Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Menggugah (Kembali) Makna Republik di Tengah Krisis Bernegara
9 April 2025 9:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Negara ini tidak lepas dari konsep republik yang berakar dari res publica - urusan publik atau kepentingan bersama. Konsep itu dibangun dalam proses dialektika politik yang menempatkan keutamaan moral dan keterlibatan aktif warga negara dalam pemerintahan (Cicero dalam De Re Publica, sekitar 54-51 SM). Aristoteles di dalam mahakarya Politics, juga menegaskan pemerintah harus menyediakan ruang bagi warga negara yang memiliki kebajikan politik untuk berpartisipasi aktif dalam urusan publik.
ADVERTISEMENT
Di dalam terminologi modern, république sebagai istilah yang menekankan sistem pemerintahan yang berbasis hukum dan kedaulatan rakyat, menolak kekuasaan absolut raja di Prancis. Setidaknya beberapa filsuf membedah makna republik sebagai instrumen politik kerakyatan, seperti Jean Bodin dalam Six Livres de la République (1576) yang mengartikan republik sebagai pemerintahan yang mengutamakan hukum dan kepentingan kolektif. Lalu Rousseau menekankan bahwa republik sejati harus menjamin volonté générale (kehendak umum), di mana rakyat memiliki kedaulatan penuh. Serta Montesquieu dalam The Spirit of the Laws (1748) menegaskan bahwa republik yang stabil bergantung pada keseimbangan kekuasaan dan kebajikan warga negara (vertu).
Di Indonesia, filosofi di atas menjadi basis dialektika pemikiran para pendiri bangsa yang menyandarkan pada dimensi politik kedaulatan rakyat, pemisahan kekuasaan, serta keadilan sosial. Soekarno, misalnya di dalam pidato 1 Juni 1945, menguraikan sangat tegas bahwa “kita hendak mendirikan negara Indonesia yang semua buat semua, bukan untuk satu orang, bukan untuk satu golongan, tetapi 'semua buat semua”. Demikian pula Mohammad Hatta yang mengingatkan bahwa republik harus berdiri di atas prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial. Maka gagasan republik dalam konteks Indonesia berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignty), yang diterjemahkan dalam konsep gotong royong dan partisipasi publi sebagai dasar pondasi dan struktur politik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lalu Soepomo berpendapat bahwa republik Indonesia harus berlandaskan asas kekeluargaan, bukan individualisme liberal atau kolektivisme totaliter. Sedangkan Sjahrir sendiri melihat republik sebagai sistem yang ideal untuk mengembangkan demokrasi modern melalui sistem perwakilan. Kemudian Tan Malaka, sebagai seorang pemikir kiri dan revolusioner, melihat republik sebagai alat untuk membebaskan rakyat dari ketimpangan sosial. Maka, pilihan pada konsep republik sebagai jatidiri berbangsa dan bernegara melalui sidang-sidang BPUPKI sampai PPKI, memastikan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, untuk kesejahteraan rakyat yang menolak segala bentuk otoritarianisme elitis dan kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Krisis Politik Republik
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul gejala yang menjadi anomali dan menguji esensi republik itu sendiri. Penurunan kualitas institusi demokrasi, pelemahan hak-hak rakyat, dan meningkatnya kecenderungan otoritarianisme menjadi suasana politik yang kritis. Hal pertama sebagai gambaran degradasi institusi demokrasi ada pada Pemilu 2024, yang diwarnai oleh berbagai akrobat politik dan kecurangan yang mengindikasikan supremasi hukum runtuh di tengah konspirasi politik antara eksekutif dan yudikatif. Publik tentu masih mengingat betul Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan UU 7/2017 tentang Pemilu soal batas usia capres dan cawapres, yang melahirkan Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sebagai jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi untuk maju sebagai cawapres yang mendampingi Prabowo Subianto sebagai capres Pilpres 2024 (Detik.com, 2023). Di momen Pilkada 2024, DPR mengebut revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tentang pasal mengenai ambang batas pencalonan kandidat dan batas usia calon kepala daerah, yang sarat kepentingan politik dinasti Presiden Joko Widodo melalui putra bungsunya Kaesang Pangarep yang santer akan maju pilkada saat itu. (Kompas, 2024).
ADVERTISEMENT
Minimnya partisipasi publik dalam proses legislasi di DPR menambah daftar kemerosotan institusi demokrasi, seperti upaya tergesa-gesa dan kurang transparan pada revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tahun 2019, pengesahan rancangan undang-undang Omnibus Law tahun 2020, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 2022, RUU IKN tahun 2022, RUU TNI tahun 2025 dan lain-lain. Kondisi ini berbanding lurus dengan kelembagaan partai politik yang tidak menunjukkan hal-hal perbaikan yang substansial pada aspek keterbukaan sirkulasi elit, transparansi anggaran dan kerja-kerja advokasi politik yang riil di masyarakat.
Kedua, pelemahan hak-hak sipil warga dan meningkatnya kecenderungan otoritarianisme terlihat dalam berbagai kebijakan politik pemerintah yang bersifat top-down tanpa melibatkan publik - warga lokal seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat di dalam agenda-agenda pembangunan. Masyarakat adat misalnya, kerap menjadi korban ketidakadilan ruang akibat proyek-proyek pembangunan yang memprioritaskan kepentingan elite ekonomi dan politik. Dalam banyak kasus, mereka justru kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya yang menjadi penopang kehidupan mereka. Di Merauke, Papua, masyarakat adat Marind menolak proyek-proyek besar yang mengancam keberlangsungan lingkungan dan hak-hak mereka. Program pengembangan perkebunan skala besar, industri pertambangan, dan proyek infrastruktur yang diklaim sebagai bagian dari PSN justru menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat setempat (Kompas, 15/03/2025).
ADVERTISEMENT
Pola otoritarianisme sangat kentara pada tindakan represif pemerintah terhadap pembungkaman nalar kritis rakyat. Seperti masyarakat di Wadas yang mengalami intimidasi dan kriminalisasi saat menolak penambangan batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener (Tempo, 2022). Lalu aktivis dan warga yang menolak tambang emas di kawasan Tumpang Pitu, Banyuwangi yang mengalami kriminalisasi, termasuk pemenjaraan (Kompas, 2023). Kemudian sejumlah petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) dikriminalisasi karena menolak pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta (BBC Indonesia, 2020), Di Kalimantan, masyarakat adat Dayak Wehea mengalami tekanan dalam proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), di mana lahan adat mereka berpotensi diambil alih untuk kepentingan proyek nasional (The Jakarta Post, 2023).
Menyikapi itu semua, maka tidak heran intensitas demonstrasi meningkat seiring ekspresi dan artikulasi politik yang menuntut pemulihan kedaulatan rakyat, supremasi hukum, serta keadilan sosial sebagai fondasi utama republik. Ketika kebijakan-kebijakan yang tidak demokratis melemahkan partisipasi warga, memperkuat oligarki, atau menghidupkan kembali otoritarianisme, maka demonstrasi menjadi mekanisme korektif rakyat untuk menegaskan kembali hak-haknya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
ADVERTISEMENT
Maka disamping berbagai aksi demonstrasi yang terus mencuat, mari seluruh elemen bangsa, pemerintah maupun rakyat menyadari bahwa kondisi ini menuntut kita untuk menggugah kembali makna republik secara lebih mendalam—bukan sekadar sebagai bentuk pemerintahan atau terjebak pada aspek prosedural semata. Tetapi lebih dari sekedar itu, sebagai sistem nilai, struktur bernegara dan berbangsa yang menjamin kebebasan sipil, penegakan supremasi hukum, dan kesetaraan warga negara dalam menentukan arah masa depan bersama sebagaimana yang menjadi tujuan hakiki berdirinya negara ini (causa finalis).