Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bulan Juni dan Moksanya Tabib Sapardi
26 Juli 2020 13:50 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
Tulisan dari Galan Rezki Waskita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni, karena bersamanya Sapardi telah pergi. Tepat pada tanggal 19 kemarin Penyair Sapardi Djoko Damono berpulang pada yang kuasa. Banyak yang mengatakan bahwa puisi Hujan Bulan Juni benar-benar membawanya pergi. Jika memang demikian, berarti tuhan yang melantunkan puisi untuknya.
ADVERTISEMENT
Banyak dari sajak dan puisi Sapardi menjelma sebagai ruh bagi pembacanya. Karena dalam interpretasi puisi, ia membebaskan pembaca meletakkan tafsirnya sendiri. Namun bersama kepergiannya, dunia sastra mulai berkabung dengan keadaan. Tidak akan ada lagi sapardi di Juni-Juni berikutnya.
Sastra adalah akar umat manusia. Sastra bertunas dari dalam kitab suci sampai dengan buku diary. Oleh karenanya, setiap puisi adalah obat dan setiap penyair adalah tabib. Hanya saja, kita tidak pernah tau dosis obat ini. Kita juga tak pernah tau, penyair berpuisi untuk dirinya sendiri atau orang lain.
Ada banyak persoalan hidup yang menjadikan seseorang lari menuju permainan kata. Ada banyak anatomi masyarakat yang nuntut pengutaraan dengan permainan rima. Sejauh peradaban berjalan, gaya berbahasa (Hight Context Communications) adalah tutur sastra yang telah terbudaya. Maka jadilah syair-syair sebagai instrumen yang mewakili karakter suatu entitas.
ADVERTISEMENT
Bersama dengan budaya dan degradasinya, pilur-pilur tersebut semakin mengendap. Yang tertinggal adalah remah-remah yang membuih di carik lembar instastory. Sementara puisi, sajak dan sebagainya adalah karya yang sarat akan makna dan esensi. Sedangkan para pecinta seni terbiasa membaiatkan diri pada satu aliran seni saja.
Rabiah Al-adawiyah dan Nizami adalah contoh penyair masyhur di kalangan Sufi. Zawawi Imron, Gus Mus, Buya Hamkah adalah Ulama yang sadar sastra. Tulisan-tulisannya mengarah pada tauhid dalam romantisme iman. Tapi sayangnya, tidak setiap manusia memiliki iman. Maka setiap mereka harus mencari kebersesuaian.
Joko Pinurbo, Wira nagara atau Firsa Besari berbicara tentang romantisme kontemporer. Khalil Gibran bercerita tentang hidup, sementara Chairil Anwar dan soe Hok Gie bertutur tentang perjuangan. Masing-masing penyair membawa karakter yang tidak bisa digantikan penyair lainnya. Diantara kesekian banyak penyair tersebut, penggemar Sapardi sudah harus memilih kembali.
ADVERTISEMENT
Tapi yang harus dimengerti, sastrawan tidak akan pernah benar-benar mati. Mereka hanya sedang moksa pada bait-bait kata yang ditingalkan. Hanya saja kehadiran karya tersebut bukan lagi sebagai hal baru yang ditunggu, melainkan coretan usang yang selalu baik untuk dikenang.
Seperti yang pernah disampaikan sapardi bahwa kefaanaan adalah milik waktu, sedangkan kita adalah abadi. Manusia akan selalu hidup dalam karyanya masing-masing. Tapi kepulangan seorang penyair senior menyisahkan satu pertanyaan. Siapa lagi yang akan menggubah puisi ketika karya yang ada tidak lagi mampu mewakilkan rasa dari tiap-tiap perkara ?
Banyak karangan dan kiasan syair yang tidak lagi jujur. Belum lagi bermain diksi yang mulai akrab dengan mulut politisi. Sementara sastra bukan tentang perebutan kursi. Sastra adalah perkara rasa dan manifestasi cinta manusia.
ADVERTISEMENT
Sapardi pernah bercerita tentang tulisannya yang terbit di pojok kecil sebuh koran. Torehan itu diberi berjudul “Aku Ingin” . Ia menulis dengan waktu singkat dan cukup spontan. Tapi mengingat letak dan waktu penerbitan kala itu, ia sendiri tidak yakin bahwa seseorang akan membacanya.
Berdasarkan cerita tersebut, didapati sekiranya tiga pengajaran. Pertama, gagasan kadang memang tidak bisa direncanakan. Kedua, tidak seorangpun bisa memaksa orang lain menikmati suatu karya, sekalipun karya itu diciptakan dengan ketulusan. Dan yang Ketiga, proses tidak akan pernah menghianati hasil.
Terbukti samapai dengan saat ini, siulan tersebut menjadi salah satu tulisan Sapardi yang paling digemari. Waktu memberikan jawaban bahwa keihlasan menjamin letak yang paling nyaman. Setiap jalan hidup adalah prosa yang ditulis oleh masing-masing manusia bersama takdirnya. Bila tidak juni, seseorang akan punya bulannya sendiri, atau bahkan windu dan abadnya.
ADVERTISEMENT
Bersama risalah tersebut, akan lebih baik bila penikmat sastra mulai berfikir tentang regenerasi. Kearifan lokal dalam tradisi komunikasi harusnya telah mampu dijadikan sebuah pondasi. karena manusia takkan pernah kehabisan dahaga akan puisi. Terlebih, dengan ini dapatlah digalakkan tentang gerakan literasi.
Galan Rezki Waskita ( Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang)