Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Penetrasi Kapitalisme Digital Pinjol dan Lingkaran Kemiskinan
16 Maret 2025 12:27 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kapitalisme digital semakin mendominasi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat global, termasuk di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu bentuk penetrasi kapitalisme digital yang paling mencolok adalah maraknya layanan pinjaman online (pinjol). Pinjol hadir sebagai solusi finansial instan bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal. Namun, alih-alih menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi, pinjol justru memperkuat lingkaran kemiskinan dan ketimpangan struktural dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tahun 2024 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin gencar memanfaatkan layanan pinjol, seperti di bulan Agustus 2024, nilai penyaluran pinjaman online mencapai rekor baru sebesar Rp27,44 miliar, melampaui capaian bulan-bulan sebelumnya di tahun yang sama. Hingga Januari 2025, sekitar 18 juta warga Indonesia atau sekitar 5% dari total penduduk telah terafiliasi di platform fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjol (finansial.bisnis.com, 2024). Persoalannya, menurut Otoritas Jasa Keuangan per Januari 2025, sekitar 18 juta debitur pinjol di Indonesia adalah tipologi mayoritas berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Dari jumlah tersebut, sekitar 30% mengalami kesulitan dalam pembayaran cicilan tepat waktu, yang akhirnya berujung pada akumulasi utang yang lebih besar. Dengan kata lain, alih-alih menjadi solusi, pinjol justru menciptakan jebakan finansial bagi peminjamnya.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi Struktural dan Ketidakadilan Distribusi
Dalam perspektif David Harvey, kapitalisme memiliki kecenderungan untuk terus mencari ruang akumulasi baru melalui apa yang disebut sebagai "akumulasi dengan perampasan" (accumulation by dispossession). Pinjol merupakan salah satu manifestasi dari strategi ini dalam ranah kapitalisme digital. Dengan memanfaatkan teknologi dan minimnya regulasi yang ketat, platform pinjol menembus segmen masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini terpinggirkan dari sistem perbankan konvensional.
Dengan janji kemudahan akses, kecepatan pencairan dana, dan proses administrasi yang sederhana, pinjol berhasil menarik masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi. Namun, dengan suku bunga yang tinggi dan mekanisme penagihan yang agresif, layanan ini sering kali menjebak peminjam dalam utang berkepanjangan, memperparah ketimpangan ekonomi dan memperkuat siklus kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Nancy Fraser dalam analisisnya mengenai keadilan sosial menyoroti bagaimana kapitalisme modern menciptakan ketidakadilan dalam tiga dimensi: redistribusi ekonomi, pengakuan sosial, dan representasi politik. Dalam konteks pinjol, ketiga dimensi ini bekerja secara simultan dalam memperkuat eksklusi sosial. Pertama, redistribusi ekonomi. Alih-alih memperbaiki kondisi ekonomi kelompok rentan, pinjol justru mengalihkan sumber daya dari masyarakat miskin ke korporasi keuangan digital. Keuntungan besar yang diperoleh perusahaan pinjol berasal dari biaya pinjaman yang tidak sebanding dengan daya bayar peminjam.
Kedua, pengakuan sosial. Masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi pengguna pinjol sering kali distigmatisasi sebagai kelompok yang tidak mampu mengelola keuangan yang berujung pada lingkaran kemiskinan. Situasi semakin kompleks terjadi ketika perusahaan pinjol melakukan serangan mental dengan pencemaran nama baik melalui kontak telepon, media sosial sampai ruang publik. Praktik intimidasi yang menjatuhkan mental dan kepercayaan diri menjadi modus operandi yang perlu ditindak secara hukum melalui perangkat negara.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Representasi politik. Regulasi terkait pinjol cenderung lemah, sehingga masyarakat tidak memiliki perlindungan yang memadai dari praktik eksploitatif. Keberpihakan pemerintah lebih sering condong kepada kepentingan industri keuangan dibandingkan perlindungan terhadap rakyat kecil. Pemerintah melalui OJK cenderung lemah di dalam mengawasi praktik pinjol, terutama dalam menetapkan aturan terhadap sistem verifikasi calon debitur, batas suku bunga maksimal dan mekanisme penagihan.
Lingkaran Kemiskinan dan Krisis Keuangan
Maraknya penggunaan pinjol di kalangan masyarakat miskin menunjukkan bahwa kapitalisme digital bukan sekadar alat inklusi keuangan, melainkan juga mekanisme eksploitasi baru. Pinjol berkontribusi pada lingkaran kemiskinan dalam beberapa cara seperti beban utang yang berkelanjutan, dimana suku bunga tinggi membuat banyak peminjam harus melakukan gali lubang tutup lubang, mengambil pinjaman baru untuk melunasi pinjaman lama.
ADVERTISEMENT
Hal ini jelas berbampak psikososial, tekanan utang yang berlebihan sering kali berujung pada stres, konflik rumah tangga, bahkan peningkatan kasus bunuh diri akibat penagihan yang represif. Beberapa laporan menunjukkan bahwa tekanan ekonomi akibat pinjol berkontribusi terhadap meningkatnya kasus bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perceraian. Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2024 mencatat bahwa terdapat lebih dari 500 kasus bunuh diri yang terkait dengan tekanan utang pinjol. Selain itu, peningkatan kasus KDRT dan perceraian akibat tekanan ekonomi dari utang pinjol juga semakin mengkhawatirkan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pinjol tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi tetapi juga merusak stabilitas sosial dan keluarga.
Selain itu, data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2024 menunjukkan bahwa sekitar 10% mahasiswa di Indonesia pernah mengakses pinjol, dengan 60% di antaranya mengalami kesulitan dalam melunasi utang. Fenomena ini menunjukkan bahwa adanya tekanan sosial ekonomi, terutama di dalam pemenuhan biaya pendidikan membuat mahasiswa semakin rentan terhadap pinjol.
ADVERTISEMENT
Di poin ini menunjukkan bahwa persoalan ini tidak bisa dipandang dalam kacamata tunggal, ada potensi multi-sektor yang menyinggung konflik sosial, krisis moral dan krisis keuangan yang sistemik. Jika dibiarkan tanpa regulasi yang tegas, fenomena pinjol dapat memicu ketidakstabilan ekonomi di tingkat nasional, mirip dengan krisis keuangan akibat subprime mortgage di Amerika Serikat tahun 2008. Oleh karena itu, negara tidak boleh diam dan hanya menunggu 'korban-korban' pinjol berikutnya. Pemerintah perlu memberikan arahan dan rekomendasi yang kuat terhadap Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melalui hadirnya regulasi yang ketat, mekanisme pencegahan yang holistik melalui sistem verifikasi yang berlapis dan tervalidasi, sistem peminjaman yang rasional, edukasi finansial, serta penguatan lembaga keuangan formal untuk memberikan solusi kredit yang lebih aman dan berkelanjutan bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT