Konten dari Pengguna

Menggugat Korupsi Menggugah Etika Politik

Galang Geraldy
Dosen Ilmu Politik UWKS - Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Unair
13 April 2025 10:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belum selesai kritik publik terhadap struktur pemerintahan yang semakin kompleks dan hadirnya TNI aktif di dalamnya, di sisi lain kebijakan efisiensi dan Makan Bergizi Gratis yang tidak optimal, publik kembali di suguhi persoalan-persoalan fundamental di dalam beberapa minggu terakhir seperti adanya skandal korupsi yang melibatkan perusahaan-perusahaan milik negara yaitu PT. Pertamina, dan PT. Antam, yang menambah daftar panjang skandal korupsi di perusahaan plat merah setelah PT. Timah sampai kontroversi akademik terkait disertasi Bahlil Lahadalia.
Gambar Ilustrasi Korupsi Pejabat Pemerintah (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Ilustrasi Korupsi Pejabat Pemerintah (Sumber: Kumparan)
Tulisan ini mengkaitkan berbagai kondisi di atas bahwa situasi politik memiliki keterkaitan erat dengan degradasi etika politik, di mana penyalahgunaan kekuasaan, pembohongan publik, pengabaian akuntabilitas, serta manipulasi sistem menjadi praktik yang semakin lazim dalam pemerintahan dan bernegara. Realitas ini menunjukkan krisis moral dalam kepemimpinan politik yang perlu di elaborasi secara kritis melalui perspektif filosofi etika politik untuk menampar kasus-kasus yang terpapar di depan publik tersebut. Membincangkan ulang etika untuk mengungkapkan kegagalan mendasar dalam prinsip integritas, keadilan, transparansi, dan tanggung jawab publik.
ADVERTISEMENT
Korupsi dalam perusahaan negara yang mengusai hajat hidup orang banyak seperti Pertamina jelas bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga pelanggaran serius terhadap etika politik yang menuntut pemimpin untuk bertindak berdasarkan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Bagaimanapun mereka adalah pejabat negara, sehingga melekat nilai dan etika politik yang sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Immanuel Kant di dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), bahwa seorang pemimpin harus bertindak berdasarkan prinsip moral universal—tidak boleh menjadikan kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan sebagai norma. Kant menekankan prinsip etika deontologis, di mana pemimpin harus bertindak berdasarkan imperatif moral universal, nilai-nilai yang bersemayam pada kebaikan seluas-luasnya bagi seluruh rakyat. Korupsi jelas melanggar prinsip ini karena didasarkan pada kebohongan dan eksploitasi kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi di Pertamina dan Antam memperlihatkan bagaimana elit politik dan korporat membangun jaringan oligarki yang menyumbat prinsip-prinsip Good Corporate Governance seperti transparansi dan akuntabilitas. Mereka memanfaatkan posisi strategis (pejabat publik) untuk kepentingan pribadi. Hal ini jelas mengoyak pemikiran Rawls di dalam A Theory of Justice (1971), yang mengajukan teori keadilan sebagai fairness, di mana institusi negara harus memastikan distribusi keadilan yang merata. Korupsi dalam Pertamina menciptakan ketidakdilan yang terstruktur, di mana keuntungan besar dari sektor energi yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru disalahgunakan oleh elit, yang melanggar prinsip keadilan distributif.
Korupsi yang terus berulang ini mencerminkan kegagalan kepemimpinan dalam menerapkan nilai-nilai etika politik. Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) juga menyoroti bahwa politik haruslah ruang untuk kebebasan dan tanggung jawab, bukan arena manipulasi dan kepentingan pribadi. Sayangnya, politik Indonesia justru didominasi oleh praktik transaksional yang mengabaikan integritas dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya kasus pelanggaran etika akademik pada disertasi Bahlil Lahadalia, yang menambah daftar panjang persoalan moral dalam politik Indonesia. Sejatinya, kasus ini tidak bisa dipandang sebelah mata, terutama dalam kaitannya dengan perilaku korupsi pendidikan sebagai alat legitimasi politik tanpa komitmen akademik yang jujur, ini menunjukkan betapa rendahnya penghargaan terhadap nilai kejujuran intelektual. Praktik semacam ini mencerminkan bentuk korupsi intelektual yang sama berbahayanya dengan korupsi material, karena merusak standar moral dalam sistem pendidikan dan kepemimpinan.
Jika elit politik tidak lagi memiliki standar moral yang kuat, bagaimana mungkin mereka mengelola negara atas nama publik ?
Mengembalikan Politik pada Etika Publik
Politik yang etis adalah politik yang berpihak pada kepentingan publik, menegakkan keadilan, dan mengutamakan tanggung jawab moral. Politik seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Maka, pertama-tama perlu kita perhatikan kembali kritik Arendt terkait bagaimana sistem politik bisa menjadi mekanisme yang mengabaikan tanggung jawab individu ketika pemerintah dan sistem kelembagaan negara lebih mementingkan loyalitas politik dibandingkan kapasitas intelektual dan moral.
ADVERTISEMENT
Jika rekrutmen politik berbasis patronase dan kekerabatan, maka ruang publik kehilangan makna deliberatifnya. Rekrutmen pejabat publik (pemilu maupun sistem birokasi) harus mengedepankan rekam jejak etis, kapasitas dan integritas bukan hanya faktor kekerabatan, familia, kolega maupun kedekatan politik. Krisis politik yang kita hadapi saat ini bukan sekadar masalah teknis dalam tata kelola pemerintahan, tetapi juga refleksi dari kegagalan dalam menegakkan etika politik. Krisis politik yang ditandai dengan korupsi sistemik, patronase, dan rendahnya standar moral dalam kepemimpinan menunjukkan bahwa politik telah menjauh dari prinsip dasar keadilan dan tanggung jawab terhadap publik.
Kasus disertasi Bahlil, sekali lagi tidak hanya sebatas persoalan personal (individu mahasiswa dengan institusi kampus) namun potret pejabat publik yang menunjukkan distorsi keadilan dalam dunia akademik. Terutama kuat adanya dugaan intervensi kekuasaan yang berimplikasi pada degradasi intelektualitas, independensi dan meritokrasi bagi instusi pendidikan tinggi. Suasana ini adalah bentuk dominasi politik terhadap ruang intelektual, yang menghambat representasi yang adil dalam produksi pengetahuan bahkan kebijakan publik ke depan. Jika institusi negara, baik itu pelaku pejabat negara dan institusi termasuk BUMN, dikendalikan oleh panduan nilai dan jatidiri yang hanya berorientasi pada keuntungan pribadi (oportunis), maka keadilan substantif bagi rakyat akan semakin sulit diwujudkan. Jika politik terus dikuasai oleh kepentingan pribadi dan kelompok, maka masa depan demokrasi dan kesejahteraan rakyat akan semakin terancam.
ADVERTISEMENT
Poinnya adalah korupsi yang merajalela dan rendahnya standar moral dalam kepemimpinan mencerminkan lemahnya komitmen terhadap nilai keadilan dan tanggung jawab terhadap publik. Oleh karena itu, mengembalikan politik pada etika publik adalah sebuah keharusan. Perlu untuk revitalisasi terhadap situasi ini yang membawa pada arah keluar dari krisis moralitas. Revitalisasi politik berbasis etika publik menuntut reorientasi nilai-nilai politik agar selaras dengan prinsip-prinsip moral. Politik harus dikembalikan pada prinsip etika publik, dimana kesejahteraan terbesar bagi sebanyak mungkin orang (the greatest happiness principle). Di dalam praktiknya, politik seharusnya menjadi wadah untuk mengelola kepentingan bersama secara adil dan bertanggung jawab. Maka bagi institusi negara, langkah konkret yang perlu dilakukan adalah memperkuat etika keadilan dan keterbukaan melakui mekanisme transparansi dan akuntabilitas dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, BUMN dan lain-lain serta reformasi politik yang mencegah oligarki terus menguasai sumber daya negara. Sedangkan bagi elit, pemimpin harus memiliki integritas moral, bukan mereka yang hanya bermodal jaringan dan kepentingan politik.
ADVERTISEMENT
Ketika tidak ada upaya serius untuk mengembalikan politik kepada etika publik, maka korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan akan membentuk habituasi pada politik anomali, politik abnormal, demagog dan patologi-patologi lainnya yang membawa pada krisis demokrasi dan ketidakadilan sosial. Untuk itu, ketika publik mulai turun ke jalan, menyuarakan nalar kritis sebagai manifestasi bahwa politik harus tunduk pada prinsip moral universal, di mana pemimpin bertindak berdasarkan kewajiban moralitas publik, nilai-nilai utilitarianisme bukan kepentingan pragmatis atau pribadi. Di titik ini, politik menjadi arena perjuangan moral, kebaikan bersama bukan sekadar permainan kekuasaan.