news-card-video
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Demonstrasi dan Gejala Defisit Representasi Substantif

Galang Geraldy
Dosen Ilmu Politik UWKS - Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Unair
21 Maret 2025 12:44 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa Jogja Memanggil menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD DIY, Kamis (20/2/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa Jogja Memanggil menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD DIY, Kamis (20/2/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Di dalam beberapa tahun terakhir kita menyaksikan maraknya aksi-aksi demonstrasi yang menghiasi konstalasi politik tanah air. Bila kita mundur sejenak, aksi demonstrasi berskala besar yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat di berbagai daerah terjadi di saat momen menjelang Pilpres 2024, sekitar bulan Oktober 2023. Kritik publik terhadap Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan UU 7/2017 tentang Pemilu soal batas usia capres dan cawapres, yang kemudian melahirkan Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 (Detik.com, 2023). Putusan yang akhirnya menjadi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi untuk maju sebagai cawapres yang mendampingi Prabowo Subianto sebagai capres saat itu. Proses “politisasi MK” karena dianggap putusan ini sarat dengan konflik kepentingan dan relasi politik dinasti yang menciderai logika demokrasi.
ADVERTISEMENT
Lalu dinamika politik Indonesia kembali memanas selepas DPR mengebut revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, paska sehari Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat pencalonan Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PPU-XXII/2024. DPR berupaya keras merevisi UU Pilkada tersebut yang mencantumkan pasal mengenai ambang batas pencalonan kandidat dan batas usia calon kepala daerah, sebelum akhirnya dibatalkan karena besarnya desakan berbagai lapisan masyarakat mulai mahasiswa, buruh, komedian sampai aktor (Kompas, 2024). Kritik mereka sama, menolak adanya nuansa politik dinasti Jokowi melalui pencalonan Kaesang Pangarep yang santer disebutkan akan maju dalam kontestasi pilkada.
Selanjutnya situasi akhir-akhir ini, setidaknya dua aksi massa dalam skala besar mewarnai dinamika politik. Pada pertengahan bulan Februari 2025, muncul aksi demonstrasi di berbagai wilayah mulai Jakarta, Surabaya sampai Wamena yang menamakan “Indonesia Gelap” sebagai refleksi kritis publik terhadap berbagai anomali kebijakan pemerintah Prabowo - Gibran mulai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dianggap tidak proporsional, kompleksitas struktur birokasi pemerintahan yang dianggap gemuk menyebabkan pemborosan anggaran. Di lain sisi, kritik juga diarahkan pada kebijakan efisiensi anggaran yang dianggap mempengaruhi sektor pendidikan dan layanan sosial lainnya (Reuters, 2025). Kondisi itu kian kompleks ditengah berbagai terpaan kondisi ekonomi rakyat yang semakin menurun dengan berbagai PHK yang terjadi dimana-mana (CNBC, 2025).
ADVERTISEMENT
Di bulan Maret 2025 ini, mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil di berbagai daerah seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Manado dan lain-lain kembali turun ke jalan menyuarakan logika kritis terhadap revisi UU TNI, yang pada akhirnya tetap saja disahkan oleh DPR pada hari Kamis 20 Maret 2025. Kritik publik yang bekerja sejak pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont pada 14-15 Maret lalu, mempersoalkan urgensi dan kurangnya transparansi dalam proses tersebut. Selain menyoal adanya pelanggaran prosedural, substansi terhadap revisi ini adalah kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam ranah sipil serta potensi pelanggaran prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah dibangun sejak reformasi 1998. Kekhawatiran ini juga sejalan dengan asumsi Thomas Carothers (2002) dalam The End of the Transition Paradigm, yang menyatakan bahwa salah satu tantangan utama negara yang sedang mengalami transisi demokrasi adalah menjaga agar militer tidak mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh aktor-aktor sipil.
ADVERTISEMENT
Sampai tulisan ini dibuat, demonstrasi penolakan pengesahan RUU TNI telah memakan korban. Seperti di Jakarta, terjadi insiden yang mengakibatkan seorang peserta demo terluka di bagian kepala diduga akibat lemparan batu yang berasal dari dalam Gedung DPR. Di Semarang, aksi serupa yang berlangsung di depan kantor DPRD Jawa Tengah, berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan, yang mengakibatkan lima orang peserta demo ditangkap (Tempo, 2025). Sebelumnya, kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta Pusat didatangi oleh tiga orang tak dikenal pada 16 Maret 2025 dini hari. Meskipun tidak ada korban fisik dalam insiden ini, tindakan tersebut diduga sebagai bentuk teror terhadap gerakan koalisi masyarakat sipil yang menolak revisi UU TNI (Kompas, 2025). Insiden-insiden tersebut menambah daftar korban akibat konflik terbuka yang kerap terjadi antara aparat keamanan dan masyarakat sipil.
Foto Aksi Demonstrasi Mahasiswa "Indonesia Gelap" di Jakarta (Sumber: Kumparan, 2025)
Defisit Representasi Substantif
ADVERTISEMENT
Jika kita mengamati aksi demonstrasi beberapa tahun belakangan, realitas ini adalah manifestasi terhadap persoalan yang sangat mendasar dalam politik Indonesia yaitu krisis representasi. Demonstrasi bukan sekadar respon atas setiap kebijakan pemerintah yang dianggap problematik, melainkan juga manifestasi dari ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjadi perwakilan aspirasi rakyat dalam konteks sistem politik demokrkasi. Pertanyaan yang menjadi paradoks adalah bagaimana mungkin rakyat mengkritik kebijakan wakil rakyat yang telah mereka pilih sendiri di parlemen maupun eksekutif ? Artinya ada disparitas antara representasi politik formal hasil pemilu dengan representasi politik publik terhadap berbagai persoalan dan kebijakan pemerintah.
Di dalam teori representasi politik, Pitkin (1967) membedakan antara representasi deskriptif (kesamaan karakteristik antara wakil dan yang diwakili) dan representasi substantif (keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat). Idealnya, perwakilan politik harus mampu mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam kebijakan publik. Namun, kebanyakan yang terjadi ketika selesai pemilu, justru kebijakan yang dibuat bertentangan dengan kepentingan rakyat, seperti program membentuk struktur birokrasi pemerintahan yang kompleks atau revisi UU TNI yang mengancam supremasi sipil.
ADVERTISEMENT
Hal ini yang kemudian seringkali memantik berbagai aksi demonstrasi yang terus terjadi, menunjukkan gejala anomali kebijakan yang seharusnya disusun berdasarkan kepentingan publik justru didominasi oleh kepentingan elit, partai politik maupun golongan tertentu. Kerangka pemikiran Nancy Fraser tentang representasi sebagai bagian dari keadilan demokratis, bahwa keterwakilan politik tidak boleh hanya berhenti pada aspek prosedural, tetapi juga harus menjamin distribusi kekuasaan yang adil dalam proses pengambilan keputusan. Jika kelompok-kelompok tertentu, seperti masyarakat sipil, mahasiswa, buruh, nelayan, masyarakat adat dan lain-lain merasa suaranya tidak terwakilkan di dalam pembuatan kebijakan, maka yang terjadi misrepresentation, yang dapat memicu krisis legitimasi terhadap institusi politik formal.
Krisis representasi ini diperparah dengan kecenderungan represif dalam merespon demonstrasi. Alih-alih membuka ruang dialog, negara sering kali memilih jalur represi dengan pendekatan keamanan yang berlebihan. Ini semakin memperkuat persepsi bahwa negara bukan lagi sebagai fasilitator demokrasi, tetapi sebagai entitas yang mempertahankan kepentingan kelompok elitis yang mendominasi kepentingan “negara”. Betapa rapuhnya demokrasi ketika kelompok kecil ini, apapun bentuknya di dalam jejaring oligarki menguasai wacana dan paradigma politik yang akan mereduksi kepentingan publik. C. Wright Mills (1956) dalam The Power Elite menjelaskan bagaimana kelompok kecil elit yang memiliki kontrol yang dominatif terhadap kebijakan publik akan mendegradasi suara rakyat menjadi terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Maka itu, ketika parlemen dan eksekutif tampak tidak cukup responsif terhadap tuntutan publik, keterbatasan terhadap bekerjanya fungsi representasi politik, membuat civil society merasa perlu untuk turun ke jalan sebagai bentuk protes. Demonstrasi menjadi ruang alternatif bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi politik mereka. Pada kondisi inilah, aktor-aktor advokasi sosial non-government, menjadi entitas representasional rakyat. Hal ini semakin menekankan bahwa keterwakilan tidak sekadar bersifat formal tetapi juga substantif, di mana kepentingan masyarakat harus terakomodasi dalam kebijakan yang dihasilkan.
Urgensi Ruang Politik Deliberatif
Tentu kita tidak ingin jurang disparitas representasi politik dan kontinyuitas konflik terbuka antara pemerintah vs rakyat terus berjalan, yang membuat masa depan negara dan bangsa semakin tidak menentu dan kontraproduktif. Untuk itu, perlu kembali merujuk pada Carole Pateman (1970) dalam Participation and Democratic Theory bahwa pemerintah harus memberikan ruang partisipasi masyarakat di dalam perumusan kebijakan sebagai mekanisme penguatan representasi politik yang dapat meningkatkan legitimasi kebijakan publik dan sistem demokrasi ke depan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana cita-cita luhur reformasi 1998 dan demokrasi yang sehat, kata kunci partispasi publik di atas sejalan dengan apa yang disampaikan Nancy Fraser (2008) dalam Scales of Justice bahwa demokrasi sejati hanya bisa dicapai ketika struktur politik memungkinkan distribusi keadilan yang adil dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat. Keadilan itu bermula dari ketersedian ruang publik yang deliberatif di dalam proses bekerjanya sistem representasi politik. Poin utama adalah konsistensi terhadap kewajiban audiensi publik terbuka (public hearing) dalam setiap pembahasan RUU. Proses ini sangat fundamental, terutama di dalam membangun upaya deliberasi antara wakil rakyat dan rakyat. Optimalisasi peran DPR dan DPR-D di dalam membuka diskursus wacana kebijakan dan apa yang menjadi persoalan publik sangat menentukan posisi pelembagaan ini tidak sekedar sebagai representasi elektoral semata, namun juga memberikan dampak substantif terhadap kebijakan politik yang benar-benar berpihak pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Serta, keterlibatan partai politik, sebagai institusi politik yang memiliki struktur organisasi bertingkat di berbagai lapisan kewilayahan, suka tidak suka sejatinya dapat menopang proses deliberasi antara wakil rakyat dengan konstituen. Di dalam konteks ini, partai politik seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai mesin elektoral yang aktif ketika menjelang pemilu saja, tetapi juga sebagai ruang artikulasi kepentingan publik yang bekerja secara terus-menerus dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Pelembagaan partai politik yang modern harus menginisiasi forum dialog berkala yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi dan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah. Bahkan, di era digital seperti saat ini, partai politik perlu memanfaatkan teknologi komunikasi yang memperkuat keterlibatan publik dalam proses deliberasi kebijakan baik melalui keterbukaan informasi pada situs website sampai kanal dialog melalui media sosial dan virtual meeting.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah bisa saja membuka ruang diskursus dengan entitas civil society secara berkala, kaum akademisi kampus misalnya, dapat menjadi .ruang publik yang efektif antara pemerintah dan masyarakat, di mana kebijakan dapat diuji secara kritis, rasional dan objektif. Membincangkan apa yang menjadi wacana kebijakan pemerintah dengan berbagai persoalan masyarakat secara terbuka tidak hanya memperkaya perspektif dalam pengambilan keputusan, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan yang dihasilkan. Jika berjalan secara nyata dan kontinyu, forum akademik ini menjadi simpul koherensi reprensentasi politik yang substansial yang pada akhirnya menjadi basis legitimasi politik dan demokrasi.