Konten dari Pengguna

Mahkamah Agung dan Keteladanan Hakim dalam Laku Andhap Asor

Galang Adhe Sukma
Hakim Pengadilan Negeri, juru bicara pengadilan, Magister Hukum Universitas Brawijaya. Aktif menulis, menyuarakan keadilan, dan terus belajar demi peradilan yang humanis, transparan, dan berintegritas.
13 Mei 2025 13:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galang Adhe Sukma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Kepercayaan pada Mahkamah Agung dan Pengadilan tidak dibangun dari gedung megah atau toga kebesaran. Ia tumbuh dari keteladanan Hakim yang bersikap rendah hati, teguh menjaga nurani, dan adil meski tak disorot kamera.

Tiga Hakim di ruang sidang Pengadilan Negeri sedang memimpin persidangan dengan mengenakan jubah resmi, mencerminkan tugas yudisial di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto: Jaslin Arifin
zoom-in-whitePerbesar
Tiga Hakim di ruang sidang Pengadilan Negeri sedang memimpin persidangan dengan mengenakan jubah resmi, mencerminkan tugas yudisial di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto: Jaslin Arifin
Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan Indonesia sedang berada pada titik nadir. Belum lama ini, masyarakat dikejutkan dengan terungkapnya kasus suap dalam perkara mafia minyak goreng yang menyeret tiga orang hakim aktif. Penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia menetapkan Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan perkara ekspor CPO oleh tiga grup korporasi besar—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ketiganya diduga menerima suap dalam jumlah fantastis, yakni Rp22,5 miliar, demi menjatuhkan vonis lepas (onslag) kepada para terdakwa. Skandal ini terbongkar setelah Kejagung menyidik kasus Ronald Tannur di PN Surabaya, dan menemukan keterkaitan elektronik yang mengarah pada advokat Marcella Santoso serta jalur suap dari pengacara Aryanto kepada Ketua PN Jakarta Selatan saat itu, Muhammad Arif Nuryanta. Uang suap ditengarai ditransfer dalam bentuk dolar dan dibagikan dalam goodie bag yang dibawa langsung ke lokasi, termasuk ke depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Selatan. Hakim-hakim tersebut bahkan secara sadar mengetahui tujuan uang tersebut untuk mempengaruhi amar putusan. Peristiwa ini bukan hanya sekadar kriminalitas kelas elite; ia adalah luka mendalam bagi dunia peradilan, sekaligus refleksi bahwa krisis integritas telah merasuki relung terdalam lembaga hukum.
ADVERTISEMENT
Di tengah gempuran realitas seperti itu, kita harus bertanya: di mana letak integritas seorang hakim hari ini? Bagaimana mungkin profesi yang dimuliakan dengan gelar officium nobile justru dicoreng oleh para pemangkunya sendiri? Dalam suasana seperti inilah, penting bagi kita untuk kembali menilik nilai-nilai budaya yang mengakar kuat di bumi nusantara—khususnya falsafah Jawa—yang barangkali dapat memberi arah moral baru dalam membentuk keteladanan hakim. Salah satu nilai utama yang patut digarisbawahi adalah andhap asor, yakni sikap rendah hati yang tidak identik dengan kelemahan, melainkan kekuatan untuk menundukkan ego, menjauh dari kesombongan, dan mendekatkan diri pada esensi kemanusiaan. Seorang hakim yang andhap asor menyadari bahwa kekuasaan yudisial yang ia miliki bukanlah alat dominasi, melainkan sarana pengabdian untuk menegakkan keadilan. Ia tidak mengadili dari singgasana ketinggian, tetapi dari tempat yang sama dengan sesamanya manusia—tempat di mana rasa, nalar, dan nurani bersatu demi menimbang perkara.
ADVERTISEMENT
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) sebenarnya telah merumuskan hal ini secara eksplisit. Salah satu prinsip dalam KEPPH menyatakan bahwa seorang hakim wajib berperilaku rendah hati, yaitu memiliki kesadaran akan keterbatasan dirinya, jauh dari kesempurnaan, serta terhindar dari keangkuhan. Prinsip ini bukan sekadar tuntunan perilaku, melainkan jiwa dari profesi kehakiman itu sendiri. Hakim yang rendah hati akan membuka diri terhadap masukan, belajar dari pengalaman, serta mampu mengakui kesalahan tanpa kehilangan kewibawaan. Ia tidak mencari pujian atau popularitas. Ia menolak dengan halus setiap bentuk penghargaan yang bermotif mempengaruhi, dan dalam putusannya, ia tidak mengejar sensasi, melainkan rasa keadilan yang sejati.
Dalam tradisi Jawa, andhap asor tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan nilai-nilai lain seperti eling lan waspada—kesadaran dan kewaspadaan. Ajaran ini, yang secara masyhur diungkapkan dalam serat Kalatidha karya Ranggawarsita, menasihatkan agar manusia selalu ingat pada jati dirinya dan senantiasa waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat menjerumuskan. Dalam konteks hakim, eling berarti selalu mengingat sumpah jabatan, yakni menegakkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan waspada berarti senantiasa berhati-hati terhadap godaan suap, tekanan, maupun konflik kepentingan yang bisa muncul dari berbagai arah. KEPPH bahkan menekankan bahwa seorang hakim harus memiliki integritas tinggi—yakni sikap dan kepribadian yang utuh, jujur, dan tidak tergoyahkan. Dengan eling lan waspada, seorang hakim tidak akan mudah tergelincir ke dalam praktik kotor yang menjual keadilan demi kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, keteladanan seorang hakim juga ditentukan oleh kemampuannya untuk memiliki tepa slira, yaitu tenggang rasa yang mendalam terhadap sesama. Seorang hakim yang memiliki tepa slira tidak akan menghardik pencari keadilan yang bodoh hukum, tidak akan melecehkan pihak-pihak yang sedang terpuruk dalam perkara, dan tidak akan merasa paling benar karena posisinya. Ia menyadari bahwa setiap orang yang duduk di depannya adalah manusia yang berhak diperlakukan dengan hormat. Tepa slira menjauhkan hakim dari arogansi, membimbingnya untuk lebih empatik, dan menjadikannya penjaga martabat, bukan penghakim yang semena-mena. Dalam KEPPH, nilai ini termanifestasi dalam prinsip menjunjung tinggi harga diri, yaitu menjaga martabat pribadi dan lembaga peradilan dengan tidak terlibat dalam aktivitas yang mencoreng kehormatan jabatan.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai Jawa ini bukan sekadar folklor budaya, melainkan fondasi etika yang relevan bagi praktik peradilan hari ini. Sayangnya, nilai-nilai tersebut kerap dianggap kuno dan tidak aplikatif, padahal justru di era modern yang penuh godaan inilah kebijaksanaan lokal semacam itu menjadi penting. Ketika hakim tidak lagi merasa cukup takut kepada hukum atau Tuhan, maka satu-satunya harapan adalah kembalinya rasa malu dan kehormatan—dua hal yang sangat dijunjung dalam budaya Jawa. Seorang hakim yang benar-benar menghayati andhap asor, eling lan waspada, dan tepa slira tidak akan tergoda oleh Rp60 miliar dalam goodie bag, karena ia tahu bahwa harga dirinya jauh lebih tinggi dari itu. Ia juga sadar, bahwa putusannya akan dinilai tidak hanya oleh masyarakat, tapi oleh sejarah, dan oleh suara hatinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Ke depan, perlu ada kesadaran kolektif dari seluruh komunitas peradilan untuk membumikan kembali nilai-nilai luhur semacam ini. Pendidikan calon hakim harus memasukkan kearifan lokal sebagai materi etik yang kontekstual. Pembinaan hakim juga semestinya tidak hanya bicara soal kompetensi hukum, tetapi juga soal laku hidup. Pimpinan lembaga peradilan harus menjadikan figur hakim-hakim yang menjunjung nilai budaya sebagai contoh teladan, bukan hanya hakim yang populer di media atau produktif memutus perkara. Sebab keteladanan bukan dinilai dari berapa banyak perkara yang diputus, tetapi dari seberapa kuat seorang hakim menjaga kompas moralnya saat berada dalam gelapnya godaan.
Di zaman yang oleh Ranggawarsita disebut jaman edan, menjaga kewarasan moral adalah sebuah bentuk perjuangan. Dan hakim, sejatinya, adalah barisan paling depan dalam perjuangan itu. Maka jika bangsa ini ingin mengembalikan martabat hukum, para hakimnya harus lebih dulu mengembalikan martabat dirinya sendiri. Dan tak ada cara yang lebih baik untuk itu selain mempraktikkan laku andhap asor—rendah hati, sadar diri, dan penuh tenggang rasa. Di situlah letak kebesaran seorang hakim. Bukan pada kekuasaannya, tetapi pada kesanggupannya untuk menolak keserakahan, menahan ego, dan mengabdi bagi keadilan.
ADVERTISEMENT