news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Urbanisasi Pasca Lebaran: Tantangan Kemiskinan Struktural dan Urban Sprawl

Galang Geraldy
Dosen Ilmu Politik UWKS - Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Unair
26 Maret 2025 13:52 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Urbanisasi pasca Lebaran merupakan fenomena tahunan yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Setelah masa mudik berakhir, arus balik tidak hanya diisi oleh para perantau yang kembali bekerja, tetapi juga oleh pendatang baru yang berharap mendapatkan kehidupan lebih baik di perkotaan. Di Bengkulu misalnya, sejak tahun 2019 hingga pertengahan 2023, arus urbanisasi meningkat dengan total 41.594 jiwa pindah ke kota tersebut (Detik.com, 2023). Surabaya juga memiliki tantangan yang sama, dimana kemudian Pemerintah Kota Surabaya melakukan pengawasan ketat terhadap warga pendatang pasca Lebaran untuk mencegah urbanisasi penduduk yang datang tanpa pekerjaan dan tempat tinggal (www.surabaya.go.id, 2023). Jakarta sendiri masih menjadi primadona, dimana data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta menunjukkan sebanyak 25.918 orang melakukan urbanisasi pasca Lebaran tahun 2023 (Kompas, 2024).
Gambar Ilustrasi Kepadatan Ruang dan Kemiskinan Struktural Perkotaan (Sumber: AI)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Ilustrasi Kepadatan Ruang dan Kemiskinan Struktural Perkotaan (Sumber: AI)
Persoalannya, gelombang urbanisasi ini memperlihatkan wajah kemiskinan struktural yang semakin mengakar. Mereka datang karena faktor ekonomi di daerah yang dianggap belum berkembang sehingga perlu merantau ke kota meski tanpa sumber daya modal yang cukup. Kajian Litbang Kompas misalnya, menunjukkan bahwa arus urbanisasi ke Jakarta di tahun 2023, didominasi lulusan setingkat SMA ke bawah dengan proporsi hingga 84,06 persen. Bahkan, 17,6 persen di antaranya adalah kelompok masyarakat yang tidak sekolah dan 10,83 persen hanya tamatan setingkat SD. Pelaku urbanisasi dengan pendidikan tinggi hanya 15,94 persen di Jakarta (Kompas, 2024). Sedangkan data urbanisasi di Jakarta pada tahun 2024, sejumlah 78,53 persen pendatang hanya berpendidikan di bawah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA atau SMA), sisanya, sebanyak 21,47 persen berpendidikan lebih tinggi dari SLTA (antaranews.com, 2024).
ADVERTISEMENT
Situasi ini seringkali kemudian berbanding lurus dengan rendahnya angka keterserapan mereka pada industri modern yang berdampak pada munculnya aktivitas informal sebagai tumpuan utama bagi kaum urban. Di dalam konteks politik ruang kota, praktik spasial informal mempengaruhi pola dan struktur keruangan kota, terutama dalam produksi ruang-ruang informal seperti permukiman liar di bantaran sungai, kolong jembatan, sempadan rel kereta api, aktivitas pedagang kaki lima di trotoar, taman kota dan lain-lain sebagai potret kemiskinan struktural di kota-kota besar. Persoalan itulah yang kemudian seringkali melahirkan konflik ruang antara aktor-aktor formal seperti pemerintah, perancang kota dan korporasi dengan mereka yang mengklaim atas tanah dan wilayah sebagai ruang hidup.
Di dalam perspektif Henri Lefebvre melalui magnum opusnya The Production of Space (1974) menegaskan bahwa ruang kota bukanlah entitas netral, tetapi merupakan hasil dari pertarungan antara berbagai kepentingan yang membentuk struktur keruangan kota. Relasi kuasa antar aktor mempengaruhi produksi dan reproduksi ruang kota yang terus berubah dan diperebutkan. Lebih dalam, Lefebvre mengelaborasi secara trialektika (triadspace) bahwa konstelasi politik ruang kota menghadirkan pertarungan antara representational space sebagai ruang yang dialami dan dihidupi oleh masyarakat sehari-hari, termasuk dalam praktik spasial informal yang dilakukan oleh kelompok miskin kota, seperti permukiman liar, pasar informal, dan okupasi ruang publik dengan representations of space yaitu ruang yang dikonseptualisasikan oleh negara, perencana kota, dan pemodal besar melalui kebijakan tata ruang, proyek infrastruktur, dan regulasi formal yang sering kali berupaya menertibkan atau menghapus ruang-ruang informal. Proses dialektika itu melahirkan apa yang disebut spatial practice sebagai ruang yang dihidupi dari praktik keseharian, termasuk interaksi antara ruang representasi dan representasi ruang, yang membentuk dinamika penggunaan ruang kota secara nyata.
ADVERTISEMENT
Sedangkan David Harvey dalam Social Justice and the City (2009) turut menyoroti bagaimana kota sering kali menjadi arena konflik antara kepentingan kapital dan hak-hak masyarakat marginal. Para migran yang masuk ke dalam sektor informal sering mengalami eksklusi spasial, baik dalam bentuk marjinalisasi di permukiman kumuh maupun dalam keterbatasan akses terhadap layanan kota yang memadai. Kota yang dibangun berdasarkan logika kapitalisme lebih mengutamakan kepentingan korporasi di dalam motor pembangunan dibandingkan aspek-aspek social substanaible, terutama kaum urban marjinal. Warga pendatang dan kelompok miskin kota sering kali dianggap sebagai “pengganggu” dalam rencana modernisasi kota.Sehingga ruang yang mereka tempati dianggap ilegal yang lebih rentan terhadap penggusuran dan alienasi kebijakan kota.
Kemiskinan dan Praktik Spasial Informal
ADVERTISEMENT
Situasi di atas menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan di perkotaan tidak hanya mencerminkan keterbatasan ekonomi tetapi juga merupakan hasil dari struktur sosial dan politik yang membentuk cara ruang kota diproduksi dan dikontrol. Di dalam atmosfer ini, praktik spasial informal muncul sebagai strategi bertahan hidup bagi kelompok masyarakat marginal yang tidak memiliki akses terhadap ruang formal. Praktik spasial informal di perkotaan mencerminkan bentuk negosiasi dan resistensi terhadap klaim atas hak atas kota yang dilakukan oleh kelompok masyarakat miskin sebagai cara untuk bertahan hidup di tengah dominasi kapitalisme perkotaan. Artinya ruang kota tidak hanya dibentuk dan produksi oleh teknokratis, legal dan seperangkat formalitas tetapi juga oleh praktik sehari-hari masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan mereka di dalam kota. Sebagaimana Lefebvre yang menekankan bahwa ruang kota merupakan arena pertarungan sosial di mana berbagai kelompok berusaha mengklaim dan memproduksi ruang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Oleh karena itu, politik ruang kota harus dipahami dalam konteks bagaimana ruang diproduksi, siapa yang mendominasinya, dan bagaimana kelompok marjinal dapat merebut kembali hak mereka atas kota.
ADVERTISEMENT
Konflik antara kepentingan kapitalisme perkotaan yang mendorong pembangunan berskala besar dan masyarakat miskin kota yang memperjuangkan hak mereka atas ruang. Melalui sumber daya politik dan ekonomi yang kuat, pemerintah dan investor sering kali berusaha merebut ruang-ruang yang dihuni atau dimanfaatkan oleh kelompok marjinal demi kepentingan modernisasi dan investasi ekonomi melalui penggusuran dan lain-lain. Sebaliknya, kelompok marjinal melakukan resistensi dengan tetap bertahan, beradaptasi, atau bahkan menegosiasikan keberadaan mereka di ruang kota.
Di dalam beberapa kasus menujukkan pemerintah kota seringkali merespon praktik spasial informal dengan pendekatan represif seperti penggusuran, pelarangan aktivitas ekonomi informal, dan regulasi ketat terhadap penggunaan ruang publik. Kebijakan ini sering kali berlandaskan pada konsep ketertiban dan estetika kota, tetapi mengabaikan dimensi sosial dan ekonomi yang mendasari munculnya praktik informal tersebut. Seperi kajian yang dilakukan oleh Fauzan & Yuliandhini (2021) dalam Urban Poor and Spatial Injustice: The Case of Kampung Kota in Indonesia menyoroti bagaimana kebijakan perkotaan sering kali tidak memberikan ruang bagi keberlanjutan kampung kota dan sektor informal. Penggusuran sering dilakukan tanpa solusi yang layak bagi warga terdampak, menyebabkan mereka mengalami siklus kemiskinan yang semakin akut. Ulasan Simone (2014) dalam City Life from Jakarta to Dakar: Movements at the Crossroads juga menunjukkan bahwa banyak warga yang kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran akhirnya bermigrasi ke permukiman informal lain atau terpaksa hidup dalam kondisi yang lebih rentan di pinggiran kota. Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan penggusuran justru mendorong urbanisasi yang semakin tidak terkendali dan memperluas ketimpangan spasial di perkotaan.
ADVERTISEMENT
Mewujudkan Kota Inklusif
Tantangan urbanisasi yang pesat tentu tidak bisa hanya dijawab dengan kebijakan teknokratis dan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata. Sejalan dengan prinsip SDG’s Poin 11 tentang Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan, kota yang inklusif harus mampu memberikan akses yang setara bagi semua kelompok masyarakat, termasuk kaum miskin, pekerja sektor informal, dan kelompok rentan lainnya. Kota yang inklusif tidak hanya berorientasi pada pembangunan infrastruktur yang megah, tetapi juga memastikan bahwa setiap warga memiliki hak yang sama dalam mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan perumahan.
Reformasi politik tata ruang kota melahirkan paradigma memproduksi ruang kota lebih inklusif bagi semua warga, terutama kelompok miskin kota yang selama ini sering kali termarginalisasi. Nancy Fraser dalam Scales of Justice (2008), keadilan sosial tidak hanya tentang distribusi ekonomi, tetapi juga tentang pengakuan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi perhatian Lefebvre dalam The Right to the City (1968), menekankan bahwa kota harus memberikan hak bagi semua penduduknya untuk terlibat dan berpartisipasi dalam produksi ruang kota.
ADVERTISEMENT
Maka menempatkan seluruh elemen warga kota, termasuk kaum urban marjinal, di dalam perencanaan ruang kota menjadi sebuah solusi terhadap upaya pengentasan kemiskinan strutkural. Mengadakan forum warga untuk membahas kebijakan tata ruang dan memastikan bahwa keputusan pembangunan tidak hanya ditentukan oleh elit politik dan pemodal. Memberikan ruang terhadap komunitas lokal dalam desain dan implementasi proyek pembangunan, seperti program perumahan berbasis komunitas. Di dalam perkembangan zaman, mendorong transparansi dalam pengelolaan ruang kota melalui platform digital di mana warga bisa memantau proyek pembangunan dan memberikan masukan.
Membangun kota yang inklusif dan redistribusi ruang yang lebih adil melalui reformasi tata ruang menjadi sebuah strategi nyata untuk memastikan bahwa pembangunan kota memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, misalnya kebijakan revitalisasi tanpa penggusuran, alih-alih menggusur komunitas miskin untuk pembangunan proyek besar, pendekatan revitalisasi partisipatif harus diterapkan. Konsep land-sharing atau upgrading settlement dapat menjadi alternatif dalam menata kampung-kampung kota tanpa menghilangkan hak warga atas tempat tinggal. Tentu hal ini didukung dengan peningkatan kualitas infrastruktur dan layanan dasar di kawasan urban sprawl, seperti air bersih, listrik, dan pendidikan, agar masyarakat yang tinggal di wilayah ini tidak semakin termarjinalisasi
ADVERTISEMENT
Selain itu, sistem transportasi yang berbasis Transit-Oriented Development (TOD) yang mengintegrasikan antar moda transportasi publik di dalam mengakses antar wilayah kota. Selain itu, mendorong ruang-ruang kota yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi lokal berbasis komunitas, seperti sentra UMKM, pasar tradisional, dan koperasi warga, yang memungkinkan masyarakat miskin terlibat dalam ekonomi perkotaan tanpa harus bersaing langsung dengan modal besar.