Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Budaya, Bahasa, dan Persaingan Global
19 Oktober 2024 12:28 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Galan Rezki Waskita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu ketika saya berkunjung ke salah satu sekolah dasar di Kabupaten Sumbawa. Saya masuk ke kelas satu dan sedikit menyapa muridnya. Bisa dikatakan mereka semua fasih berbahasa Indonesia. Bukan hanya fasih, tapi memang itulah bahasa keseharian yang digunakan. Padahal lumrahnya, mereka terutama yang berada di daerah umumnya menggunakan bahasa daerah setidaknya dalam lingkungan permainan.
ADVERTISEMENT
Situasi ini tampak kontras mengingat siswa kelas dua hingga kelas enam dominan menggunakan bahasa daerah. Kebiasaan baru ini menjadi satu kebanggaan sekaligus juga keharusan akan kewaspadaan. Satu sisi Bahasa Indonesia semakin terbudayakan. Sisi lainnya, bahasa ibu mulai terlupakan.
Saat ini bentuk panggilan pada orang tua seperti menunjukkan strata sosial. Orang dengan ekonomi menengah ke atas cenderung membiasakan anak memanggil dengan sebutan ayah-ibu, mama-papa, atau mami-papi. Sementara mereka yang memanggil bapak-emak cenderung berada pada kelas sosial menengah ke bawah. Di bagian ini mulailah klasifikasi dalam masyarakat.
Belakangan, mereka yang ingin ’terlihat elit’ mulai menggunakan bahasa yang serupa dengan kelas sosial menengah ke atas. Meskipun, kita juga tidak menutup fakta bahwa tidak semua mereka yang menggunakan bahasa mampi-papi dan emak-bapak membiasakan diri atas motif kelas. Semua dikembalikan pada kenyamanan dan bentuk keharmonisan dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Tapi tahukah saudara, fenomena di atas menunjukkan pengaruh bahasa dalam kehidupan kita. Bahasa menjadi ciri kemajuan, sekaligus bentuk hegemoni yang dianulir oleh kebudayaan. Pasalnya, bahasa tidak serta merta berubah tanpa dorongan lingkungan. Perubahan bahasa berkembang masif seiring globalisasi membawa referensi dan mengatur persepsi.
Saat ini masyarakat juga terdidik dengan bahsa asing seperti Inggris hingga Korea. Memang banar bahwa penguasaan bahasa asing pasti memiliki manfaat positif. Tapi tahukah saudara bahwa kebiasaan ini justru berpotensi terus menggerus bahasa lokal dan nasional. Mengingat, penggunaan bahasa asing bukan semata persoalan edukasi melainkan juga perkara ’trend’.
Ada banyak teori yang membahas terkait fenomena ini. Mulai dari Teori Bilingualisme, Identitas Sosial, hingga Globalisasi Linguistik. Hampir semua motif yang diterangkan dalam teori ini dipengaruhi faktor eksternal. Perubahan bahasa lahir dari interaksi global yang berujung pada anggapan tentang modernisme.
ADVERTISEMENT
Karenanya negara memandang penting pelestarian bahasa dan budaya. Kita mengenal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang memuat keharusan memelihara bahasa daerah. Ada juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra. Semua ini diatur mengingat banyak potensi kepunahan bahasa di beberapa daerah di Indonesia.
Bahasa Ternate, Duri, Katu, Sumbawa, Toraja, dan Abun di Papua merupakan bahasa daerah terancam punah seiring jumlah penuturnya yang merosot. Penulispun mengalami sendiri, menggunakan bahasa daerah kerap dianggap tua dan kuno. Meski satu sisi menggunakan bahasa daerah dianggap memiliki wawasan kebudayaan yang luas. Padahal itu adalah interterpretasi yang berlebihan.
Dasar itulah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengadakan Program Revitalisasi Bahasa Daerah. Dimunculkan pula Program Rumah Budaya Indonesia, Festival Budaya, Pemajuan Kebudayaan Desa, dan masih banyak hal lainnya. Banyaknya perhatian pada ranah ini menunjukkan banyaknya potensi baik dan potensi buruk yang sedang dan akan kita hadapi.
ADVERTISEMENT
Anda mungkin lupa bagaimana anak-anak bangsa mulai mencintai Bahasa Korea. Selanjutnya tren kebiasaan makan dengan cara barbecue atau grilling. Bahan-bahan yang digunakan juga serupa dengan makanan korea. Kita juga mungkin lupa kalau beberapa jenis produk lokal mulai menggunakan cita rasa korea di dalamnya.
Menariknya lagi, aktivitas periklanan juga menggunakan model orang Korea dan menuturkan Bahasa Indonesia dengan dialek Korea. Padahal di satu sisi, orang di bangsa ini di bully atas gaya kedaerahannya. Ini adalah contoh bahwa ekspansi ekonomi baik melalui musik, makanan, trend fashions, dan atribut lainnya bisa di mulai dari tangan budaya dan bahasa.
Maka itu penting program kebudayaan dan pelestarian bahasa untuk semakin dikembangkan dan dilanjutkan. Apresiasi terhadap pelaku kebudayaan harus tetap diadakan oleh daerah maupun Pemerintah melalui Kemendikbud saat ini maupun yang akan datang. Kita tidak sedang menolak modernitas, tapi kita harus berupaya menjadi modern dengan keunikan kita sendiri.
ADVERTISEMENT