini muka’ dalam petikan sajak di atas merupakan bentuk tatanan bahasa yang tidak lazim. Lazimnya adalah 'muka ini’. Dalam tatanan bahasa Indonesia, lazimnya frasa selalu mengandung tatanan bahasa DM (diterangkan-menerangkan), bukan MD (menerangkan-diterangkan).
Jika kita ubah petikan sajak Chairil berjudul Diponegoro menjadi, 'barisan ini tak bergenderang-berpalu’ maka tatanan bahasanya adalah benar, karena frasa 'barisan ini’ mengandung tatanan DM. Bukan 'ini barisan tak bergenderang-berpalu’ karena frasa ini barisan mengandung tatanan MD. Tatanan bahasa seperti ini, seringkali digunakan oleh Chairil dalam sajak-sajaknya, dan diikuti pula penggunaannya oleh kalangan sastrawan  sezamannya.
ADVERTISEMENT
Satu catatan menarik dari peserta diskusi yang mungkin bisa Anda pertimbangkan adalah bahwa 'ini muka’ adalah frasa yang berposisi sebagai subyek dalam penggalan sajak “Selamat Tinggal”. Sedangkan jika diganti tatanan bahasanya (mengikuti yang lazim) menjadi 'muka ini penuh luka’, maka 'muka ini’ terdapat dua posisi yaitu subyek (muka) dan predikat (ini). Hal ini menimbulkan tatanan bahasa dan makna yang berbeda tentunya. Tetapi apa makna sebenarnya yang dimaksud oleh Chairil dalam sajak-sajak yang ia tulis dalam konteks “ini” dan “itu”, tentu perlu kajian-kajian bahasa yang lebih komprehensif untuk menjelaskannya.
Jika di masa sekarang kita mampu menjumpai kalimat 'ini budi’, atau 'ini bapak budi’ dan kita anggap frasa ini sebagai hal yang lazim, maka Chairil sudah mampu mewujudkan tata bahasa baru yang mampu diterima dalam penggunaan tulisan maupun lisan dan melintasi zamannya.
ADVERTISEMENT
Pokok Kedua: Chairil Diajukan Sebagai Pahlawan Nasional Hasan Aspahani menyatakan bahwa sejak kematian Chairil (tahun 1949), puisi “Aku” menjadi viral di kalangan sastrawan pada masa itu, bahkan sampai saat ini. Sajaknya disalin, disebarluaskan, dan dibacakan oleh kalangan sastrawan di beberapa kesempatan. Bahkan di masa-masa revolusi pasca kemerdekaan sebagai bentuk pengobaran semangat. Salah satu bait dalam sajak “Aku” yaitu 'dan aku akan lebih tidak perduli, aku mau hidup seribu tahun lagi!’ disinyalir memiliki makna vitalitas yang kuat. Keinginan yang kuat untuk tetap hidup dalam mempertahankan kemerdekaan, bangsa, dan negara.
Sajak “Aku” juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Di beberapa kesempatan pula dibacakan di hadapan tentara Inggris saat-saat masa revolusi yang membuat mereka merasa bergetar dan merinding ketika mendengarkannya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sajak-sajak seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, dan Persetujuan dengan Bung Karno adalah sajak­-sajak yang bernafaskan perjuangan yang berpengaruh di masa-masa itu (bahkan di masa-masa sekarang). Sumbangsih Chairil inilah yang diperjuangkan oleh perserikatan sastrawan di Sumatera Barat untuk mengajukan Chairil sebagai pahlawan nasional pada tahun 1960 bersama Amir Hamzah.
Namun pada tahun 1975, hanya nama Amir Hamzah yang mendapatkan SK presiden sebagai pahlawan. Sedangkan nama Chairil belum jelas jluntrungannya sampai saat ini. Jika Anda salah satu orang yang mengagumi Chairil dan sajak-sajaknya, dan melihat sumbangsih dalam kesusastraan Indonesia di masa-masa pasca kemerdekaan, tentu Anda akan bertanya-tanya pula: apa yang membuat Chairil tidak pantas dijadikan pahlawan nasional?”
Pokok Ketiga: Laut dan Chairil Mursidah menyatakan bahwa banyak sajak Chairil yang menyinggung soal laut. Beberapa sajak-sajak itu adalah Penghidupan (1942), Kawanku dan Aku (1943), Buat Album D.S. (1946), Cerita Buat Dien Tamaela (1946), Kabar dari Laut (1946), Senja di Pelabuhan Kecil (1946), dan Cintaku Jauh di Pulau (1946). Dalam puisi-puisi yang bertemakan mengenai laut itu, banyak di antaranya—khusus di tahun-tahun menjelang kematiannya—bernada hitam dan biru yang menjadi perlambang dengan kesedihan dan kematian. Mursidah membandingkan sajak-sajak Chairil soal laut dengan penyair asal Belanda—yang juga banyak menyinggung soal laut dan membicarakan kematian—yaitu H. Marsman.
ADVERTISEMENT
H. Marsman adalah seorang Belanda yang menurut beberapa literatur sastra dan peneliti sastra, banyak mempengaruhi pemikiran dan cara-cara Chairil bersajak, termasuk cara pandang Chairil terkait laut. Marsman memandang laut adalah perwujudan kesedihan, kesepian, mengandung bahaya, luas, dan penuh resiko.
Laut adalah harapan yang tidak akan pernah bisa digapai, dan pada akhirnya ia adalah maut yang selalu menantikan dirinya untuk masuk ke dalam pusaran arus di dalamnya. Secara singkat laut diartikan sebagai kematian oleh Marsman. Perlu pembaca ketahui, Marsman meninggal karena kapal yang akan membawanya ke Inggris dan Perancis bagian selatan tertimpa bom, dan seketika ia meninggal sesuai dengan sajak-sajak yang ia tulis sebelum kematiannya.
Berikut beberapa penggal sajak Chairil yang menunjukkan bahwa metafora laut berarti menunjukkan pemaknaan terhadap kesedihan atau kematian:
ADVERTISEMENT
Aku memang benar tolol ketika itu, mau pula membikin hubungan dengan kau; lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu berujuk kembali dengan tujuan biru
(dalam sajak “Kabar dari Laut”, 1946)
Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, dan cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut … … … Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
(dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”, 1946)
Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar. angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak ‘kan sampai padanya. Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata: “Tujukan perahu ke pangkuanku saja,” Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh! Perahu yang bersama ‘kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
ADVERTISEMENT
(dalam sajak “Cintaku Jauh di Pulau”, 1946)
Menurut Mursidah, sajak “Cintaku Jauh di Pulau” merupakan gambaran paling menyedihkan dan menakutkan (membicarakan maut dan kematian) Chairil soal laut. Sajak ini memiliki matafora dan suasana yang sama dengan sajak-sajak karangan H. Marsman. Namun Mursidah menganalisis, terdapat perbedaan cara pandang kehidupan antara Chairil dan Marsman, walaupun keduanya memandang laut sebagai tempat kesedihan dan maut berkumpul serta hal yang tak terhindarkan.
Dalam sajak “Cintaku Jauh di Pulau”, Chairil menunjukkan adanya vitalitas (daya hidup; daya juang) yang lebih tinggi daripada H. Marsman. Chairil memandang bahwa hidup ini adalah sesuatu yang harus terus dan layak diperjuangkan (yaitu ole-ole buat si pacar). Meski akhirnya ia akan berhadapan pada kenyataan pahit bahwa segala perjuangannya akan terhenti karena adanya kematian (angin membantu, laut terang, tapi terasa
ADVERTISEMENT
aku tidak ‘kan sampai padanya. Mengapa Ajal memanggil dulu. Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!) Hal ini berbeda dengan H. Marsman yang memandang hidup ini adalah penderitaan yang panjang dan tidak berkesudahan hingga akhirnya hidup hanya menunggu waktu untuk kematian.
Pokok Keempat: Chairil Ngomong Lewat Puisi Menurut paparan Iben, Chairil tidak akan pernah benar-benar mati. Ia selalu tahu soal bagaimana caranya hidup seribu tahun lagi melalui sajak-sajaknya. Iben menyatakan bahwa Chairil selalu bisa ngomong dengan para sahabat, rekanan, dan beberapa perempuan yang ia sebut-sebut di dalam sajaknya. Bahkan, gaya ngomong Chairil lewat sajak-sajak itu—biasanya dituliskan setelah judul. Misal: untuk nenekanda, untuk Karinah Mardjono, kepada Sri yang selalu sangsi, kepada L. K. Bohang, kepada pemeluk teguh, kepada nasrani sejati, buat tunanganku Mirat, buat Sri Ajati—membuat dirinya berkorespondensi dengan para-para yang ia sebut dan tuju dalam sajak-sajak yang ia tulis. Tetapi, nyatanya, tidak hanya para-para yang ia sebut saja yang merasa mampu ngomong dengan Chairil, tetapi juga generasi sekarang ini, banyak sekali berkorespondensi dengan Chairil yang diwujudkan dengan: (1) terpengaruhnya sajak-sajak yang ditulis oleh para penggemar Chairil, bisa dikatakan mirip dan tidak jauh berbeda penyusunan, pemilihan kata, bait, dan tema-temanya yang sangat Chairil—Chairil’s way. (2) Banyak pula sastrawan setelah generasi Chairil, mencantumkan namanya—nama Chairil—di bawah judul-judul sajaknya. Entah sebagai bentuk apresiasi, rindu, penghormatan, sebagai kawan, sebagai guru, ya entah. Kedua hal tersebut menandakan bahwa Chairil belum atau tidak akan pernah mati dalam arus kesusastraan Indonesia. Ia mungkin akan selalu hidup dalam hati dan pikiran orang-orang yang selalu membicarakan dirinya. Seribu tahun dari 1949 masih lama, ya, Chairil. Semoga engkau masih belum bosan ngomong sama kami!
ADVERTISEMENT
Pokok Kelima: Bohemian dan Parlente-nya Chairil Dalam diskusi ini, dibahas juga mengenai gaya hidup Chairil yang selalu menjadi mitos di kalangan generasi sesudahnya. Mitos mengatakan bahwa Chairil adalah seorang bohemian. Hal tersebut—menurut Hasan Aspahani—tidak sepenuhnya benar.
Bohemian adalah orang yang memiliki gaya hidup bebas seperti kebanyakan seniman; orang yang hidup mengembara dan tidak teratur serta tidak memikirkan masa depannya (KBBI, 2017). Menurut Hasan Aspahani, Chairil adalah seorang yang rapi dan parlente. Penampilannya selalu necis dan modis. Hal ini diaminkan oleh Achmad Sunjayadi—yang menilik kepenyairan dan pemikiran Chairil melalui kronologi sejarah—bahwa hal pertama yang dilakukan Chairil ketika menginjak kota Batavia—nama Jakarta saat itu—adalah memesan satu setel jas untuk dikenakannya menghadiri acara-acara seni atau pesta demi bisa bergaul—walau tujuan Chairil bergaul di masa-masa awal ia datang ke Batavia adalah meminjam buku untuk dibaca dan mencari pekerjaan untuk hidup dengan ibunya. Keparlentean Chairil ini menepis anggapan bahwa Chairil adalah laki-laki lusuh dan tidak beraturan dalam berpenampilan.
ADVERTISEMENT
Penolakan mitos bahwa Chairil adalah seseorang yang bohemian juga diaminkan oleh Achmad Sunjayadi. Ia berkata bahwa, Chairil memang suka mengembara, tetapi bukan hidup mengembara. Ia menetap di Jakarta, terpaksa diminta pindah ke Kerawang oleh Sutan Sjahrir karena keadaan ibukota tidak aman saat itu.
Achmad Sunjayadi meneliti dan menyimpulkan, ada salah satu sajak Chairil yang mampu menjelaskan bahwa Chairil memang suka melakukan perjalanan-perjalanan yang mirip dengan pengembaraan. Berikut adalah puisinya:
kami jalan sama. Sudah larut menembus kabut. hujan mengucur badan. berkakukan kapal-kapal di pelabuhan. darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat. siapa berkata? lawanku hanya rangka saja karena dera mengelucak tenaga. dia bertanya jam berapa! sudah larut sekali! hingga hilang segala makna dan gerak tak punya arti
ADVERTISEMENT
(Kawanku dan Aku, 1943)
Sajak Chairil di atas ditujukan kepada L. K. Bohang, kawan seperjalanannya melawat dari Batavia hingga Batang, Jawa Tengah. Tidak jelas menggunakan apa mereka dari Batavia ke Batang. Jelasnya, Chairil dan L. K. Bohang melakukan lawatan tersebut karena keinginan Chairil dalam menuntaskan segala pemikirannya soal hidup.
Tambahan dari saya (soal kegemaran Chairil mengambara), dalam buku “Derai-derai Cemara”, Asrul Sani—dalam kata pembuka di buku itu—berkata bahwa Chairil adalah orang yang kuat jalan. Dari pagi sampai pagi lagi. Berikut kutipan lengkapnya:
“Chairil tidak kenal waktu datang ke rumah. Saya tinggal di jalan Mampang, kini bernama jalan Cik di Tiro. Beberapa kali dia datang pukul 3 pagi, pada saat orang sedang lelap-lelapnyanya tidur. Dia tarik tangan saya, lalu diajaknya jalan. Dia kuat jalan, dari pagi sampai pagi lagi. Sepanjang jalan dia ngomong terus. Bayangkanlah betapa penatnya badan.”
ADVERTISEMENT
Dari kedua paparan di atas, yang patut diluruskan bahwa Chairil memang gemar mengembara, tetapi bukan pengembara yang tidak memiliki tetap tinggal tetap dan berpindah-pindah seperti bohemian.
Selanjutnya, menilik pengertian definisi bohemian menurut KBBI yang sudah saya tuliskan di paragraf sebelumnya, bahwa seorang bohemian tidak memikirkan masa depannya. Ini bukan dan tidak tercermin sama sekali dalam diri Chairil. Ia adalah seorang yang punya pandangan ke depan. Sunu Wasono dalam paparannya menyatakan bahwa, Chairil adalah seorang yang memiliki jiwa pembaharu dalam kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Kalau memang Chairil adalah seorang yang berpikiran mundur, sajak-sajaknya tidak akan berani untuk keluar dari aturan-aturan angkatan poedjangga baroe. Terkait jiwa pembaharu yang dimiliki Chairil, Sapardi Djoko Damono menambahkan bahwa, Amir Hamzah adalah seorang pujangga era poedjangga baru yang sajak-sajaknya mengacu pada sajak-sajak Harry Sinclair Lewis, pemenang nobel sastra tahun 1930. Padahal era poedjangga baru dimulai pada tahun 1933, artinya acuan-acuan sastra angkatan poedjangga baru adalah “kemunduran” (karena mengacu pada tahun 1930).
ADVERTISEMENT
Tambahan dari saya, masih mengacu pada buku “Derai-dera Cemara” dan kesaksian Asrul Sani menyatakan bahwa Chairil dengan jiwa penuh seluruh mengabdikan dirinya sebagai pelaku kebudayaan sekaligus pembaharu kesusastraan Indonesia. Berikut tulisan Asrul Sani:
“Satu setengah tahun kami merancang cita-cita untuk membuat kumpulan puisi itu. Gagasan itu muncul pada saat kami akan menegakkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Semula kami akan menjadikan Gelanggang sebagai suatu kumpulan kesenian, sebagai kunstkring. Tapi pada pertukaran pikiran selanjutnya, terasa bahwa yang dibutuhkan bukan Cuma satu kumpulan, tetapi juga satu angkatan. Angkatan yang tidak saja harus ada, tetapi juga harus mempunyai pandangan hidup. Satu tujuan.”
Ia—Chairil—dan kawan-kawan satu angkatannya (termasuk Asrul Sani, Rivai Apin, Usmar Ismail, Basuki Resobowo, dll) memiliki cita-cita yang tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang memuat cita-cita para seniman yang tergabung di dalamnya. Salah satu petikan surat itu adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh pernyataan hati dan pikiran kami.”
Hal yang sudah saya uraikan di atas, menunjukkan bahwa Chairil bukanlah seorang yang tidak memikirkan masa depannya. Ia bukan hanya seseorang yang visioner, tetapi melampaui itu, ia adalah seorang pembaharu. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga pandangan-pandangan yang berniat untuk memajukan komunitas masyarakatnya waktu itu. Fakta ini, menurut Sapardi Djoko Damono, menepis bahwa Chairil adalah seorang individualistis, penyair yang menyusun sajak-sajaknya secara acakadut sampai akhir hayatnya. Selain itu, menurut Sapardi Djoko Damono, menjelang masa-masa akhir hidupnya, ke-Aku-an Chairil (baik secara kepribadian maupun cara ia menulis sajak-sajaknya; lihat dan bandingkan sajak-sajak tahun 1942/1943 dengan sajak-sajak tahun 1949; sajak-sajak dan pikirannya lebih rapi dan ritmis) bergeser pelan-pelan kepada ke-kami atau kita-an (komunalisme). Hal ini menunjukkan bahwa kepenyairan Chairil terus berkembang ke arah yang lebih matang dan bijaksana mendekati tahun-tahun kematiannya.
ADVERTISEMENT
Pokok Keenam: Chairil adalah Perampok yang Baik Hati Isu bahwa Chairil adalah seorang plagiator, memang tidak bisa lepas pada diskusi ini. Seluruh pembicara tidak menolak bahwa beberapa sajak-sajak Chairil adalah jiplakan—saduran bebas—dari sastrawan lain. Berikut beberapa sajak-sajak jiplakan (atau saduran) Chairil yang terkenal dan dikenal oleh khalayak luas sebagai karya Chairil.
Kepada Peminta-minta (1943, terjemahan dari Tot Den Arme karya Willem Elsschot), Kerawang-Bekasi (1948, terjemahan dari The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLeish), dan Persetujuan dengan Bung Karno (1948, terjemahan dari A Pact karya Ezra Pound).
Sedangkan, sajak-sajak saduran Chairil yang tidak diketahui khalayak luas tetapi telah terbit di beberapa majalah atau koran (menurut buku Chairil Pelopor Angkatan ’45 karya H. B. Jassin) adalah Huesca (karya John Cornford), Jenak Berbenar dan Musim Gugur (karya R. M. Rilke), Mirliton, P. P. C., dan Somewhere (karya E. Du Peron), Datang Dara, Hilang Dara (karya Hsu Chih-Mo), Fragmen (karya Conrad Aiken), Lagu Orang Usiran, Biar Malam, Sonet, dan Song XI (karya W. H. Auden; yang terakhir itu terjemahannya belum selesai), Hari Akhir Olanda di Jawa (karya Multatuli), Hari Tua (Unknown), Gerontion (saduran yang belum selesai; karya T. S. Eliot).
ADVERTISEMENT
Menurut paparan Jassin, Chairil sebenarnya tidak bermaksud untuk menjiplak untuk “nama besarnya”. Perlu diketahui bahwa Chairil melakukan itu adalah untuk biaya hidup ia dan ibunya. Terlebih, Chairil saat itu sedang sakit dan butuh banyak biaya pengobatan. Berikut kutipannya:
“Timbul pertanyaan apakah sebabnya Chairil sampai melakukan plagiat? Apakah plagiat hobbinya? Ataukah ia menganggap orang Indonesia cukup bodoh untuk tidak akan pernah menemukan plagiatnya? Plagiatnya yang menggemparkan ialah “Datang Dara Hilang Dara”, yaitu terjemahan dari sajak Hsu Chih-Mo, beberapa bulan sebelum ia meninggal. Ini bisa diterangkan disebabkan karena penyakitnya yang banyak makan ongkos untuk pembayaran dokter. Kira-kira waktu inilah pula ia mengumumkan di bawah namanya sajak-sajak “Fragmen” dan “Krawang-Bekasi”. Saudara bertanya: mengapa dia tidak menyerahkan sajak-sajak itu sebagai terjemahan kepada redaksi majalah? – Tidak akan diterima saudara. Majalah-majalah kebanjiran oleh sajak-sajak yang asli dan terjemahan jarang diterima, atau kalau diterima lama sekali baru dimuat dan honorariumnyapun kurang dari honorarium sajak asli. Dan penyair begitu memerlukan uang dan segera untuk pengobatan penyakitnya. Sangat prosais alasan ini saudara, tapi begitulah.”
ADVERTISEMENT
Sapardi Djoko Damono, Sunu Wasono, dan Hasan Aspahani menyatakan bahwa sejatinya Chairil tidak benar-benar melakukan penjiplakan secara plek-plekan. Saduran-saduran yang ia hasilkan selalu mencerminkan jiwa Chairil yang khas. Sampai-sampai tidak terasa bahwa sajak-sajak itu adalah sajak-sajak orang lain. Asrul Sani juga menjelaskan dalam buku “Derai-derai Cemara” bahwa Chairil memiliki cita rasa bahasa yang tinggi, kemampuan imaji dan metaforanya sangat kuat. Ia juga cepat sekali menghafal sajak. Tak heran jika banyak sekali kata-kata atau unsur-unsur sajak Chairil yang terdapat pula di sajak orang lain. Itulah kenapa saduran-saduran Chairil tidak sepenuhnya plek dengan aslinya.
Apakah Chairil secara sadar atau tidak dalam melakukan penjiplakan itu, masih menjadi kabur dan tanda tanya. Menurut penuturan Jassin, saya bisa menyimpulkan bahwa Chairil sadar betul melakukan saduran; motifnya adalah mencari uang untuk hidupnya. Tetapi, menurut Asrul Sani, sajak-sajak Chairil lahir dari proses pengendapan sajak-sajak yang pernah ia baca dan secara tidak sadar muncul kembali ketika ia menumpahkan perasaannya ke dalam sajak-sajaknya. Apapun itu, Chairil sendiri yang benar-benar bisa menjawabnya.
ADVERTISEMENT
Akhir dari diskusi yang membahas soal keplagiarismean Chairil berakhir dengan ujaran Sapardi Djoko Damono bahwa: apapun yang dilakukan Chairil di masa lalu—maksud konteksnya adalah sajak-sajak sadurannya—tidak akan pernah bisa menutupi nama besarnya. Sajak-sajak saduran yang lahir dari pena Chairil selalu lahir dengan perasaan yang matang, segar, metofora dan imajinya juga sangat Chairil; dalam sajak-sajak sadurannya itu, Chairil hidup. Dan kalau kata Iben yang mengatakan ini dengan gurauan bahwa, Chairil tidak hanya sebagai pencuri, tetapi ia adalah perampok yang baik hati. Ucapannya, itu disambut tawa yang riuh dari seluruh peserta.
Demikian apa yang saya tulis, semoga Chairil berkenan. Selamat Chairil! Tak sia-sia kau jadi binatang jalang. Kupastikan, engkau mampu hidup seribu tahun lagi di hati kami.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini dibuat berdasarkan diskusi yang diselenggarakan oleh Prodi Indonesia yang bekerja sama dengan Prodi Belanda, Departemen Susastra, dan HISKI Komisariat UI di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 4 Mei 2017