Konten dari Pengguna

Kartini Masa Kini: Perempuan dan Dialektika Politik Ruang Agraria

Galang Geraldy
Dosen Ilmu Politik UWKS - Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Unair
21 April 2025 9:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ik wil werken, niet voor mijzelf alleen, maar voor ons volk.” (Aku ingin bekerja, bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk bangsaku). Kalimat ini ditulis Raden Ajeng Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon pada 4 Oktober 1901. Sebuah pernyataan sederhana namun sarat makna: bahwa cita-cita Kartini jauh melampaui sekat domestik. Ia menyuarakan semangat emansipasi yang tidak egoistik, tetapi kolektif—menyala untuk kehidupan rakyat. Hari ini, semangat itu hidup dalam tubuh-tubuh perempuan yang berdiri di garis depan pertarungan mempertahankan ruang hidup—dari kaki Pegunungan Kendeng, hutan adat Mollo di NTT, hingga bumi Papua. Mereka bukan sekadar “perempuan desa”, tetapi penjaga bumi yang menggugat ketidakadilan agraria dan membongkar logika kuasa yang menyingkirkan kehidupan demi investasi.
ADVERTISEMENT
Kartini masa kini tidak hanya berbicara lewat pena, tetapi lewat aksi, tubuh, dan solidaritas. Mereka hadir di garis depan sebagai penjaga ruang hidup—tanah bukan sekadar sumber daya, tapi sumber makna, identitas, dan keberlanjutan hidup. Di dalam konteks proyek pembangunan negara, misalnya, tanah sebagai identitas ruang hidup perempuan dirampas atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial, ekologis, dan spiritual yang telah lama melekat dalam praktik keseharian mereka. Melalui sudut pandang ekofemisme dalam dialektika politik ruang, kita akan menjumpai kesadaran politik perempuan terhadap dominasi negara dan korporasi dalam kebijakan alienasi lahan-lahan pertanian, hutan dan sumber daya alam lainnya untuk pertambangan, perkebunan, industri dan infrastruktur lainnya.
Gambar Ilustrasi Kartini dan Perjuangan Perempuan dalam Konflik Agraria (Sumber:AI)
Beberapa kajian penelitian seperti yang diutarakan oleh Nugroho (2018) dalam Revolusi Agraria dan Perempuan di Pegunungan Kendeng, bagaimana perempuan Kendeng terlibat aktif dalam perjuangan agraria dan lingkungan yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat petani di sekitarnya yang terancam oleh pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang. Senada, Rachmad, R. (2018) menulis Perempuan Kendeng dan Aksi Semen Kaki: Strategi Perlawanan dan Identitas Sosial menguraikan aksi perempuan Kendeng yang mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana Negara, sebagai simbol narasi spiritual bahwa gunung adalah ibu yang harus dilindungi dan penderitaan atas kebijakan yang mengancam tanah mereka. Tidak jauh dari Rembang, penolakan terhadap tambang batu andesit untuk proyek Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo sebagai proyek strategis nasional juga dilakukan para warga perempuan di sana. Penambangan dinilai akan merusak gunung, mata air, dan pertanian masyarakat Wadas (Detik.com, 2022).
ADVERTISEMENT
Lalu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama sejumlah perempuan melakukan penolakan terhadap pembangunan proyek PLTA oleh PT Seko Power Prima. Bagi mereka pembangunan PLTA akan menghancurkan tanah adat di desa Tanamakaleang, Hoyane dan Embonnatana Kabupaten Luwu Utara, sebagai identitas masyarakat adat yang telah diwariskan secara turun temurun. Selain itu, warga juga terancam kehilangan sumber kehidupan sebagai petani. Jika ini terjadi, bencana lingkungan yang lebih besar lagi akan melanda pulau Sulawesi dengan krisis pangan (https://aman.or.id, 05/02/2018)
Di pulau Borneo, sejumlah perempuan Dayak yang aktif menjaga hutan sebagai bagian dari identitas dan kehidupan spiritual “ibu yang memberi makan dan melindungi” — bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi ruang spiritual, sosial, dan budaya. Persepsi terhadap ruang itulah yang memantik perlawanan masyarakat di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau Kalimantan Barat dalam menghadapi ekspansi sawit yang merampas hutan adat (Wijayanto, A.,2021).
ADVERTISEMENT
Laporan riset Pranoto, E. (2022) yang berjudul Gendered Resistance in Resource Conflicts: Case of Women in Paser turut menjelaskan bagaimana sejumlah perempuan adat menolak tambang batubara yang mengancam sumber air dan lahan pertanian masyarakat Desa Muara Lambakan, Kabupaten Paser Kalimantan Timur. Baginya wilayah mereka adalah ruang yang bukan hanya tempat tinggal, tapi ruang reproduksi sosial – tempat mendidik, menanam, dan menjaga kesinambungan generasi.
Gambar Aksi Demonstrasi Menolak Kapitalisasi Ruang (Sumber:Kumparan)
Di provinsi Nusa Tenggara Timur, pemerintah melakukan klaim lahan adat untuk pengembangan peternakan skala besar yang berimplikasi pada diskriminasi terhadap hak atas ruang bagi Suku Besipae. Catatan Arimbi, D. A. dalam Project Multatuli (2021, October 13) menguraikan para perempuan Besipae menjadi aktor utama dengan memilih aksi tidur di tanah beserta membawa anak sebagai pengejawantahan hutan sebagai ruang hidup, seiring dengan makna filosofis tanah adalah “tubuh leluhur yang diwariskan untuk menjaga hidup” – tempat berlangsungnya siklus hidup dan tradisi. Masih di NTT, para perempuan terlibat dalam konflik pengambilalihan tanah ulayat untuk pariwisata dan proyek infrastruktur di Sabu Raijua. Sebagaimana di Besipae, tanah dimaknai dan dihidupi sebagai ruang transenden, ruang upacara adat dan pemeliharaan nilai kosmologis leluhur. Perlawanan dilakukan dengan mengangkat ritual adat sebagai bentuk resistensi simbolik dan menyampaikan penolakan melalui gereja dan organisasi perempuan lokal (Kompas. 2021, Juli 09).
ADVERTISEMENT
Kemudian beranjak di tahun 2023, terjadi konflik penggusuran besar-besaran di Pulau Rempang atas nama proyek Rempang Eco-City (bagian dari PSN). Perempuan adat Melayu menjadi bagian penting dalam penolakan proyek yang dianggap mengancam kampung tua, sumber penghidupan, dan warisan leluhur. Mereka memimpin barisan aksi protes, membentangkan spanduk di depan aparat dan menyuarakan penolakan terhadap "pembangunan" yang dianggap mengabaikan hak dan keberadaan komunitas adat (Tempo.co.,2023, September 13).
Di ujung tanah tanah ibu pertiwi, berdasarkan laporan Asrida Alisabeth dan Agapitus Batbual bahwa gerakan perempuan adat Malind dalam melawan projek pemerintah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Mereka berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai hidup yang tidak bisa diukur hanya dengan uang atau pembangunan fisik. Logika masyarakat Malind, hutan adalah “ibu” dan tanah adalah “rahim”, merusak hutan berarti membunuh kehidupan (www.mongabay.co.id ,20/03/2025).
Gambar Potret Masyarakat adat Besipae kini terpaksa tinggal di alam terbuka (Sumber: BBC, 2020)
Ekofeminisme Politik Ruang
ADVERTISEMENT
Berangkat dari beberapa peristiwa konflik agraria di atas bahwa ruang diproduksi dan dikendalikan oleh logika maskulin negara dan pasar. Perempuan dan alam sering diperlakukan sebagai objek eksploitasi oleh sistem maskulin kapitalistik. Perspektif gender menunjukkan bahwa perempuan bukan sekadar korban, melainkan memiliki peran aktif dalam membentuk, menghidupi, dan mempertahankan ruang. Memaknai tanah sebagai kehidupan (lived space) tempat berproduksi materi (bertani, mencari air), bereproduksi sosial (mendidik anak, merawat keluarga), dan bertransendensi (ritual, identitas leluhur).
Di dalam sudut pandang ekofeminisme, Vandana Shiva (1989) dan Maria Mies (1993) menekankan bahwa perempuan memiliki relasi yang lebih intim dengan alam karena peran historis mereka dalam mengelola sumber daya alam untuk keberlangsungan hidup komunitas. Mereka rela bertarung dalam dialektika produksi ruang (Lefebvre, 1991), di mana ruang bukan hanya wujud fisik tetapi juga medan pertarungan antara kuasa, kepentingan ekonomi, dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Perempuan hadir bukan sekadar sebagai korban dari ekspansi kapital, melainkan sebagai aktor aktif yang memperjuangkan ruang hidup sebagai hak dasar. Perlawanan perempuan bukan semata perlawanan terhadap penggusuran, melainkan penolakan terhadap sistem yang menjadikan ruang sebagai komoditas dan bukan sebagai rumah kehidupan.
ADVERTISEMENT
Poinnya adalah tanah sebagai “ibu” atau “bumi sebagai rahim kehidupan” menjadi dasar etika ekofeminis, sehingga mengusulkan keadilan ekologis dan partisipasi komunitas adat sebagai wujud pemulihan nilai-nilai kosmologis dan filosofi ruang yang bukan hanya sekadar tanah, tetapi juga ruang relasi, spiritualitas, dan kelangsungan generasi. Dan gagasan ini hidup dalam tubuh-tubuh perempuan yang hari ini menghadang alat berat di Rempang, memeluk batang pohon di hutan Mollo NTT, atau membentengi ekologi di tengah deru mesin pembangunan.
Maka kehadiran mereka menjelma sebagai Kartini-Kartini masa kini, yang menolak tunduk pada kuasa patriarki dan kapitalisme yang merampas ruang hidup. Mereka berdiri bukan sekadar untuk mempertahankan tanah, tetapi juga mempertahankan kehidupan. Dalam langkah kaki mereka yang menolak digusur, dalam peluh yang membasahi ladang, dan dalam laku spritual yang menyatu dengan bumi, kita mendengar gema baru dari surat-surat Kartini: bahwa perempuan adalah benteng terakhir yang menjaga ruang dari kehancuran. Bila bangsa ini masih percaya pada keadilan, dengarkan suara perempuan—karena dari merekalah bumi ini terus berdenyut.
ADVERTISEMENT