Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Membongkar Representasi Politik dalam Kacamata Post-Modernisme
14 April 2025 16:16 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam gemuruh perdebatan politik hari ini, dari ruang parlemen yang penuh retorika hingga kolom komentar media sosial yang hiruk-pikuk, satu pertanyaan lama terus menghantui: Siapa yang benar-benar mewakili kita? Pertanyaan ini bukan sekadar soal teknis elektoral—tentang siapa yang dipilih atau partai mana yang menang—melainkan menyentuh akar terdalam dari filsafat politik: apa makna representasi, dan bagaimana ia bekerja dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari negara-kota (polis) Athena pada abad ke-5 SM, demokrasi dijalankan secara langsung oleh warga negara laki-laki bebas. Mereka berkumpul di Agora untuk mengambil keputusan publik secara kolektif. Aristoteles, dalam Politics, menggambarkan politik sebagai bagian dari kehidupan etis: warga bukan sekadar subjek hukum, tapi pelaku aktif dalam menentukan arah kota (polis). Namun, demokrasi langsung juga menuai kritik. Plato, dalam Republic, menganggap demokrasi rentan dikuasai oleh orator populis yang membingungkan antara opini dan pengetahuan. Ia menganjurkan konsep “filsuf-raja” yang memerintah dengan kebijaksanaan. Kritik ini menjadi fondasi awal kegelisahan terhadap bentuk keterwakilan massa.
Seiring tumbuhnya negara-bangsa dan populasi yang meluas, demokrasi langsung menjadi tidak praktis. Hal ini sejalan dengan lahirnya era modern ditandai oleh runtuhnya otoritas absolut monarki dan gereja, bangkitnya rasionalitas dan individualisme, serta munculnya revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1776). Di tengah pergolakan ini, lahirlah kebutuhan akan bentuk pemerintahan baru yang berbasis pada kehendak rakyat, namun realistis secara teknis—maka diperkenalkanlah demokrasi representatif, sebuah inovasi politik modern yang tumbuh dari pemikir abad modern.
ADVERTISEMENT
Dimulai dari Hobbes dari anggapan bahwa dalam “keadaan alamiah”, manusia saling bermusuhan (homo homini lupus), maka urgensinya membuat kontrak sosial dan menyerahkan kedaulatan kepada penguasa tunggal (Leviathan). Locke kemudian menawarkan versi lebih liberal, dimana kontrak sosial memberi rakyat hak untuk memilih pemimpin, dan apabila pemimpin menyimpang dari kehendak rakyat, mereka berhak menggantinya. Ia meletakkan dasar penting bagi legitimasi perwakilan politik, terutama melalui pemilu (Two Treatises of Government, 1689). Namun, Rousseau—meski menjadi ikon demokrasi modern—sebenarnya sangat kritis terhadap representasi. Dalam The Social Contract (1762), ia menyatakan: “Sovereignty cannot be represented”. Bagi Rousseau, perwakilan adalah bentuk alienasi kehendak rakyat; demokrasi yang sejati harus bersifat partisipatif. Dan seakan ingin mengulang ‘kejayaan’ politik di era klasik Yunani, Rousseau sangat kritis terhadap perwakilan. Baginya, kedaulatan tidak bisa diwakilkan. Representasi adalah bentuk pengkhianatan terhadap kehendak umum (volonté générale). Demokrasi, menurutnya, harus bersifat partisipatif langsung. Namun gagasan ini terbentur realitas praktis di negara modern yang besar dan kompleks.
ADVERTISEMENT
Perdebatan itu membawa pada salah satu kontribusi terpenting di abad modern ini yaitu politik modern yang meletakkan sistem politik secara prosedural melalui pemilu berkala, kebebasan berpartai, rotasi kekuasaan, dan institusi hukum yang netral. Sebagaimana Joseph Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1942), bahwa demokrasi sebagai “metode institusional untuk mencapai keputusan politik melalui kompetisi terbuka untuk memperoleh suara rakyat.” Dengan kata lain, demokrasi hanyalah mekanisme elektoral. Hal ini diperkuat oleh Dahl dalam Who Governs? (1961) bahwa demokrasi modern dijalankan melalui kompetisi antar kelompok kepentingan dalam sistem pluralis hanya bisa di selesaikan melalui representasi bersifat tidak langsung. Namun kondisi 'keteraturan' ini bukannya tanpa celah, justru sistem politik tengah dan terus mengalami distorsi di era kontemporer.
Kritik Representasi Modern dan Demokrasi Prosedural
ADVERTISEMENT
Adalah C. Wright Mills, dalam The Power Elite (1956) yang menyebut bahwa demokrasi hanya ilusi, karena struktur kekuasaan sejatinya tersentralisasi. Kritik ini menunjukkan adanya potret kekuasaan terpusat di tangan elit ekonomi, militer, dan politik—yang saling bertaut dan membentuk “sirkuit kekuasaan” yang tidak tersentuh oleh kehendak rakyat biasa. Bahwa dalam praktiknya, perwakilan politik dikendalikan oleh elite kecil (oligarki) yang memiliki akses terhadap kekuasaan ekonomi, militer, dan media. Pemerintah yang terpilih justru sering kali lebih dekat dengan elit dan penguasa modal ketimbang dengan rakyat telah memilih mereka.
Dalam konteks ini, rakyat merasa bahwa para wakil yang dipilih secara demokratis tidak lagi benar-benar mewakili kepentingan, suara, atau aspirasi mereka. Kondisi yang menjadi perhatian serius Robert Michels yang mengembangkan teori “Hukum Besi Oligarki” (iron law of oligarchy) bahwa organisasi yang paling demokratis sekalipun akan dikuasai oleh segelintir elit. Krisis representasi politik ini yang kemudian memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga perwakilan apapun, seperti parlemen, eksekutif dan lain-lain. Di dalam situasi itu, Katz, R. & Mair, P (1995) pun menyebutkan kecenderungan partai politik pun menjadi kartel kekuasaan, bukan agen aspirasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Konstelasi ini sejatinya telah dibaca oleh para pemikir postmodern dengan kritik tajam terhadap struktur perwakilan konvensional yang bersifat rasional, institusional, dan prosedural—dimediasi oleh lembaga formal seperti parlemen, partai, dan pemilu. Model representasi modern yang berbasis pada mandat dan delegasi dipandang terlalu mekanistik, mengasumsikan bahwa wakil dapat “mengangkut” kehendak rakyat secara utuh. Misalnya, wacana “suara rakyat”, “generasi muda” dan segala terminologi politik identitas lainnya yang sering kali dikapitalisasi oleh elitis yang mengklaim berbicara atas nama rakyat, generasi muda dan atribut etnosentrisme lainnya. Dialektika wacana itu yang menarik pemikir sekaliber Laclau dan Mouffe dalam buku Hegemony and Socialist Strategy menggagas “representasi hegemonik”: tak ada representasi yang absolut, semua bersifat sementara, dibentuk melalui perjuangan diskursif. Baginya, politik adalah arena kontestasi makna, bukan hanya agregasi preferensi.
ADVERTISEMENT
Di tangan aktor-aktor haluan postmodern, mereka menggugat fondasi-fondasi “formal-prosedural” yang dianggap membonsai sekaligus mendegradasi realitas sosial dan politik yang plural. Jacques Derrida (1976), sebagai aktor utama dekonstruksi menolak klaim netralitas representasi. Baginya, setiap representasi adalah interpretasi, bukan cermin dari realitas objektif. Lebih jauh, representasi politik bukanlah refleksi realitas sosial, tetapi konstruksi yang selalu bersifat parsial dan eksklusif. Lalu Michael Foucault (1980) dalam analisa diskursus, menunjukkan bahwa representasi adalah efek dari relasi kuasa untuk mengklasifikasikan, mendefinisikan, dan membungkam. Siapa yang disebut 'masyarakat miskin', misalnya, menjadi sangat politis sebagai komodifikasi representasi politik.
Chantal Mouffe, dalam The Democratic Paradox (2000) memandang perwakilan tidak lagi dipandang sebagai hubungan langsung antara wakil dan yang diwakili, tetapi sebagai konstruksi diskursif yang sarat kekuasaan dan bias identitas. Sementara itu, Jacques Rancière dalam Hatred of Democracy (2005) juga mengingatkan bahwa demokrasi sejati tidak terletak pada lembaga-lembaga, tetapi ketika yang “tak terlihat” dan “tak terwakili”—kaum miskin, minoritas, pekerja informal— untuk dapat terlibat di ruang publik. Sistem yang justru abai terhadap situasi kompleksitas itulah menjadi titik krusial ketidakpuasan rakyat terhadap perwakilan politik modern.
ADVERTISEMENT
Sejatinya kritik postmodern terhadap demokrasi representatif bukan berarti menyerukan anarki, melainkan mengajak kita merenungi kembali cara kita menyusun institusi politik. Kembali pada persoalan mendasar; mengapa para wakil rakyat dan pemerintah yang terpilih melalui pemilu belum mampu mewakili kepentingan rakyat, alih-alih kaum minoritas dan tertindas ? Sebaliknya, mereka (pemerintah) justru sering berkoalisi dengan elit-elit politik dan pemodal yang sehingga potret pasca pemilu selalu menghadirkan ketidakpuasan publik yang terekam melalui aksi-aksi demonstrasi dan lain-lain sebagai instrumen kritik publik, yang acapkali kemudian kritik terhadap representasi formal (hasil pemilu) terekam melalui aksi-aksi demonstrasi yang diagregatori oleh aktivis lingkungan, kelompok mahasiswa, pegiat demokrasi dan berbagai elemen NGO (Non Government Organization) lainnya.
Maka membaca aksi-aksi massa tersebut pengejawantahan dari bentuk representasi baru seperti Black Lives Matter, Gerakan Rompi Kuning di Prancis, Gerakan Petani dan Adat di Zapatista - Meksiko, aksi Indonesia Gelap di Indonesia hingga komunitas akar rumput di berbagai belahan dunia lainnya yang menunjukkan bahwa politik tidak hanya hidup di “ruang-ruang formal” gedung parlemen, regulasi dan kebijakan pemerintah, tetapi melalui dialektika politik rakyat yang merespon setiap perilaku dan wacana pemerintah di jalanan, di media sosial, bahkan dalam ekspresi budaya.
ADVERTISEMENT
Tantangan berikutnya, dengan kehadiran teknologi digital, muncul bentuk-bentuk perwakilan alternatif: petisi daring, forum partisipatif, dan platform deliberatif berbasis komunitas sampai fenomena buzzer. Seperti yang dikritisi oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019), teknologi juga membawa ancaman baru—pengawasan, manipulasi algoritmik, akrobatik statistik dan pembentukan opini publik yang tidak organik.
Sebagai penutup, tulisan ini sejatinya membawa pada permulaan diskursus bahwa perwakilan politik hari ini harus ditinjau ulang: bukan terjebak pada demokrasi prosedural dan institusi formal, tetapi bagaimana ruang-ruang perwakilan itu berawal dari proses sosial yang tumbuh dalam dinamika diskursif dan praksis keseharian warga. Melalui deliberasi dan forum politik warga, misalnya, kemudian terbuka ruang bagi dialektika ide serta wacana kebijakan—sebuah manifestasi konkret dari bekerjanya ruang perwakilan politik yang melahirkan wajah dan ide politik representatif dalam merumuskan masa depannya sendiri—melalui ekspresi, perlawanan, solidaritas, dan kebersamaan dalam ruang publik yang setara. Di sanalah politik menemukan kembali jiwanya, tidak terbelenggu dalam kontak pandora formalitas, tetapi dalam kehidupan bersama yang terus bergerak dan berubah.
ADVERTISEMENT