Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Revisi UU TNI : Peluang Degradasi Demokrasi dan Supremasi Sipil
16 Maret 2025 13:39 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belum usai berbagai polemik terkait kebijakan pemerintah belakangan ini, publik kembali harus mengkritik kebijakan pemerintah dalam merevisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang diselenggarakan pada 14-15 Maret 2025 secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta (Tempo, 2025). Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan misalnya, mengkritik keras dan menilai bahwa pembahasan RUU TNI di hotel mewah menunjukkan rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi yang berdampak luas terhadap tata kelola pertahanan negara dan masa depan iklim demokrasi. Selain itu, koalisi ini menyoroti bahwa langkah tersebut bertentangan dengan upaya efisiensi anggaran yang sedang digalakkan pemerintah (Tempo, 2025).
ADVERTISEMENT
Selain itu, yang kemudian menjadi substansi kritik publik pada perubahan Pasal 47 ayat (2) mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 10 kementerian/lembaga bertambah menjadi 16 kementerian/lembaga (Kumparan, 2025). Hal ini menjadi isu krusial yang berpotensi mempengaruhi tatanan demokrasi dan supremasi sipil (civilian supremacy) dalam perjalan demokrasi Indonesia. Revisi ini dianggap dapat membuka kembali peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil, membuka memori kolektif publik pada "dwifungsi" militer di masa Orde Baru. Banyak pihak kemudian khawatir hal ini dapat mengikis prinsip supremasi sipil dan mengembalikan dominasi militer dalam urusan pemerintahan sipil.
Meski sejatinya realitas struktur politik pemerintahan telah menempatkan sejumlah perwira aktif dan purnawirawan TNI yang menduduki posisi strategis, sebutlah saja seperti Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab), Mayor Jenderal Maryono yang menjabat sebagai Inspektur Jenderal di Kementerian Perhubungan, Mayor Jenderal Irham Waroihan yang ditunjuk sebagai Inspektur Jenderal di Kementerian Pertanian, Mayor Jenderal Novi Helmy Prasetya yang menjabat sebagai Direktur Utama Perum Bulog dan Laksamana Pertama Ian Heriyawan yang ditugaskan di Badan Penyelenggara Haji (Kompas, 2025). Di era presiden sebelumnya, sejumlah perwira aktif TNI telah ditunjuk untuk menduduki jabatan sipil, di lembaga-lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Basarnas. Catatan Law-Justice.com (2024) menunjukkan bahwa beberapa perwira aktif menduduki posisi strategis di lembaga-lembaga yang tidak secara langsung terkait dengan tugas militer. Misalnya, penempatan Laksdya Amarulla Octavian sebagai Wakil Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Bias Profesionalisme TNI
ADVERTISEMENT
Sejak era Jokowi terjadi peningkatan keterlibatan TNI dalam urusan sipil, seperti dalam penanganan pandemi, pengamanan sosial, hingga pengelolaan proyek infrastruktur strategis. TNI turut dilibatkan dalam proyek-proyek swasembada pangan serta kerja sama pengamanan dengan BUMN dan perusahaan swasta. Di dalam beberapa kesempatan, Bintara Pembina Desa (Babinsa) membantu mensosialisasikan program pemerintah dan menangkal berita hoaks yang rawan terhadap politisasi militer. TNI juga dilibatkan secara aktif dalam pembangunan infrastruktur skala besar, seperti proyek tol trans-Sumatera dan pembangunan desa tertinggal. Hal ini melampaui peran militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) dan terkadang dikritik karena dianggap mengaburkan batas fungsi utama. Serta akhir-akhir ini menjadi sangat familier ketika menyaksikan TNI terlibat dalam pengamanan demonstrasi yang notabene bukan sebagai ancaman dalam skala perang militer. Kondisi itu tentu sangat berpotensi terhadap politisasi militer, dengan menempatkan TNI sebagai alat kekuasaan pemerintah atas nama pembangunan dan stabilitas negara.
ADVERTISEMENT
Di dalam ekskalasi gerakan sosial dan pembangunan, keterlibatan TNI di dalam ruang publik memantik konflik vertikal. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada tahun 2024 mencatat 64 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI terhadap warga sipil dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Salah satu contoh konflik lahan antara TNI dan masyarakat terjadi di Desa Wiromartan. Meskipun pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik pemagaran di desa tersebut antara TNI Angkatan Darat dengan masyarakat, ketegangan masih terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa konflik lahan antara TNI dan warga sipil masih menjadi isu yang memerlukan perhatian serius.
Sedangkan menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bahwa konflik agraria yang melibatkan TNI dan masyarakat seringkali berujung pada kekerasan dan kriminalisasi. Pada tahun 2024, tercatat 556 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi akibat keterlibatan aparat di wilayah konflik agraria. Dari jumlah tersebut, 399 orang mengalami kriminalisasi, 149 orang mengalami kekerasan fisik, 4 orang ditembak, dan 4 orang tewas akibat tindakan aparat (KPA, 2024)
ADVERTISEMENT
Maka menjadi sangat penting bahwa Revisi UU TNI seharusnya meletakkan profesionalitas TNI sebagai instrumen pertahanan dan keamanan negara bukan (lagi) sebagai alat kekuasaan pemerintah semata. Perlu sebuah reformasi yang substansial yang berkaca pada potret belakangan ini ketika hadirnya TNI di dalam ruang publik membawa pada kecenderungan regresi demokrasi yang mundur ke arah pemerintahan yang lebih otoriter.
Sebagaimana kekhawatiran Larry Diamond (1999) bahwa salah satu indikator demokrasi yang sedang mengalami regresi adalah meningkatnya pengaruh kekuatan non-demokratis dalam pembuatan kebijakan. Militer menjadi salah satu kekuatan politik negara, yang tidak seharusnya dikerdilkan sebagai alat legitimasi politik penguasa. Selain itu, mengutip apa yang disampaikan David Pion-Berlin (2005), bahwa militer yang memiliki peran dalam politik sipil cenderung mengabaikan tugas pokoknya dalam pertahanan negara. Jika TNI kembali masuk ke sektor sipil dalam skala besar, ada kemungkinan anggaran, kebijakan, dan strategi militer akan lebih diarahkan untuk kepentingan birokrasi ketimbang peningkatan kapabilitas pertahanan.
ADVERTISEMENT
Tentu kita tidak menginginkan pengalaman militerisasi politik di negata-negara tetangga seperti Myanmar, Thailand dan Filiphina menggejala di Indonesia. Filiphina di era Presiden Duterte misalnya, di mana banyak mantan jenderal aktif yang ditempatkan dalam posisi strategis pemerintahan, terutama dalam kebijakan keamanan dan pembangunan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung menitikberatkan aspek keamanan dan pendekatan koersif terhadap masyarakat sipil mengabaikan hak asasi dan demokrasi, seperti yang terlihat dalam war on drugs yang kontroversial.
Petaruhan Supremasi Sipil dan Demokratisasi
Ketika tevisi UU TNI sudah bekerja maka harus sejalan dengan doktrin militer modern yang menempatkan TNI dalam posisi yang profesional, disiplin, dan tunduk pada supremasi sipil dalam koridor bernegara yang menjunjung tinggi hak asasi dan demokrasi. Reformasi yang dilakukan tidak boleh membuka celah bagi militerisasi politik atau mengaburkan batas antara peran pertahanan negara dan ranah sipil. Sebagaimana Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State (1957) profesionalisme militer yang ideal terletak pada pemisahan tegas antara peran militer dan sipil. Semakin banyak prajurit aktif yang terlibat dalam jabatan sipil, semakin rentan batas antara militer dan sipil menjadi kabur.
ADVERTISEMENT
Sebagai institusi pertahanan, TNI seharusnya tetap fokus pada tugas pokoknya, yaitu menjaga kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman eksternal. Pengerahan militer dalam urusan sipil, terutama di luar tugas perbantuan yang diatur dalam undang-undang, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan menurunkan profesionalisme TNI sebagai alat negara yang netral secara politik.
Revisi UU TNI seharusnya memperkuat mekanisme akuntabilitas, menghindari penyalahgunaan wewenang, serta memastikan bahwa perwira aktif tidak menduduki jabatan sipil di luar yang telah ditentukan secara ketat oleh regulasi. Untuk itu, jika memang 16 kementerian/lembaga negara tersebut harus diduduki oleh TNI aktif, maka tidak kalah penting, supremasi sipil harus diperkuat melalui kapabilitas mekanisme kontrol yang lebih ketat oleh DPR dalam menyetujui penempatan personel TNI di jabatan sipil. Keterlibatan luas oleh organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam evaluasi kebijakan militer perlu ditingkatkan guna mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan. Di dalam beberapa kasus konflik ruang, perlu adanya evaluasi kebijakan yang melarang penggunaan TNI dalam penyelesaian konflik agraria dan mengalihkan penyelesaiannya kepada lembaga sipil yang lebih netral.
ADVERTISEMENT
Prinsipnya revisi UU TNI tidak boleh menjadi alat untuk menghidupkan kembali politik dwifungsi militer yang dapat mengancam supremasi sipil, alat politik penguasa yang justru akan meningkatkan potensi konflik antara TNI dan rakyat. Diperlukan reformasi kebijakan yang jelas untuk memastikan bahwa revisi ini tidak membawa Indonesia kembali ke era militerisasi politik, melainkan tetap berada dalam jalur demokratis dengan supremasi sipil yang kuat. Jika tidak, maka potret militerisasi politik era orde baru dan beberapa tahun belakangan serta pengalaman di negara-negara tetangga bukan lagi mitos di masa-masa pemerintahan saat ini yang berkonsekuensi membawa degradasi demokrasi yang telah kita bangun sejak reformasi 1998.