Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perkaderan Demokrasi di Pangkuan Guru
27 November 2024 9:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Galan Rezki Waskita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demokrasi adalah satu diantara ciri kelompok masyarakat yang dimanusiakan oleh sistem. Demokrasi menghendaki pelayanan terhadap kemanusiaan melalui preferensi mayoritas dalam sebuah negara. Karena itu, memiliki pemahaman yang utuh terkait demokrasi menjadi penting untuk didapatkan. Wawasan ini diperlukan baik secara teoritis maupun secara praktikal.
ADVERTISEMENT
Partai Politik (Parpol) diamanatkan oleh negara sebagai sarana pendidikan politik dan demokrasi bagi masyarakat. Kewajiban ini tertuang dalam Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011. Parpol bahkan dia ancam mengembalikan bantuan dana negara jika proses ini tidak dijalankan dengan baik. Aturan tersebut secara lugas menjelaskan posisi demokrasi sebagai hak dan kewajiban.
Di lain sisi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga memuat kewajiban yang sama. Pendidikan secara materi harus mengajarkan tentang demokrasi dan dijalankan secara demokratis. Makanya, sekolah harus menjadi infrastruktur yang mampu memparipurnakan pemahaman siswa terkait sistem ini.
Akan tetapi, kita juga seharusnya mampu melihat bahwa Parpol telah jauh berkompeten dalam menjalankan tugas ini dibandingkan sekolah. Hal ini mengingat Parpol adalah organisasi yang berkepentingan langsung dalam proses demokrasi terutama dalam Pemilu. Akan tetapi di luar momentum Pemilu, pendidikan tersebut dominan terkonsentrasi di lingkungan anggota semata.
ADVERTISEMENT
Guru nyatanya masih kesulitan dalam memberikan pemahaman terkait sistem cetusan Montesquieu itu. Situasi ini dilihat bukan hanya pada pemaparan bahan ajar melainkan juga metode ajar. Kesulitan itu tampak pada pembiasaan musyawarah, toleransi, dan perbedaan pendapat. Situasi ini berkaitan erat dengan durasi serta rekayasa pembelajaran yang belum terarah. Hal ini karena dalam mereplikasikan demokrasi, guru memerlukan waktu untuk memahami karakteristik individu dan menentukan pendekatan.
Melihat pada kompleksitas situasi yang harus diajarkan, maka peningkatan kualitas guru harus dilakukan. Upaya itu juga mesti dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Realitas lingkungan terutama yang berkenaan dengan hak warga negara akan selalu berubah. Atas alasan itulah pemahaman para pengajar harus terus terbarukan dan adaptif.
Sejauh ini, yang telah dilakukan Pemerintah adalah dengan mengadakan Program Guru Penggerak untuk membentuk pemimpin pembelajaran yang inovatif. Ada juga Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi calon guru profesional dengan pelatihan komprehensif selama dua semester. Selain itu, pengadaan Program PembaTIK juga mendukung pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Tentu saja di samping itu adalah rekrutmen guru baru di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Peningkatan kapasitas guru ini pada umumnya berbasis pelatihan yang condong pada peningkatan pedagogi, integrasi teknologi, dan pengembangan keterampilan sosial guru. Meskipun, hampir semua dari upaya peningkatan kualitas tersebut tetap dimulai berdasarkan hasil seleksi. Hal terjadi karena setiap luaran program akan berkonsekuensi terhadap anggaran. Oleh karenanya penulis berkesimpulan, sejauh ini upaya Pemerintah terbilang sangat baik namun masih terbatas.
Terlepas dari kondisi tersebut, kita memerlukan agar semua guru tanpa terkecuali dapat terus memperbaharui pemahamannya terutama perihal demokrasi. Ini akan menjadi langkah untuk meniadakan kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Strategi ini sekaligus menjadi indikator untuk mengukur dan mengevaluasi setiap tahapan pembelajaran yang telah dilalui.
Peningkatan kualitas guru harus dipandang sebagai investasi terhadap kemurnian demokrasi Bangsa Indonesia. Masyarakat tidak akan mampu terkader dan tercover dalam peran Parpol. Hal ini karena Parpol tidak memiliki kurikulum sebagaimana lembaga pendidikan. Parpol umumnya mempertimbangkan usia dalam memberikan pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Sementara, sekolah memberikan pembelajaran sebagai sebuah pembiasaan pada semua jenjang usia. Artinya, sekolah diberikan porsi memperjalankan perkaderan demokrasi lebih utuh dibandingkan Parpol. Sekolah dan guru memiliki semua instrumen untuk menyinkronkan teori dan praktik demokrasi. Guru bahkan bisa menyentuh lingkungan privat rumah tangga atas nama pendidikan.
Bukanlah sesuatu yang sukar dimengerti bahwa baik buruk pilihan politik hari ini tergantung pada kualitas pendidikan yang sempat diampu tokoh politik. Dalam dan dangkalnya pembacaan terhadap wakil rakyat juga tergantung kepada hasil pendidikan yang ada di rakyat itu sendiri. Tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Maka dalam perkaderan negara ini, meningkatkan kualitas demokrasi harus dimulai dari peningkatan kualitas guru.
ADVERTISEMENT